Lewat artikel "Dana SAR Kecelakaan Pesawat, Siapa Tanggung Jawab?" kita telah memahami bahwa aturan mewajibkan maskapai menanggung biaya SAR. Ada skema asuransi yang jadi jalan penegakan aturan itu, meski implementasinya masih kedodoran. Masih bagian dari Tulisan Seri khas VOI, "Jerat SAR Pesawat", artikel ini akan mendalami apakah skema asuransi betul-betul menanggung semua biaya tersebut?
Kecelakaan Srijawa Air SJ-182 awal bulan lalu menambah daftar panjang tragedi dunia penerbangan Tanah Air. Selain menelan banyak korban jiwa, kerugian materi yang ditimbulkan pun tak sedikit, termasuk biaya pencarian dan penyelamatan (SAR). Sebetulnya ada cara untuk mengatasi masalah biaya ini, yakni lewat asuransi. Pertanyaannya, apakah perusahaan asuransi betul-betul menanggung semua biaya itu?
Berkaca dari kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ-182, perlu sumber daya besar untuk operasi SAR. Dari jumlah personel, misalnya. Untuk mencari korban dan puing-puing pesawat melibatkan 3.818 orang. Belum lagi dari segi alat, yang meliputi 54 kapal, 18 rigid inflatable boat, tiga helikopter dan 33 ambulans.
Itu belum dikali jumlah hari bergeraknya operasi SAR. Seperti diketahui, operasi SAR Sriwijaya Air berlangsung selama 12 hari, dari 9-21 Januari.
Durasi itu belum seberapa bila dibandingkan dengan kecelakaan pesawat yang pernah terjadi sebelumnya. Misalnya, jatuhnya Air Asia QZ8501 tahun 2014 dan Lion Air JT 610 (2018) yang perlu berbulan-bulan hingga operasi SAR dihentikan.
Melihat banyaknya personel, alat yang digunakan, dan jangka waktu operasi SAR, tak sulit mengira besaran biaya yang diperlukan untuk itu. Salah satu biaya operasi SAR yang sudah diumumkan pemerintah adalah Air Asia QZ8501, yakni mencapai Rp1 triliun.
Selama ini aturan pembiayaan operasi SAR mengacu pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2014 Tentang Pencarian dan Pertolongan dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (UU Penerbangan). Beleid itu mendapuk Badan SAR Nasional (Basarnas) menjadi pihak paling bertanggung jawab untuk melakukan pencarian dan mengevakuasi kecelakaan pesawat.
Pada kecelakaan Lion Air JT-610, misalnya. Operasi SAR tahap awal sepenuhnya menggunakan anggaran Basarnas. Hal ini diungkap Kepala Sub Bagian Hubungan Antar Media Basarnas Yusuf Latif. "Untuk evakuasi satu minggu pertama, saat tanggap darurat, itu masih pakai anggarannya Basarnas," kata Yusuf kepada Tirto.
Dalam UU Penerbangan, diatur batas maksimal operasi SAR yang dibiayai negara adalah tujuh hari. Namun pada kenyataannya, waktu pencarian bisa lebih dari sepekan. Dan karena sifatnya mendesak, mau tak mau negara harus menalangi terlebih dahulu dana operasi SAR tersebut. Bukan masalah, tentu saja. Kita tahu ini perkara nyawa.
Kendati demikian, masih ada anggaran lain yang mungkin dipakai untuk evakuasi. Hal itu mengacu pada Pasal 73 UU 29/2014 yang menyebut biaya SAR bisa berasal dari "sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat." Dan salah satunya adalah lewat asuransi.
Dalam Pasal 62 UU Penerbangan mewajibkan setiap perusahaan maskapai mengasuransikan pesawat udara, personel pesawat, pihak kedua dan ketiga, dan kegiatan investigasi insiden dan kecelakaan pesawat. Atas dasar itulah Pengamat asuransi penerbangan Sofian Pulungan berpendapat asuransi seharusnya menanggung seluruh biaya operasi SAR.
"Tidak ada yang terbang tanpa asuransi. Setiap asuransi sudah terkandung unsur SAR. Jumlahnya pasti memadai," kata Sofian saat dihubungi VOI pada 16 Februari.
Biaya SAR yang ditanggung asuransi
Senada, Pengamat penerbangan Arman Juffry juga bilang perusahaan asuransi penerbangan seyogyanya menanggung biaya SAR. "Perusahaan asuransi seharusnya menanggung biaya search and rescue (SAR)," kata Arman ketika dihubungi VOI.
Ia menjelaskan besaran asuransi yang ditanggung perusahaan beragam. "Berkisar 500 ribu dolar Amerika Serikat (AS) sampai 10 juta dolar AS," kata Arman.
Kata Arman, asuransi SAR dibagi dua jenis. Pertama adalah search yang meliputi mulai dari dilaksanakannya operasi SAR sampai ditemukannya badan pesawat. "Kedua rescue, mulai dari proses pengangkatan serpihan dan badan pesawat, jenazah, kotak hitam, sampai pengehentian operasi."
Selama memenuhi azas fair and reasonable atau kewajaran, semua biaya SAR dapat ditanggung asuransi. Ia mencontohkan maksud dari unsur kewajaran tersebut.
Misalnya saja untuk anggaran konsumsi petugas. Kata Arman anggaran tak akan diganti bila harga makanannya 100 ribu. Tapi, "kalau misalnya 20 ribu itu fair."
Selain itu, soal biaya penjagaan malam hari di tempat kejadian menurutnya selama masuk akal maka bisa diganti oleh perusahaan asuransi. Begitu pun dengan biaya bahan bakar kapal dan pesawat yang dikeluarkan untuk mencari korban dan bangkai pesawat.
Lalu, berapa lama asuransi itu bisa cair?
Masih menurut Arman Juffry, prinsip yang dianut untuk mencairkan dana asuransi pesawat adalah dengan jemput bola. Menurut pengalamannya yang telah berkecimpung 20 tahun di industri asuransi penerbangan, paling tidak waktu yang dibutuhkan untuk mencairkan uang adalah sekitar dua minggu.
"Airline itu dari pertama kejadian itu biasanya langsung koordinasi dengan pihak asuransi. Keperluannya apa minta disiapkan uangnya. Begitu dokumen selesai, biasanya dua minggu sudah dibayar," ujarnya.
Bahkan kata Arman, perusahaan asuransi yang sudah berkembang seperti saat ini bisa lebih cepat lagi mencairkan dana asuransi. "Sekarang perusahaan asuransi aviasi bisa membayar uang muka terlebih dahulu."
Di Indonesia terdapat beberapa perusahaan yang menanggung asuransi pesawat. Dalam kasus Air Asia QZ8501 pada 2014 misalnya, PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) dan PT Asuransi Sinar Mas menanggung asuransi untuk badan pesawat.
Seperti diwartakan Kompas, Direktur Jasindo pada waktu itu Sahata L Tobing, memperkirakan nilai asuransi yang ditanggung mencapai 50 juta dolar AS. Sementara khusus untuk pesawat, pihaknya mereasuransikan kepada Allianz Global.
Ikuti Tulisan Seri Edisi Ini: Jerat Sar Pesawat