JAKARTA - Selebriti menggunakannya. Masyarakat umum harus mendapatkan undang jika ingin bergabung. China memblokirnya. Sedangkan investor beranggapan bahwa ini adalah platform bernilai milayaran dolar Amerika Serikat (AS).
Kini, platform media sosial terbaru ini viral. Menjadi bahan pembicaraan warganet, baik di Indonesia maupun maupun internasional. Sudah ada dua juta pengguna ponsel iPhone yang mengunduhnya, hasil pengamatan Sensor Tower.
Ya, deskripsi di atas adalah gambaran Clubhouse, aplikasi jejaring sosial khusus audio yang baru-baru ini mencatat beberapa pencapaian baru. Yang, dalam bahasa Washington Post, dianggap sebagai perwujudan obsesi Silicon Valley untuk memperkenalkan gaya hidupnya: eksklusif, terbatas, dan dipenuhi nuansa FOMO (Fear of Missing Out).
Apa yang Membedakan Clubhouse dengan Media Sosial Lain?
Semenjak pandemi, malam terasa lebih panjang. Waktu menjadi terlalu samar untuk dikenali. Tak jarang, jam 6 sore dipahami sebagai jam 6 pagi.
Di tengah keletihan psikis dan mental ini, manusia mulai masuk lebih dalam ke internet. Media sosial menjadi semacam oase, yang mengingatkan bahwa kita tidak hidup sendiri. Sedangkan obrolan grup yang berkualitas jadi emas yang dicari banyak orang.
Twitter adalah hari ini. Yang sedang terjadi. Platform di mana pengguna berbagi informasi terkini dan mengomentari berbagai peristiwa. Sedangkan TikTok layaknya lubang rumah kelinci yang dimasuki Dorothy dari The Wizard of Oz, melenakan dan membuatmu lupa waktu.
Di tengah kondisi ini, FOMO atau rasa takut ketinggalan semakin mengental. Semua orang ingin terlibat langsung dalam setiap fenomena digital yang terjadi. Baik dalam bentuk konten reaksi, video menari, atau sekadar komentar singkat.
Clubhouse is moving quickly today, but in some ways it feels like our journey started a long time ago. We wanted to take a moment to share our story and tell you a bit more about what's next.https://t.co/rsvnHYlS4b
— Clubhouse (@joinClubhouse) January 24, 2021
Berdasarkan FOMO itu pula Clubhouse dilahirkan. Aplikasi audio-chat ini tersedia untuk mereka yang mendapatkan undang saja. Sebagai permulaan, undangan hanya diperuntukan bagi selebriti, profesional bisnis, hingga penonton yang memiliki kesempatan untuk mendapatkannya.
Di dalam Clubhouse, pengguna bisa berinteraksi satu sama lain melalui room atau ruang diskusi yang tersedia. Sebagaimana clubhouse yang menurut kamus Miriam-Webster sebagai ‘sebuah rumah yang dihuni oleh klub atau dipakai untuk aktivitas klub”, pengguna bisa berkumpul dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan sama.
BACA JUGA:
Yang membedakan Clubhouse dengan platform media sosial lainnya adalah ketidakpeduliannya terhadap popularitas serta matrik engagement. Memang disediakan fitur bagi pengguna untuk membuat profil, yang bisa dipakai untuk mengikuti pengguna lain atau menjaring pengikut.
Akan tetapi, fokus utama dari aplikasi ini, menurut agensi digital Social Day, adalah isu yang menarik bagi pengguna serta memfasilitasi diskusi sehat berdasarkan isu tersebut. Selain itu, tentu saja menciptakan komunitas dengan ketertarikan isu yang sama.
Oleh karena itu, Clubhouse terasa seperti pertumbuhan media sosial yang lebih dewasa, positif, sehat, serta berfokus pada komunitas. Nilai-nilai yang membuat banyak pengguna sosial mulai cari sejak dimulainya pandemi.
Mengapa Terkesan Eksklusif?
Elon Musk dan Mark Zuckerberg hanyalah dua di antara ratusan tokoh internasional yang sudah menggunakan platform ini. Pada bulan Desember, apllikasi Clubhouse hanya memiliki 3.500-an anggota yang berasal dari berbagai penjuru dunia.
Kini, berdasarkan pengamatan Sensor Tower, Clubhouse sudah diunduh oleh lebih dari 2 juta pengguna iPhone. Meskipun penggunanya terus meningkat, kesan eksklusif tetap kentara dari aplikasi ini.
Seperti diketahui, Anda memerlukan undangan agar bisa bergabung dan membuka akun di dalam aplikasi ini. Memang, mengutip keterangan pengembang dari situs resmi Clubhouse, perusahaan sedang berupaya untuk membuat Clubhouse tersedia bagi semua orang.
“Nggak bermaksud eksklusif: kami cuma belum siap untuk meluncurkan versi umum untuk saat ini,” tulis perusahaan dikutip dari keterangan aplikasi Clubhouse, Selasa, 16 Februari.
— 👑 (@YBRAP) February 15, 2021
Ya, aplikasi yang sudah diunduh oleh pengguna, menurut perusahaan, merupakan versi Beta. Wajar kiranya jika ada keterbatasan, glitch, serta jumlah bug yang begitu banyak ditemukan pengguna. Hanya saja, menurut pengembang, ada dua alasan yang membuat perusahaan belum meluncurkan versi resmi.
“Pertama, menurut kami penting untuk menumbuhkan komunitas secara perlahan, ketimbang meningkatkan basis pengguna hingga 10x dalam semalam. Hal tersebut membantu kami dalam memastikan bahwa layanan tidak bobrok, menjaga komposisi komunitas tetap beragam, serta memungkinkan kami untuk menyesuaikan produk seiring pertumbuhannya,” terang perusahaan.
Kedua, perusahaan mengaku jika tim pengembang masih berukuran kecil. Selain itu, perusahaan juga belum selesai mengembangkan fitur yang memungkinkan platform mengakomodasi lebih banyak pengguna.
“Untuk saat ini, cuma ada kami berdua (Paul Davison dan Rohan Seth, founder Clubhouse, -red), yang menjadi karyawan,” tulis perusahaan.