TikTok Dapat Kesempatan untuk Bertahan di AS
Ilustrasi TikTok (unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Masalah TikTok dengan pemerintah Amerika Serikat (AS) sepertinya tak kunjung usai. Dikabarkan, layanan video kreatif itu diberi waktu lagi selama seminggu untuk mencari pembeli perusahaannya.

Sejatinya, TikTok harus hengkang dari AS pada 27 November mendatang, tetapi ByteDance selaku induk perusahaan TikTok kembali diberi waktu seminggu lagi untuk meyakinkan pemerintah AS agar tidak langsung melarangnya.

Di samping itu, TikTok tetap diharuskan mencari perusahaan yang ingin mengakuisisi operasinya di AS, karena beberapa proposal perusahaan asal China tersebut telah berulang kali ditolak pemerintah.

Dari laporan yang berbedar, TikTok seharusnya sudah tidak lagi berada di AS pada 12 November, tenggat waktu awal itu ditetapkan oleh Presiden AS Donald Trump bagi perusahaan untuk mengajukan proposal yang di mana TikTok harus menjual operasinya di AS kepada perusahaan AS lainnya.

Namun, entah karena momen pemilihan presiden beberapa waktu lalu atau bukan, ketika tanggal itu semakin dekat, pemerintah pun menjadi tidak jelas tanpa kabar. Hal ini tentu saja membuat TikTok bertanya-tanya apakah mereka telah dilupakan.

Selama beberapa bulan, TikTok telah melakukan pembicaraan dengan Walmart, Oracle, dan investor AS lainnya untuk melakukan kesepakatan dalam menangani operasi TikTok di AS, termasuk memegang data penting pengguna AS.

ByteDance mengungkapkan bahwa pihaknya sudah membuat empat proposal lain sebelum 10 November. Tetapi hingga kini belum ada perusahaan yang disetujui oleh Trump.

Hal itu tentu saja membuat nasib TikTok masih menggantung, terutama mengingat ketidakpastian di kancah politik AS saat ini. Namun, pemerintahan Trump sendiri juga kehabisan waktu sebelum menyerahkan kendali kepada pemerintahan baru.

Sebelumnya, Trump juga pernah melakukan upaya untuk membatasi operasi TikTok di AS, namun langsung ditolak oleh pengadilan federal, yang membuat strategi divestasi ini sebagai jalan terakhirnya. Demikian dilansir dari South China Morning Post, Kamis 26 November.