Bagikan:

JAKARTA - Siapa yang mula-mula melontarkan ide agar jumlah ronde dalam pertarungan tinju pro dikurangi dari 15 menjadi 12? Salah besar kalau dijawab dari promotor, organisasi tinju pro, lembaga pengawas olahraga, apalagi pemerintah.

Ide pengurangan ronde pertarungan tinju pro dilontarkan oleh seorang wartawan. Namanya Howard Cosell, wartawan olahraga yang juga pembawa acara televisi di kanal ABC Sports mulai 1950-an sampai 1980-an.

Cosell terkenal sebagai wartawan olahraga yang paling dekat dengan Muhammad Ali. Dia mengikuti Ali sejak amatir, muncul sebagai petinju pro, sampai sang legenda itu mundur. Banyak kutipan-kutipan kalimat dan sesumbar terkenal Ali yang muncul karena dia terinspirasi dari gaya reportase Cosell yang penuh kritik dan “sengak”, kalau istilah kekinian “nyinyir”.

Howard Cosell dan Muhammad Ali, hubungan yang aneh namun akrab hingga melahirkan ide pengurangan ronde pertandingan tinju. (Foto: Sports Illustrated)

Hubungan mereka disebut ajaib, sebab keduanya pribadi yang bertolak belakang. Cosell seorang Yahudi, sedangkan Ali Muslim kulit hitam. Ali seorang playboy, kawin cerai, sementara Cosell hanya menikah sekali selama 46 tahun sampai istinya, Mary, meninggal tahun 1990.

“Aku berharap bisa bertemu dengannya di akhirat nanti,” ujar Ali saat memberikan sambutan dalam pemakaman Cosell pada April 1995, seperti dikutip ESPN.

Mungkin sekarang Ali sudah bertemu Cosell kembali. Pun ketika Ali meninggal pada tahun 2016. Nama Cosell disebut-sebut dalam sambutan orang-orang yang dekat dengan Ali, pada upacara pemakaman The Greatest di Louisville, Kentucky pada 10 Juni 2016.

Trauma Kematian Kim Duk-koo

Balik ke ide awal soal pengurangan ronde pertarungan tinju pro. Semua berawal saat Cosell tengah membawakan reportase pertarungan kelas berat WBC antara Larry Holmes melawan Randy “Tex” Cobb di Houston pada 26 November 1982.

Duel itu dikritik Cosell sebagai sangat tidak imbang, Holmes dianggapnya terlalu dominan. Holmes memang hanya mampu menang angka 15 ronde, namun Cobb babak belur akibat pukulan Holmes yang terlalu banyak masuk menghajar wajahnya. Pertarungan itu dicela Cosell habis-habisan.

Cosell rupanya masih sedih, marah, kesal dengan peristiwa yang terjadi dua pekan sebelum Holmes vs Cobb digelar. Peristiwa tersebut adalah kematian petinju Korea Selatan, Kim Duk-koo setelah kalah KO dari Ray “Boom Boom” Mancini dalam perebutan gelar kelas ringan WBA di Las Vegas pada 13 November 1982.

Kim kalah KO ronde 14 setelah dihujani banyak pukulan. Dia pingsan di ring, dan meninggal 4 hari kemudian dalam perawatan di rumah sakit. Pertarungan Mancini vs Kim menjadi duel paling tragis dalam sejarah tinju dunia, karena tak hanya menelan Kim sebagai korban.

Pukulan Larry Holmes telak mengenai wajah Randy "Texx" Cobb dalam duel tinju kelas berat di Houston, 

Ibu Kim, Yang Seon-nyeo, yang terlalu sedih atas kematian putranya lantas bunuh diri pada 29 Januari 1983. Pada 1 Juli 1983 giliran wasit yang memimpin pertarungan, Richard Green, melakukan bunuh diri akibat tekanan hebat yang dia alami pascatragedi Kim.

Cosell mengkritik wasit yang memimpin pertandingan Holmes vs Cobb, Steve Crosson, sebagai tidak cepat tanggap. Cosell ingin agar Crosson menghentikan pertarungan. Namun saat itu tidak ada aturan yang membolehkan wasit menghentikan pertarungan sebelum salah satu petinju menyerah. Cosell juga melihat ronde yang terlalu panjang adalah faktor lain penyebab fatalitas dalam pertarungan tinju pro.

“Saya bertanya-tanya, sebenarnya wasit ini sadar atau tidak kalau dia sedang membuat sebuah kampanye agar olahraga yang dia pimpin ini segera dihapuskan?” ujar Cosell melontarkan sindiran saat mengomentari pertarungan Holmes vs Cobb dalam siaran di ABC.

Cosell yang merasa ngeri dan traumatis pada kematian Kim, lantas mengancam tidak akan menyiarkan reportase tinju profesional lagi jika pertarungan tidak imbang masih saja terjadi, dan wasit tidak langsung menghentikannya.

Reformasi Aturan Tinju

Reformasi besar-besaran kemudian dilakukan, dan yang terpenting adalah aturan yang memungkinan wasit menghentikan laga jika pertarungan tidak seimbang. Tidak perlu menunggu sampai salah satu petinju roboh atau menyerah.

Aturan untuk menjaga keselamatan petinju itu sekarang dikenal sebagai “no standing eight count”. Wasit boleh langsung menyetop pertarungan, tak perlu menghitung sampai delapan saat melihat seorang petinju sudah kepayahan meskipun masih mampu berdiri.

Perubahan lain yang signifikan sebagai akibat dari kritikan Cosell tentu saja pengurangan jumlah ronde pertandingan, dari 15 menjadi 12. WBC mengawalinya pada tahun 1983, kemudian diikuti WBA pada tahun yang sama, dan terakhir IBF mengadopsinya pada tahun 1988 sebelum organisasi-organisasi tinju lain lahir di era 1990 sampai 2000-an.

Pengurangan jumlah ronde pertarungan efektif mengurangi jumlah kematian petinju di atas ring. (Foto: ringnews24.com)

Menurut data Journal of Combative Sport tahun 2011, kasus kematian petinju dalam satu abad berkurang nyaris 50 persen setelah beberapa aturan baru dalam tinju diberlakukan. Sepertinya perlu dibuat aturan pertarungan yang lebih baru dan kekinian. Tujuannya tentu agar kasus kematian petinju di atas ring bisa ditekan lebih dari 50 persen.