Bagaimana Media Sosial Merenggut Kebahagiaan Kita
Ilustrasi (Raga Granada/VOI)

Bagikan:

Demam media sosial (medsos) berbasis pesan suara Clubhouse muncul ketika euphoria Tiktok belum reda. Hal ini menambah daftar panjang deretan aplikasi seringkali wajib terpasang di ponsel banyak orang. Hal ini tentu menambah durasi penggunaan medsos yang tercatat naik tiap tahunnya. Artikel perdana Tulisan Seri khas VOI"Pedang Bermata Dua Sosial Media" akan merefleksi perilaku kita di media sosial. Iya, kita. Anda juga kami.

Dalam waktu kurang dari lima tahun, platform media sosial (medsos) TikTok berhasil melambungkan namanya di kancah global. Jumlah pengguna aktif TikTok meledak sampai 800 juta pada 2020, merujuk data We Are Social.

Medsos asal China itu jadi platform nomor tujuh dengan pengguna paling banyak di dunia. Popularitasnya jauh mengungguli Twitter dan Snapchat, dua media sosial --yang meski berbeda secara karakteristik-- yang lebih dulu lahir.

Perusahaan riset aplikasi Senior Tower mendaulat TikTok sebagai aplikasi paling banyak paling banyak diunduh pada 2020. Setidaknya ada 63,7 juta unduhan di perangkat iOS maupun Android.

Jumlah itu naik 1,6 persen dari periode yang sama tahun lalu. Menariknya, menurut Sensor Tower, negara yang paling banyak mengunduh aplikasi ini adalah Indonesia. Kita menyumbang sebelas persen dari total unduhan TikTok.

TikTok menambah daftar panjang medsos yang paling banyak digunakan selain Instagram, Facebook, dan WhatsApp. Bagi banyak orang, TikTok jadi salah satu aplikasi yang wajib nongol di beranda ponsel pintarnya.

Di tengah gandrungnya warga dunia meramaikan lini masa TikTok, muncul medsos berbasis pesan suara, Clubhouse. Media sosial anyar ini berhasil memancing antusiasme baru di tengah kegandrungan TikTok yang belum reda.

Demam Clubhouse

Pecahnya antusiasme soal Clubhouse tak lepas dari pengaruh sederet tokoh revolusioner dunia, seperti pendiri Tesla Motors, Elon Musk dan pendiri Facebook, Mark Zuckerberg. Tokoh-tokoh ini muncul memelopori penggunaan Clubhouse.

Banyak orang menilai Clubhouse sebagai media sosial dengan kualitas konten berfaedah. Demam Clubhouse meluas ke berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Karakteristik Clubhouse dalam memberi pengalaman unik dengan mengutamakan fitur pesan suara menjadi salah satu daya tarik, selain eksklusivitasnya tentu saja.

Iya. Clubhouse memang muncul sebagai platform eksklusif. Mengingat kembali momentum pecahnya antusiasme Clubhouse, bahwa hanya orang-orang dengan nama besar yang 'layak' membuka ruang diskusi.

Namun, dalam perkembangannya, media sosial tetaplah media sosial. Penggunaannya meluas. Banyak orang kemudian menjadikan ruang diskusi di Clubhouse untuk konferensi-konferensi skala kecil yang melibatkan orang-orang di lingkaran pribadi.

Tak ada Elon Musk atau Mark Zuckerberg dan ilmu-ilmu yang diberikan oleh keduanya. Tapi, peduli angin. Begitulah medsos. Tak ada klasifikasi yang baku terkait siapa yang boleh dan tak boleh menggunakannya.

Salah seorang yang tak mau ketinggalan tren Clubhouse adalah Wanda. Tren Clubhouse, kata Wanda berawal dari teman-temannya yang berasal dari kalangan pemengaruh atau influencer.

Mulanya, Wanda acap kali melihat rekannya sering membagikan undangan untuk bergabung dengan aplikasi yang pertama kali dibuat pada Maret 2020. Minat untuk mengunduh aplikasi pun mulai muncul.

Bagi orang yang baru pertama kali mengunduh seperti Wanda, Clubhouse memang medsos yang cukup menyenangkan. Menurutnya, platform itu diciptakan khusus untuk berdiskusi. Tema diskusi pun tak terbatas, mulai dari pembahasan ringan, serius, hingga topik-topik persoalan orang dewasa. Semua bisa dibahas. Bebas.

"Tapi memang karena itu bebas ya aplikasinya, dan karena bisa sharing apa aja, bebas gak ada ketentuannya seperti ini, seperti itu ... Jadinya, setiap orang bisa mendapat manfaat dari diskusi yang ada," kata Wanda saat dihubungi VOI.

Ilustrasi (Unsplash/Erin Kwon)

Wanda mengaku memfokuskan Clubhouse sebagai sarana menggali informasi bermanfaat dari ruang-ruang diskusi dengan pembahasan menarik. "Makanya gue jadi pengguna yang memang saat butuh saja."

Senapas dengan Wanda, Ole mengaku sama. Pria 27 tahun itu tertarik dengan Clubhouse karena satu alasan: kebebasan. Dalam artian, ia bebas memilah konten-konten yang hendak ia konsumsi.

Kebebasan itulah yang menurut Ole menciptkan kenikmatan tersendiri yang tak bisa ia dapatkan dari platform lain. Tujuan Ole mengunduh Clubhouse jelas, yaitu untuk berdiskusi secara bebas.

Kebebasan menuntun Ole menikmati berbagai ruangan dengan ragam pembahasan yang tentunya ia kehendaki. "Benefitnya jelas, kebutuhan kita akan informasi tanpa sensor-sensor adalah mutlak. Kebebasan itu yang enggak gue dapat di aplikasi-aplikasi lainnya, selain Clubhouse,” kisah Ole.

Jerat candu medsos

Bertambahnya jumlah pengguna medsos berbanding lurus dengan durasi penggunaannya. Menurut Statista, rata-rata waktu yang dihabiskan penduduk dunia untuk mengakses media sosial terus meningkat sejak lima tahun lalu.

Pada 2016, misalnya. Waktu rata-rata penduduk dunia menggunakan internet untuk mengakses media sosial dalam satu hari mencapai 128 menit. Pada 2017, jumlahnya meningkat menjadi 134 menit per hari.

Tahun 2018, jumlahnya kembali meningkat ke angka 142 menit perhari. Lalu, pada 2019 menjadi 145 menit per hari. Dan pada 2020, masih di angka 145 menit per hari. Lamanya durasi seseorang bermedsos bukan tanpa dampak.

Psikolog klinis, Nadya Pramesrani, mengatakan aktivitas bermedia sosial tak boleh berlebihan. Hal yang sering kita dengar. Namun nyatanya penting untuk menanamkan pemahaman ini terus-menerus.

Bahkan dalam beberapa periode, seseorang harus secara berkala mengurangi penggunaan medsos atau yang biasa disebut dengan detoks medsos. Sebab kalau tak begitu, umumnya seseorang akan menjadi kecanduan.

"Di zaman sekarang, medsos memang bisa menjadi kecanduan. Socmed addiction adalah perilaku kecanduan dimana seseorang sangat concerned dengan performance dan aktivitas yang terjadi di medsosnya dan memiliki dorongan yang tak terkendali, untuk menggunakan medsos terus-menerus hingga mengganggu daily functioning-nya,” ungkap Nadya dikutip VOI.

Infografik (VOI/Raga Granada)

Nadya juga menambahkan dampak penggunaan medsos secara berlebihan tak bisa dianggap sepele. Penggunaan medsos berlebih, kata Nadya dalam beberapa penelitian berkorelasi dengan rendahnya self-esteem

Self-esteem adalah cara seseorang menghargai, menyukai, serta menyayangi diri sendiri. Bila self-esteem seseorang melemah, dampaknya pengguna medsos sering membandingkan dirinya dengan orang lain. Mereka sering merasa serba kekurangan. 

Untuk itu, penting bagi para warganet untuk bijak dalam bermedsos. Terlebih untuk mengurangi risiko mendapatkan perasaan tidak bahagia dari kecanduan medsos.

“Untuk saat ini aku tidak menemukan pakemnya musti maksimal berapa lama, tapi yang dibutuhkan adalah kontrol dan kesadaran diri sendiri untuk memastikan daily functioning lainnya (seperti self hygiene, work, live social interaction, study, rest, exercise) dapat berjalan dengan seimbang. Tapi, memang disarankan ada periode waktu untuk detoks digital,” tutup Nadya.

Dampak kecanduan bermedsos yang membahayakan self-esteem seseorang seperti kaya Nadya, diafirmasi oleh penelitian yang dilaporkan dalam jurnal JAMA Psychiatry. Jurnal itu mengungkap remaja yang menggunakan media sosial lebih dari tiga jam per hari berisiko tinggi menghadapi masalah kesehatan mental mengenai citra diri.

Efek negatif dari penggunaan medsos berlebih bukan cuma itu. Di Amerika Serikat sudah ada buktinya. Survei Pew Research yang meneliti para warganet dari kalangan remaja AS, menyebut beberapa risiko dari kecanduan medsos antara lain meningkatnya perasaan cemas bahkan depresi. 

Namun sayangnya, sebagian orang, khususnya para remaja AS yang diteliti Pew Research masih banyak menganggap sepele dampak negatif dari medsos. Jika hal ini dibiarkan, maka bukan tak mungkin bisa memicu persoalan yang lebih serius lagi.

Artikel selanjutnya: Patroli Maya Virtual Police