Genap Sebulan Perang Rusia-Ukraina: Harga Mahal Sebuah Pengkhianatan
Gedung Universitas Kharkiv yang hancur lebur ditembak rudal pasukan Rusia. (Foto: BBC/State Emergency Services of Ukraine/EPA)

Bagikan:

JAKARTA – Pada 24 Maret, genap sebulan perang Rusia-Ukraina berkobar. Perang belum menunjukkan tanda-tanda bakal berhenti, meskipun upaya perundingan menuju gencatan senjata sudah dilakukan.

Jika dirunut ke belakang, konflik Rusia-Ukraina terjadi akibat keputusan yang dipandang sebagai pengkhianatan sebuah kesepakatan. Selepas Uni Soviet bubar pada 1991, negara-negara yang semula berada di bawahnya tercerai-berai.

Rusia sebagai negara terbesar di era Uni Soviet tetap ingin memegang kendali terhadap para “saudara” mereka yang memerdekakan diri. Rusia lantas mendirikan Persemakmuran Negara-Negara Independen (CIS), dengan mengajak 11 negara yang pernah tergabung dalam Uni Soviet. Negara-negara itu adalah Armenia, Azerbaijan, Belarusia, Kazakhstan, Kyrgystan, Moldova, Rusia, Tajikistan, Turkmenistan, Ukraina, dan Uzbekistan.

Tujuannya jelas, tetap memperkuat Blok Timur selepas Pakta Warsawa bubar. CIS sebagai pakta baru dibentuk demi mencegah Pakta Pertahahan Atlantik Utara (NATO) yang dikomandani Amerika Serikat, meluaskan pengaruh di Eropa Timur pasca Uni Soviet runtuh.

Petugas damkar Ukraina berusaha memadamkan mobil yang terkena serangan Rusia. (Wikimedia Commons/dsns gov.ua/State Emergency Service of Ukraine)

Meskipun Uni Soviet sudah bubar, Rusia sebagai negara terbesar dari pecahan Soviet tidak ingin begitu saja berpindah haluan. Rusia tidak otomatis menjadi liberal. Mereka tetap memegang teguh prinsip negara sosialis, meskipun tidak lagi menganut ideologi komunis.

Pada era kepemimpinan Mikhail Gorbachev di akhir 1980-an, Uni Soviet yang saat itu menjelang runtuh sempat agak condong ke Barat. Sebagai Presiden Soviet terakhir, Gorbachev menggaungkan konsep The Common European Home yang intinya ingin membentuk sebuah aliansi besar antara Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Rusia.

Konsep Gorbachev itu bertentangan dengan Doktrin Brezhnev yang dikeluarkan pendahulunya, Leonid Brezhnev. Doktrin Brezhnev adalah kebijakan luar negeri Soviet yang menyatakan bahwa ancaman terhadap negara manapun dalam blok sosialis Soviet, menjadi ancaman bagi semua. Negara-negara sosialis lainnya dibenarkan untuk mengintervensi jika ancaman tersebut ada.

Konsep keterbukaan yang diusung Gorbachev tenyata membuat Soviet kacau. Glasnost dan perestroika memakan induknya. Uni Soviet bubar, Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya di NATO seperti menemukan jalan tol untuk menjejalkan pengaruh ke negara-negara bekas Blok Timur yang sedang kebingungan.

Posisi Penting Ukraina

Mantan Presiden Rusia 1991-1999, Boris Yeltsin, pernah mengungkapkan pandangannya tentang Ukraina.

“Tanpa Ukraina, mustahil membayangkan Rusia,” kata Yeltsin.

Dua dekade lalu mantan penasihat politik Presiden AS, Lyndon B. Johnson yang berdarah Polandia,  Zbigniew Brzezinski, juga pernah menggaris bawahi peran geopolitik Ukraina terhadap Rusia.

“Rusia bisa memilih menjadi demokrasi atau kerajaan, tetapi tidak mungkin keduanya. Tanpa Ukraina, Rusia berhenti menjadi kerajaan. Tetapi dengan Ukraina ditundukkan dan disubordinasikan, Rusia secara otomatis menjadi sebuah kerajaan,” kata Brzezinski, seperti dituliskan Sandeep Tripathi, Doktor Ilmu Politik dari Jawaharlal Nehru University, New Delhi, India dalam jurnal International Affairs Forum (IAF).

Foto yang diambil Kementerian Pertahanan Rusia pada 2 Februari 2022 saat tank-tank Rusia melakukan latihan di Belarusia, menjelang serbuan ke Ukraina. (Russian Defence Ministry)

Jelas di sini bahwa Ukraina sangat penting bagi Rusia. Secara geografis, negara terluas kedua di Eropa itu menjadi pembatas antara Rusia dan Eropa Barat. Kedekatan Ukraina dengan jantung ekonomi Rusia di wilayah Volga, menjadikan negara ini sebagai kunci kekuatan geopolitik Rusia.

Secara historis, Rusia telah mempertahankan tujuan geostrategisnya di wilayah tersebut. Mencegah Ukraina menjadi pusat kekuatan saingan. Menjaga Ukraina tetap dalam lingkup pengaruhnya, dan berada di blok perdagangan CIS.

Rusia juga memanfaatkan Ukraina untuk mempertahankan kehadiran di Laut Hitam. Memegang kendali atas kota pelabuhan Sevastopol di Semenanjung Krimea sebagai pangkalan angkatan laut Rusia, juga strategis dan sangat penting.

Ukraina pun sangat penting dari sisi ekonomi, karena 80 persen lebih gas dari Rusia disalurkan ke Uni Eropa melalui Ukraina. Distribusi minyak bumi melalui pipa-pipa dari Rusia dan Asia Tengah ke Uni Eropa, sebanyak 75 persen juga melalui Ukraina. Dua hal tersebut juga penting bagi Ukraina, karena menjadi sumber pendapatan yang sangat besar.

Saudara yang Membandel

Pada tahun 2014, Presiden Vladimir Putin berpidato di depan Parlemen Rusia, mengungkapkan betapa berharga hubungan Rusia dan Ukraina.

“Jutaan orang berangkat tidur di satu negara, dan saat bangun dia sudah berada di negara asing. Sebagian menjadi etnis minoritas di bekas Uni Soviet. Jiwa kita sakit hati atas apa yang terjadi di Ukraina. Kami adalah satu orang, dan kami tidak dapat hidup tanpa satu sama lain,” ujar Putin.

Penyebab langsung dari konflik berkepanjangan Rusia dan Ukraina adalah penolakan mantan Presiden Ukraina, Viktor Yanukovych terhadap kesepakatan ekonomi dengan Uni Eropa. Sebaliknya, Yanukovych menerima tawaran bantuan 15 miliar dolar AS (sekitar Rp215 triliun) dari Rusia. Sikap Yanukovych tersebut langsung memicu gejolak politik di Ukraina, dan dia terdepak dari kursinya melalui gerakan Revolusi Orange pada 2004.

Revolusi Orange pada 2004 menjatuhkan Presiden Ukraina yang dekat dengan Rusia, Viktor Yanukovych. Aksi ini memicu kemarahan Presiden Vladimir Putin, sampai akhirnya menyulut perang Rusia-Ukraina. (Encyclopedia Of Ukraine)

“Aksi koalisi pro-Barat dan nasionalis Ukraina yang berusaha mengendalikan Kyiv, adalah penghinaan bagi Rusia. Di mata Kremlin aksi itu dapat mengancam entitas budaya, bahasa, dan identitas etnis Rusia. Tindakan itu merupakan provokasi bagi Putin, yang langsung campur tangan dalam perang saudara di Ukraina,” ujar Damitri Trenin, Direktur Carnegie Moscow Center, lembaga yang merupakan think tank politik Pemerintah Rusia.

Perang saudara di wilayah Donbass dan Semenanjung Krimea pada 2014, rupanya belum cukup untuk membuat Ukraina kapok. Mereka terus membandel dan melawan Rusia, sang saudara tua.

Perang Rusia-Ukraina 2022 yang sudah berlangsung sebulan, kembali menjadi bukti bahwa Ukraina merupakan tetangga yang sangat penting bagi Rusia. Rusia siap melakukan apa pun, demi menghalau niat Ukraina untuk bermesraan dengan blok barat dan bergabung di NATO.