JAKARTA - GT-Sim Representative Raira Bhaskara mengatakan komunitas penggemar balap, khususnya kalangan pembalap profesional, semakin melihat racing simulator lebih dari sekadar gim, melainkan sebagai olahraga simulasi balap yang serius, sehingga saat ini sudah cukup berkembang.
Tim-tim balap terkemuka, termasuk di Formula 1, mempercayakan simulator untuk membangun dan menguji set-up mobil mereka sebelum menghadapi kompetisi di lintasan nyata.
“Jadi, lihat kemiripannya dengan yang asli, itu 90-95 persen. Baik dari putaran setirnya, apakah informasi yang diberikan oleh setirnya itu kan memberikan feedback. Input gas, rem, dan semuanya itu bisa dibilang mirip 95 persen,” kata Raira saat konferensi pers Lapakgaming Battle Arena di Mall Taman Anggrek, Jakarta, Jumat dikutip Antara.
Para pemain yang mahir dalam racing simulator menikmati pengalaman yang tak ternilai, seperti kemampuan beradaptasi secara cepat pada mobil balap nyata dengan usaha yang jauh lebih sedikit.
Meskipun tantangan seperti kecepatan dan G-Force tetap berbeda, elemen-elemen dasar seperti putaran setir, respons gas, dan rem secara mencolok mirip.
Dalam dunia simulator, kesalahan bisa di-restart tanpa konsekuensi fatal yang mungkin terjadi di kehidupan nyata.
“Kalau kita berminat menjadi seorang pembalap direkomendasikan menggunakan simulator, karena cost effectivity. Contoh, kalau misalnya kita nabrak game, kita tinggal restart. Kalau di dunia nyata, kita nabrak, kita enggak bisa restart hidup kita. Kalo nabrak di simulator, mobilnya bener lagi,” ujar Raira.
BACA JUGA:
Penting untuk diingat bahwa pemilihan metode pembelajaran juga tergantung pada tujuan individu.
Untuk seseorang yang ingin belajar menjadi pembalap, simulator bisa menjadi pilihan yang lebih menarik dengan biaya relatif rendah dan potensi pembelajaran yang mendalam.
Meski demikian, lain halnya untuk mengemudi mobil sehari-hari di jalan raya. Menurut Raira belajar langsung tetap menjadi opsi yang lebih relevan, meskipun perbedaan hukum lalu lintas di setiap negara dapat menjadi tantangan tersendiri.
“Kalau misalnya buat nyetir mobil biasa, kita ada aplikasinya juga yang simulator kota. Tapi berhubung di Indonesia Traffic Lawnya beda, dan sepertinya kalo mau belajar mobil itu lebih baik belajar langsung,” jelas Raira.