JAKARTA – Presiden-terpilih Donald Trump telah meminta Mahkamah Agung untuk memblokir larangan TikTok yang akan diberlakukan di Amerika Serikat pada 19 Januari mendatang. Kasus besar ini memunculkan konflik antara perlindungan hak kebebasan berbicara yang diatur oleh Amandemen Pertama Konstitusi AS dan kekhawatiran keamanan nasional terkait aplikasi video pendek milik China, TikTok.
Sementara itu, sejumlah sekutu Partai Republik dari Trump justru mengambil sikap berlawanan, yang semakin memperkuat perdebatan hukum dan politik terkait platform ini.
Perbedaan pandangan ini menambah tekanan pada Mahkamah Agung, yang memiliki mayoritas konservatif 6-3, dalam menentukan nasib TikTok. Aplikasi tersebut digunakan oleh sekitar 170 juta pengguna aktif bulanan di Amerika Serikat dan menjadi salah satu platform paling populer di dunia.
“Ini adalah kasus kebebasan berbicara yang paling signifikan dalam setidaknya satu generasi,” ujar Timothy Edgar, seorang mantan pejabat keamanan nasional AS yang kini mengajar di Universitas Brown. Edgar menambahkan bahwa jika TikTok benar-benar dilarang, “Volume kebebasan berbicara yang terancam dalam kasus ini adalah yang terbesar dalam sejarah Mahkamah Agung.”
TikTok menghadapi ancaman larangan setelah Kongres mengesahkan undang-undang dengan dukungan bipartisan pada tahun lalu. Undang-undang ini mengharuskan ByteDance, perusahaan induk TikTok yang berbasis di China, untuk menjual aplikasi tersebut atau menghadapi larangan di AS.
Presiden Joe Biden menandatangani undang-undang ini dengan alasan kekhawatiran bahwa TikTok dapat dimanfaatkan oleh pemerintah Tiongkok untuk mengakses data pengguna atau bahkan memata-matai warga Amerika.
Namun, TikTok dan ByteDance membantah tuduhan ini. Dalam dokumen pengadilan, mereka menyatakan bahwa undang-undang tersebut melanggar Amandemen Pertama Konstitusi AS, yang melindungi kebebasan berbicara dari campur tangan pemerintah.
TikTok memperingatkan bahwa undang-undang ini dapat menciptakan preseden buruk yang memungkinkan Kongres melarang siapa pun berbicara hanya karena adanya hubungan dengan entitas asing.
BACA JUGA:
Keamanan Nasional dan Perlindungan Data
Departemen Kehakiman AS, yang mewakili pemerintah, membela undang-undang tersebut dengan alasan bahwa TikTok menimbulkan ancaman keamanan nasional. Pemerintah menyoroti kemampuan TikTok untuk mengumpulkan data besar pengguna AS, mulai dari lokasi geografis hingga pesan pribadi, serta potensi aplikasi ini untuk memanipulasi konten yang dilihat oleh penggunanya.
“Membiarkan TikTok tetap beroperasi tanpa memutuskan hubungannya dengan Partai Komunis China berarti membahayakan data warga Amerika dan membuka peluang eksploitasi oleh pemerintah asing,” tulis para jaksa agung dari 22 negara bagian dalam dokumen mereka yang mendukung undang-undang tersebut.
Salah satu pendukung utama langkah ini adalah Jaksa Agung Montana, Austin Knudsen. Montana sebelumnya mencoba melarang TikTok di tingkat negara bagian, tetapi upaya tersebut diblokir oleh pengadilan federal. Kini, mereka bergabung dengan negara bagian lain untuk mendukung larangan nasional.
Donald Trump, yang akan memulai masa jabatan keduanya sebagai presiden pada 20 Januari, telah mengejutkan banyak pihak dengan perubahan sikapnya terhadap TikTok. Selama masa jabatan pertamanya, Trump mencoba memblokir aplikasi tersebut dan memaksa ByteDance untuk menjual TikTok ke perusahaan AS. Namun, kali ini, Trump justru menentang larangan tersebut.
Dalam dokumen pengadilan yang diajukan pengacaranya, John Sauer, Trump menyatakan bahwa ia memiliki “tempat khusus” untuk TikTok, sebuah platform yang disebutnya telah membantu kampanye politiknya mencapai “miliaran tayangan.” Trump berargumen bahwa masalah ini harus diselesaikan melalui cara politik, bukan dengan larangan langsung.
“Presiden Trump menentang larangan TikTok pada tahap ini dan mencari solusi melalui jalur politik begitu ia mulai menjabat,” tulis Sauer, yang juga merupakan pilihan Trump untuk menjabat sebagai solicitor general AS.
Sikap ini berbeda tajam dengan banyak politisi Partai Republik lainnya. Mitch McConnell, mantan pemimpin mayoritas Senat dari Partai Republik, bahkan menyamakan gugatan TikTok dengan seorang “kriminal keras kepala yang meminta penundaan eksekusi.”
Implikasi Larangan
Para ahli hukum memperingatkan bahwa keputusan Mahkamah Agung akan memiliki dampak besar terhadap kebebasan internet di Amerika Serikat dan dunia. Jika undang-undang ini ditegakkan, AS akan berada dalam posisi untuk melarang platform digital lainnya yang memiliki keterlibatan besar dengan investor asing.
“Jika larangan ini diberlakukan, dampaknya akan meluas tidak hanya pada TikTok tetapi juga pada platform lain seperti Telegram atau aplikasi internasional lainnya,” ujar Edgar.
Para pakar juga mencatat bahwa larangan tersebut dapat menyebabkan TikTok secara bertahap menjadi tidak dapat digunakan di AS, meskipun pengguna mungkin masih dapat mengakses aplikasi yang sudah diunduh. Namun, tanpa pembaruan perangkat lunak dan keamanan, aplikasi ini kemungkinan besar akan menjadi usang seiring waktu.
Selain itu, tekanan terhadap perusahaan teknologi besar juga meningkat. Pada 13 Desember 2024, sekelompok anggota parlemen AS mengirim surat kepada Apple dan Google, meminta mereka bersiap untuk menghapus TikTok dari toko aplikasi mereka setelah batas waktu 19 Januari. Langkah ini dirancang untuk menegakkan larangan tersebut jika undang-undang ini tetap berlaku.
Kasus ini berlangsung di tengah meningkatnya ketegangan perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia, AS dan China. Larangan TikTok juga menjadi bagian dari langkah yang lebih luas untuk membatasi pengaruh teknologi Tiongkok di pasar global.
Namun, tidak semua pihak setuju dengan langkah ini. Beberapa pengguna TikTok dan kelompok advokasi kebebasan berbicara menyatakan bahwa larangan tersebut lebih berakar pada politik daripada kekhawatiran keamanan nasional yang sebenarnya. Mereka juga mencatat bahwa platform pesaing seperti Facebook dan Instagram, yang dimiliki oleh Meta, dapat diuntungkan jika TikTok dilarang.
Keputusan Mahkamah Agung dalam kasus ini akan menjadi penentu penting bagi masa depan TikTok di Amerika Serikat. Jika larangan ini ditegakkan, aplikasi tersebut akan menjadi platform media sosial besar pertama yang dilarang di negara tersebut, menciptakan preseden baru bagi regulasi platform digital.
Bagi banyak pihak, termasuk pengguna TikTok, perusahaan teknologi, dan pembuat kebijakan, kasus ini bukan hanya tentang sebuah aplikasi, tetapi juga tentang batasan kekuasaan pemerintah dalam mengatur teknologi dan kebebasan berbicara. Dengan lebih dari 170 juta pengguna aktif bulanan, nasib TikTok tidak hanya relevan bagi dunia digital, tetapi juga bagi hak-hak dasar yang diatur oleh Konstitusi AS.