Bagikan:

JAKARTA - Parlemen Eropa telah melarang TikTok dari ponsel staf mereka. Keputusan ini  mengikuti jejak dua lembaga kebijakan Uni Eropa dan menegaskan kekhawatiran yang meningkat atas aplikasi berbagi video pendek asal China dan siapa yang dapat mengakses data pengguna.

Komisi Eropa dan Dewan UE minggu lalu melarang TikTok dari ponsel staf karena kekhawatiran yang semakin meningkat tentang perusahaan yang dimiliki oleh perusahaan China, ByteDance, dan apakah pemerintah China bisa memanfaatkan data pengguna atau memajukan kepentingannya.

Pemerintah Beijing secara teratur membantah memiliki niat seperti itu. Bahkan pihak TikTok ingin memberikan klarifikasi lebih lanjut tentang hal itu.  

Menurut juru bicara parlemen Uni Eropa, larangan tersebut, yang dimulai dari 20 Maret, akan berlaku untuk perangkat perusahaan seperti ponsel dan tablet yang terdaftar dalam aplikasi manajemen seluler Parlemen.

Mereka juga sangat menyarankan para anggota parlemen dan staf untuk menghapus TikTok dari perangkat pribadi mereka, yang mengkonfirmasi sebuah laporan dari Reuters sebelumnya.

TikTok mengatakan larangan tersebut salah arah dan didasarkan pada pemahaman yang salah.

"TikTok dinikmati oleh 125 juta warga UE dan membatasi akses pengguna ke wakil mereka adalah langkah yang sia-sia, terutama dalam perjuangan bersama kita melawan misinformasi dan ketika tindakan ini diambil atas dasar ketakutan daripada fakta," kata juru nicara TikTok, sperti dikutip Reuters.

Senat AS juga melarang TikTok pada perangkat yang dimiliki pemerintah, sementara Kanada mengadopsi keputusan serupa pada hari Senin. India telah melarang aplikasi tersebut di seluruh negeri.

Larangan TikTok oleh Parlemen Eropa, Komisi Eropa, dan Dewan Uni Eropa pada perangkat staf mereka dapat berdampak pada jumlah pengguna aplikasi tersebut di Uni Eropa. Ini juga dapat mempengaruhi reputasi TikTok sebagai platform yang aman bagi pengguna.

Selain itu, jika negara atau organisasi lain juga melarang penggunaan TikTok, maka hal ini dapat berdampak pada potensi pendapatan iklan dan kemitraan bisnis TikTok di wilayah tersebut. Namun, dampak kerugian secara finansial secara langsung masih belum dapat diukur karena larangan ini baru diberlakukan dan masih berlangsung.

Beberapa negara yang telah menghukum TikTok atau mengambil langkah-langkah untuk membatasi penggunaannya di wilayah mereka antara lain:

India - Pada Juni 2020, pemerintah India melarang TikTok dan 58 aplikasi asal China lainnya, dengan alasan keamanan nasional dan privasi data pengguna.

Amerika Serikat - Pada Agustus 2020, Presiden AS Donald Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang mengharuskan ByteDance untuk melepaskan kendali atas operasi TikTok di AS dalam waktu 90 hari. Hal ini dilakukan karena AS juga memiliki kekhawatiran atas privasi data pengguna dan potensi akses oleh pemerintah China.

Indonesia - Pada Juli 2018, Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) melarang TikTok karena melanggar UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) terkait dengan konten pornografi yang diusulkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak, serta laporan dari lapisan masyarakat. Namun larangan itu hanya sementara.

Pakistan - Pada Oktober 2020, Pakistan melarang TikTok karena menganggap aplikasi tersebut "tidak memadai" dalam menjaga moral dan etika di negara tersebut.

Bangladesh - Pada Februari 2021, pemerintah Bangladesh meminta TikTok untuk menghapus konten "provokatif" dan "tidak senonoh" dari platform mereka atau mereka akan melarang aplikasi tersebut.

Uni Eropa - Pada Februari 2021, Parlemen Eropa, Komisi Eropa, dan Dewan Uni Eropa melarang TikTok dari perangkat staf mereka karena kekhawatiran privasi dan keamanan nasional.

Alasan-alasan yang menyebabkan larangan tersebut bervariasi, namun sebagian besar berkaitan dengan privasi data pengguna dan keamanan nasional.