Bagikan:

Selamat datang kembali di Tulisan Seri khas VOI. Belum lama, tragedi kembali terjadi dalam penerbangan Indonesia. Pesawat Sriwijaya Air jatuh dalam nahas. Operasi SAR kemudian dilakukan. Tindakan yang jelas harus. Namun ada perspektif lain meliputi bencana semacam ini, tentang dana operasi SAR, bagaimana regulasi mengatur tanggung jawab dana operasi SAR. Artikel perdana dari Tulisan Seri "Jerat SAR Pesawat" akan mengulas tentang siapa sebenarnya yang harus menanggung biaya operasi SAR kecelakaan pesawat? Apa operasi SAR bisa membuat maskapai bangkrut?

Dalam satu dekade terakhir, tiga kecelakaan pesawat terjadi di Indonesia. Operasi pencarian dan evakuasi (SAR) pun digelar untuk mencari kotak hitam dan menelusuri kemungkinan korban selamat. Perlu biaya besar untuk itu. Aturan menyebut, negara memang boleh menalangi biaya tersebut. Namun, setelahnya maskapai harus mengganti. Masalahnya, sampai saat ini belum ada maskapai yang mengembalikan uang negara. Bila dibiarkan, ini bisa jadi preseden buruk yang membuat dunia penerbangan dalam negeri makin dipandang miring.

Tiga tragedi dunia penerbangan dalam satu dekade itu, antara lain: kecelakaan Air Asia QZ-8501 pada 2014, Lion Air JT-610 pada 2018, dan Sriwijaya Air SJ-182 pada awal tahun 2021. Sebagai negara kepulauan yang 77 persen wilayahnya hamparan laut, maka saat terjadi kecelakaan pesawat, besar kemungkinan tim SAR menelusuri lautan. Biaya operasi SAR di Indonesia jadi hampir pasti tak murah.

Setidaknya kapal dan helikopter perlu bahan bakar berliter-liter untuk sampai ke titik pencarian. Belum lagi biaya lain yang tak mungkin dipangkas, seperti makan dan minum para petugas di lapangan. Kita bisa berkaca dari pencarian pesawat Malaysia Airlines Mh-370 yang hilang di Samudra Hindia dan belum ditemukan sampai sekarang.

Seperti diketahui, pemerintah Australia dan Malaysia mengeluarkan lebih dari 100 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp1.3 triliun untuk operasi SAR. Kemudian saat pencarian pencarian Air Asia QZ8501 pada 2014, Menteri Perhubungan saat itu, Ignasius Jonan mengatakan biaya pencarian dan evakuasi mencapai Rp1 triliun.

"Biaya penyelamatan AirAsia Rp1 triliun," kata Jonan pada 20 April 2015 dikutip Kompas.

Operasi SAR (Angga/VOI)

Katanya angka itu untuk biaya keseluruhan semua instansi yang terlibat dalam pencarian, mulai dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Badan SAR Nasional (Basarnas), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dan instansi lain. Namun, Jonan tak merinci besaran alokasi.

Kepala BASARNAS kala itu, Bambang Soelistyo menepis anggapan bahwa pencarian korban pesawat AirAsia QZ8501 menelan dana besar. Bambang bilang dana yang dikeluarkan dalam 16 hari pencarian hanya Rp570 juta.

Kecelakaan lain, yakni operasi pencarian Lion Air JT 610, baik Basarnas maupun pemerintah tak membeberkan berapa biaya yang mereka gelontorkan. Namun pada Desembar 2018, pihak Lion Air menyatakan pihaknya mengaggarkan biaya sebesar Rp38 miliar, melanjutkan kembali pencarian Lion Air JT 610 yang sempat tertunda.

Lalu siapa sebenarnya yang bertanggung jawab menanggung biaya itu semua?

Aturan soal operasi SAR kecelakaan pesawat

Dalam perjanjian internasional The Chicago Convention of 1944 Annex 13 (ICAO) disebutkan negara harus menyiapkan fasilitas SAR, seperti kapal, pesawat terbang, tenaga ahli, peralatan, atau segala macam yang berhubungan dengan itu. Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (UU Penerbangan) menempatkan Basarnas sebagai satu-satunya pihak pelaksana operasi SAR terkait penerbangan.

Beleid itu juga mengatur batas maksimal operasi SAR yang biayanya ditalangi negara yakni tujuh hari. Namun pada kenyataannya, waktu pencarian bisa lebih dari seminggu. Dan karena sifatnya mendesak, mau tak mau negara harus menalangi terlebih dahulu dana operasi SAR tersebut. Bukan masalah, tentu saja. Kita tahu ini perkara nyawa.

Kendati demikian, pengamat asuransi penerbangan Sofian Pulungan mengatakan uang yang ditalangi oleh APBN itu sejatinya harus diganti oleh maskapai. Karena menurut Sofian negara tugasnya hanya mengoperasikan SAR bukan mengasuransikan pesawat.

Argumen itu bukan tanpa dasar. Sebab pada Pasal 62 UU Penerbangan, setiap perusahaan penerbangan harus memiliki asuransi. "Tidak ada yang terbang tanpa asuransi. Setiap asuransi sudah terkandung unsur SAR. Jumlahnya pasti memadai," kata Sofian saat dihubungi VOI

Dalam pasal tersebut, dijelaskan asuransi yang wajib dimiliki harus meliputi lima unsur. Antara lain: pesawat udara yang dioperasikan, personel pesawat, tanggung jawab kerugian pihak kedua (penumpang) dan pihak ketiga (kargo) serta kegiatan investigasi insiden dan kecelakaan pesawat udara.

Sayangnya, Sofian mengakui UU Penerbangan ini belum lengkap mengatur soal asuransi poin ke lima, yakni soal investigasi insiden dan kecelakaan pesawat. "Seharusnya ada penjelasan dari UU ini dalam bentuk peraturan menteri perhubungan."

Namun, sebetulnya rincian pada poin lima Pasal 62 UU Penerbangan sudah termaktub dalam klausul AVN 76 --landasan hukum untuk melakukan operasi SAR. "Di situ dijelaskan apa saja yang di-cover pada asuransi terkait SAR ini," kata Sofian.

"Mulai dari dicarinya pesawat, penyelaman, pengangkatan, sampai berhasil menemukan rangka pesawat, serpihan jenazah, hingga biaya identifikasi, itu sudah termasuk. Banyak yang belum mengetahui hal-hal itu karena semua dijelaskan dalam istilah bahasa Inggris," beber Sofian.

Sofian bilang memang ada salah kaprah pada masalah asuransi ini. Sebab ketika negara melakukan operasi SAR, pihak maskapai malah enggan mengetahui masalah biaya. "Padahal adanya asuransi juga untuk mengganti biaya yang telah dikeluarkan dari APBN."

Infografik (Raga Granada/VOI)

Bikin maskapai bangkrut?

Pihak negara, yang dalam hal ini bertanggung jawab atas operasi SAR, Basarnas telah melakukan kewajiban melakukan pencarian dan penyelamatan dalam kecelakaan pesawat. Kini, negara juga memiliki hak untuk mengklaim penggantian dana.

Setelah negara menjalankan tugasnya dengan menerjunkan operasional SAR, menurut Pakar asuransi penerbangan Sofian Pulungan, negara berhak mengklaim penggantian biaya. Menurutnya juga seharusnya hal ini bukan hal yang sulit, sebab pihak maskapai seharusnya memang telah menyediakan uang cadangan untuk membayar klaim.

"Toh, untuk SAR ini sudah diasuransikan. Dan saya tahu mekanisme asuransi bagaimana dan tidak ada masalah. Kemudian ada yang menakut-nakuti maskapai akan bangkrut, ya enggaklah," ujar Sofian.

Ilustrasi (Angga/VOI)

Masalah lain yang menghambat proses penggantian dana APBN ini, menurut Sofian adalah karena adanya pembelaan hukum. Tim kuasa hukum maskapai kata Sofian mengandalkan celah dari belum adanya peraturan pelaksanaan dari UU Penerbangan.

Padahal hal itu tak bisa menjadi dalih. Sebab tanpa peraturan pelaksanaan pun maskapai sudah wajib memiliki asuransi sebagaimana diatur dalam UU Penerbangan.

Menagih utang

Sofian adalah salah seorang yang sedang mengupayakan kasus pengembalian uang negara yang terpakai untuk operasi SAR kecelakaan pesawat dari ketiga maskapai yakni: Air Asia QZ 8501, Lion Air JT 610, dan yang terbaru adalah Sriwijaya Air SJ 182. Upaya itu sudah ia tempuh selama lima tahun. 

"Saya ingin sekali membawa case ini ke pengadilan. Kita lihat saja. Bukannya saya ada urusan atau dibayar atau apa, masalahnya adalah preseden. Saya takut ke depannya jika terjadi kecelakaan seperti Malaysia Airlines, babak belur keuangan negara kita," tegasnya.

Meskipun polemik ini kerap disuarakan dan dikemukakan, negara masih bergeming. Padahal uang triliunan tersebut sangat bisa dialihkan untuk keperluan negara, mengingat uang tersebut merupakan bagian dari APBN. 

Negara telah melakukan kewajiban dengan penuh dengan menjadi operator SAR, kini negara juga harus mendapatkan haknya secara penuh. Yang perlu digarisbawahi adalah negara tidak menyediakan asuransi untuk maskapai. Maka, sah-sah saja bila negara menagih APBN yang diutangi tersebut.

"Maskapai penerbangan di Indonesia ini cari untung. Mereka jual tiket, kan itu cari untung. Usaha ya, dalam usaha ini ya Anda harus tutup asuransinya. Masa sudah ada asuransi lalu pembayarannya oleh negara. Sejak kapan negara jadi perusahaan asuransi," kata Sofian.

Ikuti Tulisan Seri Edisi Ini: Jerat Sar Pesawat