JAKARTA -CEO Meta Mark Zuckerberg kembali menghadapi gugatan hukum. Kali ini ia digugat oleh Jaksa Agung Distrik Columbia Karl Racine atas dugaan perannya dalam skandal privasi Cambridge Analytica.
Zuckerberg dituduh telah mengizinkan konsultan politik Canbridge Analytica untuk memanen data pribadi jutaan orang Amerika Serikat (AS) selama siklus pemilihan umum pada 2016 tanpa persetujuan.
Selain itu, dia juga diduga memiliki kemampuan untuk mengontrol operasi sehari-hari dan membantu kampanye pemilihan Donald Trump.
"Gugatan ini tidak hanya dibenarkan, tetapi perlu dan mengirimkan pesan bahwa para pemimpin perusahaan, termasuk kepala eksekutif, akan dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka," imbuhnya.
Sebelumnya, Racine memang sudah menggugat Meta di bawah Undang-Undang Prosedur Perlindungan Konsumen Distrik Columbia. Tindakan tersebut membuat individu bertanggung jawab atas pelanggaran jika mereka mengetahuinya pada saat itu.
Namun, gugatan pada Zuckerberg bukan tanpa bukti melainkan dibekali ratusan ribu dokumen, termasuk deposisi dari karyawan dan pelapor yang telah dikumpulkan sebagai bagian dari litigasi yang sedang berlangsung terhadap Meta.
“Sejak mengajukan gugatan penting kami terhadap Facebook, kantor saya telah berjuang mati-matian melawan upaya karakteristik perusahaan untuk menolak memproduksi dokumen dan sebaliknya menggagalkan gugatan kami. Kami terus bertahan dan telah mengikuti bukti-bukti yang tepat untuk Zuckerberg," jelas Racine.
BACA JUGA:
Racine juga menuduh bahwa skandal Cambridge Analytica adalah hasil dari keinginan Zuckerberg sendiri untuk membuka Facebook bagi pengembang pihak ketiga.
Dengan strategi tersebut, maka menurut Racine akan timbul risiko kebocoran data. Dalam satu email yang membahas kebocoran negara, Zuckerberg mengatakanada risiko yang jelas di sisi pengiklan.
Gugatan juga menyebutkan sejak 2012, di mana Zuckerberg telah menjabat sebagai ketua dewan Facebook, dia mengendalikan sekitar 60 persen saham voting.
Melansir The Guardian, Selasa, 24 Mei, Cambridge Analytica telah disewa oleh tim kampanye pemilihan Trump 2016, dan parahnya memperoleh akses ke data pribadi 50 juta pengguna Facebook.
Perusahaan mengklaim informasi tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi berbagai jenis pemilih dan memengaruhi perilaku mereka. Pada 2019 Facebook didenda 5 miliar dolar AS setara Rp73 triliun oleh Federal Trade Commission (FTC) karena melanggar privasi konsumen.