Bagikan:

DPR RI baru saja mengesahkan Revisi Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ). Keputusan ini menandai sebuah babak penting dalam sejarah Jakarta. Status ibu kota negara, yang dipegang sejak 1949, akan segera beralih ke Nusantara, Kalimantan Timur. Jakarta, kota yang kerap disebut tak pernah tidur, kini berada di titik persimpangan: apakah ini akhir kejayaannya, atau justru awal dari transformasi besar?

Sebagai ibu kota, Jakarta adalah pusat segalanya—ekonomi, budaya, politik. Dengan populasi 10,7 juta jiwa pada 2022, menurut BPS, kota ini menyumbang Rp3.200 triliun atau 16,6% dari PDB nasional. Namun, angka yang luar biasa itu sering kali menyembunyikan wajah lain Jakarta: kemacetan parah, banjir musiman, dan kualitas udara yang sering berada di level berbahaya. Bukan satu kali Jakarta mendapat peringkat sebagai salah satu kota dengan udara terburuk di dunia.

Di tengah pertumbuhan yang pesat, Jakarta menghadapi tantangan besar dalam mengelola dampak dari urbanisasi. Kemacetan adalah bagian dari keseharian warga, sementara banjir menjadi ancaman rutin yang tak kunjung terselesaikan.

Jika Presiden Prabowo Subianto resmi menandatatangani keputusan presiden (keppres) mengenai pemindahan ibu kota ke Ibu Kota Nusantara (IKN) maka peralihan ke Nusantara memberi Jakarta peluang besar untuk mendefinisikan ulang dirinya.

Dengan kata lain, peralihan ibu kota ke Nusantara, beban berat itu akan berkurang. Jakarta tidak lagi harus fokus pada protokol pemerintahan atau urusan administratif negara, Jakarta bisa memusatkan energi pada inovasi ekonomi, budaya, dan teknologi.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tentu telah menyusun sejumlah strategi terkait perubahan status. Misal, modernisasi infrastruktur, pengembangan transportasi publik, dan digitalisasi layanan. Meski demikian, langkah-langkah ini harus disertai dengan perubahan paradigma dalam pengelolaan kota. Transformasi tidak hanya bergantung pada pembangunan fisik, tetapi juga pada kemampuan untuk membangun ekosistem yang mendukung kualitas hidup warganya.

Apakah Jakarta mampu tetap relevan di panggung ekonomi regional tanpa embel-embel "ibu kota"? Kawasan Asia Tenggara semakin kompetitif, dengan kota seperti Kuala Lumpur, Singapura, dan Bangkok yang terus mengembangkan daya saing mereka.

Jika Jakarta tidak memiliki strategi besar yang holistik, kota ini berisiko kehilangan daya tariknya. Modernisasi infrastruktur saja tidak cukup jika tidak disertai dengan pengelolaan sumber daya manusia yang lebih baik, peningkatan kualitas udara, dan penanganan banjir yang konkret.

Jika ingin benar-benar menjadi kota global, Jakarta harus membangun identitas baru yang kuat. Kota ini tidak bisa lagi hanya bergantung pada status simbolisnya. Transformasi harus mencakup investasi besar dalam sumber daya manusia, peningkatan kualitas hidup, dan keberlanjutan lingkungan. Warga Jakarta tidak membutuhkan janji kosong—mereka membutuhkan perubahan nyata yang terasa dalam kehidupan sehari-hari.

Kepemimpinan Jakarta juga memegang peranan penting. Gubernur baru yang terpilih harus mampu membawa keberanian untuk menciptakan peluang baru, bukan hanya menyelesaikan masalah lama. Pendekatan reaktif harus digantikan dengan visi yang jelas dan strategi proaktif untuk menjadikan Jakarta sebagai pusat kreativitas dan inovasi.

Sejarah memberi Jakarta peluang besar untuk keluar dari bayang-bayang status ibu kota. Dengan langkah strategis, Jakarta bisa membuktikan bahwa kota ini lebih dari sekadar simbol negara.

Bayangkan jika Jakarta tidak lagi menjadi magnet ekonomi, sementara Nusantara berkembang pesat?

Kesuksesan atau kegagalan Jakarta tidak hanya akan ditentukan oleh rencana di atas kertas, tetapi juga oleh eksekusi nyata yang menyentuh kehidupan sehari-hari. Apakah Jakarta siap menghadapi babak baru ini? Atau, apakah kota ini akan menjadi cerita tentang kejayaan yang memudar? Hanya waktu yang bisa menjawab.