JAKARTA – Kebijakan luar negeri Indonesia senantiasa dilaksanakan untuk memperjuangkan kepentingan nasional di forum internasional. Salah satu contohnya kebijakan soft power sebagai negara pemberi bantuan dalam Kerja sama Selatan-Selatan (KSS) antar negara berkembang.
Kerja sama Selatan-Selatan melahirkan kerja sama pembangunan sesama negara berkembang untuk membangun kemandirian kolektif yang akan memperkuat posisi negara berkembang di forum internasional. Kerja sama Selatan-Selatan merupakan kelanjutan gagasan kerja sama pembangunan antar negara berkembang yang berawal dari Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955.
Kebijakan KSS merupakan elemen soft power diplomacy yang diharapkan dapat memperkuat pelaksanaan politik luar negeri Indonesia. Kerja sama Selatan-Selatan sendiri merupakan bagian dari penguatan kebijakan luar negeri soft power Indonesia dalam setiap conflict resolution. Pada saat ini, para pelaku hubungan internasional
menyadari bahwa penggunaan hard power sebagai wujud unilateralisme ternyata tidak serta merta menyelesaikan masalah.
Sebaliknya, penggunaan soft power justru semakin menguat dalam upaya menyelesaikan permasalahan dunia. Menurut Joseph S. Nye, soft power diplomacy merupakan cara lain untuk mencapai tujuan atau seringkali disebut sebagai the second face of power yang merupakan kemampuan diplomasi untuk mengarahkan secara tidak langsung kepentingan nasionalnya terhadap negara lain melalui kerjasama tanpa kekerasan.
SEE ALSO:
Dalam jurnalnya berjudul The Hague Journal of Diplomacy, Joseph S. Nye menjelaskan sebuah negara harus mempunyai kekuatan daya tarik yang besar sehingga negara lain akan secara sukarela menyetujui kebijakannya. Daya tarik sebuah negara hanya akan berhasil tergantung pada kredibilitas negara pelaku dan rasa sensitif terhadap kepentingan pihak lain dalam merumuskan kebijakan luar negeri.
Daya tarik sebuah negara untuk mempengaruhi negara lain dapat diupayakan melalui kebudayaan, nilai-nilai politik dan kebijakan luar negerinya yang mempunyai kekuatan moral. Melalui pendekatan ini hubungan antar negara dapat diterima dengan lebih terbuka dan harmonis karena tidak terjadi keterpaksaan
Antara Hard Power, Soft Power dan Diplomasi
Di mata dunia, bangsa Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kekayaan budaya, seni, kuliner dan beragam suku. Sayangnya, kekayaan tersebut belum dioptimalkan pemerintah khususnya demi memperkuat posisi Indonesia di kancah internasional.
Dalam kancah hubungan internasional, sebenarnya ada dua metode pendekatan diplomasi yang bisa digunakan setiap negara. Pertama, hard power diplomacy yang merupakan cara suatu negara untuk mencapai kepentingan nasionalnya melalui pendekatan dengan menggunakan kekerasan dan paksaan. Salah satu contohnya dengan kekuatan militer.
Kedua, dikenal dengan soft power diplomacy merupakan sumber daya nasional yang unggul sebagai kemampuan negara yang dapat digunakan untuk memengaruhi negara lain demi mencapai hasil yang diinginkan atau kepentingannya.
Nah, dalam debat capres ketiga yang berlangsung Minggu, 7 Januari, ada dua capres yang dalam memaparkan visi dan misi mereka menyinggung tentang penerapan soft power diplomasi dalam melakoni hubungan internasional jika terpilih di 2024.
Capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo menyebut pentingnya peran dari para diplomat Indonesia untuk mendukung arah kebijakan luar negeri, termasuk di sektor politik dan ekonomi Indonesia ke depan. Menurutnya, kebijakan politik luar negeri merupakan alat untuk negosiasi Indonesia di kancah global. Untuk itu, dia menilai pentingnya Indonesia segera menyesuaikan strategi yang diambil dengan konteks kekinian.
Selain itu, dia menilai kebijakan luar negeri Indonesia juga penting untuk menopang perekonomian nasional. Keberhasilan Indonesia dalam menerapkan kebijakan luar negeri di sektor ekonomi, pada akhirnya akan berdampak ke arus investasi asing yang masuk ke dalam negeri.
“Rakyat butuh lapangan pekerjaan, sehingga perlu investasi masuk. Untuk itu menjadi penting keberadaan dan peran dari para diplomat kita dalam hal penugasan ekonomi nasional, sesuai dengan konteks kekinian,” imbuhnya.
Ganjar juga menginginkan agar masyarakat merasakan secara langsung kebijakan luar negeri pemerintah. Salah satu contohnya adalah ketika membawa pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) Jawa Tengah ke kancah global.
“Para diaspora kita seperti Carina Joe yang menemukan vaksin Covid-19 Astrazeneca juga perlu menjadi duta agar semakin menampilkan wajah Indonesia di kancah global,” ujar Ganjar.
Satu lagi capres yang menyebut pentingnya soft power diplomacy adalah Anies Baswedan. Dalam pemaparan visi dan misinya, capres nomor urut 1 ini menyampaikan bahwa kekuatan ekonomi, kesenian, kebudayaan Indonesia harus ikut mewarnai kancah internasional.
Terlebih, mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut berniat mengembalikan posisi Indonesia sebagai pelaku utama konstelasi global dan penentu arah perdamaian bagi level global maupun regional. Karena itu, dia berencana menyiapkan kekuatan Indonesia di kancah global melalui kebudayaan dan kesenian, serta kekuatan ekonomi.
Anies menyebut pihaknya berencana menjadikan film, seniman, kuliner, diplomat serta diaspora dari Indonesia menjadi fenomena dunia, di mana hal-hal tersebut diharapkan bisa hadir mewarnai kancah internasional.
“Kami ingin dengan cara seperti itu maka apa yang kita kerjakan di level dunia bisa membuat Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri sekaligus tamu mempesona di negeri orang,” terangnya.
Korea Selatan dan Kekuatan K-Pop
Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Jember, Agus Trihartono mengaku terkejut dengan adanya capres yang menyinggung rencana penerapan soft power diplomacy dalam debat. Sebab, meski hard power diplomacy masih penting dalam pergaulan sebuah negara di dunia internasional, saat ini sudah banyak negara lain yang juga peduli pada aspek soft power.
“Soft power itu menjadikan negara lain atau masyarakat internasional mengikuti, bahkan pro pada suatu negara karena tertarik pada tiga aspek. Satu kepada budaya, kedua kepada kebijakan politik, dan yang ketiga kepada value,” sambungnya.
Dia mengatakan, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar di aspek soft power, baik value, policy, maupun budayanya. Termasuk di dalamnya melalui kulinernya. Banyak daerah di Indonesia punya kuliner khas, dari Sabang hingga Merauke yang bisa digunakan sebagai gastrodiplomacy.
Ada dua negara yang bisa dijadikan contoh di benua Asia yang menggunakan soft power dan telah memberikan warna di dunia internasional, Jepang dan Korea Selatan. Jepang dikenal dengan pelopor dunia anime dan Korea Selatan dengan K-pop.
Agus menilai tanpa disadari banyak orang, Korea Selatan begitu punya kekuatan besar untuk memberi pengaruh pada dunia internasional lewat budaya K-Pop tersebut.
“Orang tidak tahu bahwa dari K-Pop itu bukan hanya citra Korea Selatan yang semakin seolah-olah sangat dekat kepada kita, tapi juga uang kita juga lari ke sana tanpa kita terasa,” jelasnya.
Di Korea Selatan, K-Pop bukan sekadar musik atau hiburan. K-Pop adalah industri dan artis K-Pop layaknya komoditas sehingga betul-betul jadi perhatian pemerintah. Perhatian tersebut membuahkan hasil hingga musik K-Pop mampu menembus pasar Asia hingga negeri asal mula musik pop yakni Amerika Serikat.
Melansir data Forbes, pada tahun 2017 industri K-Pop menyumbang US$ 5 miliar atau Rp70 triliun (kurs saat itu Rp14.000) ke sektor industri. Pada tahun 2018 grup boy band BTS bahkan berkontribusi hingga US$ 3,6 atau Rp50,4 triliun dengan kurs yang sama ke industri musik Korea. Hal ini disebabkan grup boyband tersebut berhasil menembus rekor Billboard 200 selama lima hari berturut-turut.
Bursa efek Korea pun menghijau karena para investor berbondong-bondong memboyong saham perusahaan entertainment. Di Korea, perusahaan hiburan rata-rata memang sudah melantai di bursa efek.
Besarnya pendapatan grup musik K-Pop tersebut tidak lepas dari fans fanatik yang tidak segan merogoh kocek dalam-dalam demi memenuhi hasrat mereka yang terbilang angkanya tidak kecil, mulai dari mengoleksi pernak-pernik, membeli musik digital di internet, hingga mendatangi konser ke manca negara dilakukan.
Antusiame K-Popers tersebut juga berdampak terhadap jumlah kunjungan wisata ke Korea Selatan. Menurut Korea Tourism Organization jumlah wisatawan asal indonesia mencapai 98.000 orang per Agustus 2019.
Agus Trihartono mengungkapkan, sebenarnya Presiden Jokowi sudah menerapkan soft power diplomacy seperti gastrodiplomacy. Dia mencontohkan dalam gelaran akbar G20 tahun 2022 lalu, Indonesia menyuguhkan atraksi kebudayaan kepada para pemimpin dan warga dunia sambil menikmati kuliner khas nusantara.
Berdasarkan Riset Institute for International Cultural Relations Universitas Edinburgh, upaya soft power seperti keberadaan institusi kultural, konektivitas internet, bantuan internasional, dan ranking cultural memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan jumlah wisatawan, mahasiswa internasional, investasi, arus modal asing, hingga politik.
“Melihat besarnya soft power untuk kemajuan dan posisi Indonesia di kancah internasional, kita perlu memperkuat soft power diplomacy bangsa kita,” kata Agus Trihartono.