Denmark Berencana Tingkatkan Batas Usia Pengumpulan Data Pribadi Anak-Anak oleh Raksasa Teknologi
Menteri Bisnis Denmark, Morten Bodskov. (foto: twitter @mfMorten)

Bagikan:

JAKARTA - Denmark ingin meningkatkan batas usia pengumpulan data pribadi anak-anak oleh perusahaan teknologi besar seperti Google, Snapchat, dan Meta. Hal ini dilakukan dalam upaya untuk mengendalikan akumulasi data yang besar terhadap kaum muda, seperti disampaikan pemerintah pada Senin, 12 Juni.

Mereka ingin menaikkan batas usia persetujuan anak-anak untuk berbagi data pribadi dengan perusahaan teknologi, dari 13 tahun menjadi antara 15 dan 16 tahun. Perusahaan-perusahaan tersebut juga akan membutuhkan persetujuan dari orang tua untuk menggunakan data dari anak-anak yang lebih muda dari itu.

"Mereka yang menjadi raksasa teknologi harus bertanggung jawab lebih besar," kata Menteri Bisnis Denmark, Morten Bodskov, saat pemerintah mengungkapkan inisiatif untuk mengendalikan pengaruh perusahaan teknologi global.

"Kita harus menghentikan algoritma mereka yang tidak transparan, yang menggunakan metode yang tidak masuk akal untuk membuat anak-anak dan orang dewasa tetap terpaku di depan layar dan mengumpulkan jumlah informasi pribadi yang tak terbayangkan," ujar Bodskov seperti dikutip Reuters.

Langkah ini dilakukan ketika Jerman telah menetapkan batas usia 16 tahun, sementara negara-negara Eropa lainnya, mulai dari Hungaria hingga Lituania dan Belanda, sedang mengerjakan undang-undang serupa.

Amerika Serikat juga sedang mengerjakan RUU privasi online yang akan melarang perusahaan mengumpulkan informasi pribadi dari mereka yang berusia 16 tahun atau lebih muda tanpa persetujuan, serta mewajibkan perusahaan-perusahaan tersebut memungkinkan pengguna muda untuk menghapus informasi pribadi.

Inisiatif-inisiatif ini, yang diharapkan menjadi undang-undang tahun ini, didasarkan pada rekomendasi dari sebuah panel ahli.

Mereka juga akan memperkenalkan langkah-langkah verifikasi usia pada situs web dan aplikasi untuk menjauhkan anak-anak dari konten sensitif seperti pornografi atau video perang, demikian disampaikan oleh kementerian bisnis dalam sebuah pernyataan.