SportCast: Doni Setiabudi, Mengurai Kontroversi di Lapangan Sepak Bola Melalui VAR
Calon Ketua Umum PSSI, Doni Setiabudi. (Foto: Instagram/@a_7alu)

Bagikan:

JAKARTA – Penggunaan teknologi video assistant referee (VAR) di kompetisi sepak bola Indonesia menjadi salah satu topik penting yang banyak dibicarakan para calon ketua umum PSSI periode 2023-2027.

Salah satunya adalah dari Doni Setiabudi yang ikut maju bertarung untuk memperebutkan kursi nomor satu di induk sepak bola nasional itu pada 16 Februari mendatang. Wajar ia getol mengedepankan program itu karena pengalamannya.

Sosok yang pernah menjabat CEO Bandung Premier League itu adalah orang pertama di Indonesia yang mencari jalan keluar atas berbagai kontroversi di lapangan menggunakan teknologi itu di kompetisi amatir yang dinaunginya.

Inisiatif itu muncul usai keberhasilan teknologi itu saat digunakan untuk pertama kalinya di Piala Dunia yang digelar di Rusia pada tahun 2018.

Meskipun penggunaan VAR di Bandung Premier League masih jauh dari sempurna, usahanya diklaim sanggup memperkecil kontroversi di lapangan sepak bola. Keputusan-keputusan yang menggunakan teknologi itu pun mulai bisa diterima semua pihak.

"Tingkat keributannya sudah sangat sedikit, wasitnya juga mulai punya kepercayaan diri karena dipercaya oleh pemain sehingga timbullah kompetisi yang sehat," katanya.

Bertolak dari pengalaman itu, ia pun ingin membawa teknologi yang pernah diterapkannya di ajang amatir ke dalam sepak bola profesional di Indonesia. Penggunaan teknologi yang memadai, menurutnya, otomatis akan memangkas ruang gerak mafia sepak bola.

Lantas seperti apa niat mulia Doni untuk membenahi sepak bola Indonesia dengan teknologi? Berikut ini bincang-bincang wartawan VOI Cosmas Kopong Beda dengan Doni Setiabudi, calon ketua umum PSSI periode 2023-2027:

Calon Ketua Umum PSSI, Doni Setiabudi. (Foto: Instagram/a_7alu)
Calon Ketua Umum PSSI, Doni Setiabudi. (Foto: Instagram/@a_7alu)

Momen pertama yang bisa membuat Anda tertarik terjun ke sepak bola nasional?

Saya terjun di sepak bola sejak 2014 karena ingin melihat sepak bola kita yang tidak ada perubahan meskipun banyak orang di Indonesia ini yang mempunyai kapasitas, kompetensi, dan integritas. Masak dengan begitu banyak potensi yang bisa kita manfaatkan, tetapi federasi kita tidak ada perubahaan apa-apa. Dari pemikiran itulah saya mencoba memberanikan diri untuk ikut serta di pemilihan ketua umum PSSI.

Sebelumnya Anda pernah mengelola Bandung Premier League dan mencetuskan penggunaan video assistant referee (VAR) di sana, kira-kira apa yang didapat dari sana yang nantinya mau dibawa ke PSSI?

Pertama-tama, VAR itu sendiri. Saya menilai kompetisi di Indonesia harus menggunakan teknologi VAR. Itu sudah tidak bisa ditawar lagi, terutama dari pengalaman saya, menggunakan teknologi seperti itu sangat bermanfaat untuk pertandingan bisa berjalan dengan fair (adil) dan sangat membantu kinerja wasit di lapangan. Jadi, VAR itu wajib ada di kompetisi Indonesia.

Bisa Anda ceritakan kenapa bisa ada inisiatif menggunakan VAR di kompetisi amatir Bandung Premier League?

Awalnya karena memang di liga saya di amatir itu banyak perkelahian karena ketidakpuasan terhadap keputusan wasit, baik handsball, penalti, atau pelanggaran. Jadi, saya mencoba mencari solusi agar pertandingan di liga saya itu bisa berjalan lebih fair dan bagaimana membantu wasit di dalam mengambil keputusan. Ketika ada momen Piala Dunia 2018 Rusia yang menggunakan VAR, saya pun berinisiatif meniru dengan teknologi seadanya dan ternyata itu berhasil. Artinya, tingkat keributannya sudah sangat sedikit, wasitnya juga mulai punya kepercayaan diri karena dipercaya oleh pemain sehingga timbullah kompetisi yang sehat.

Berapa biaya pengadaan VAR waktu itu?

Awal-awal waktu itu versinya beda dengan VAR yang ada di Piala Dunia. Jadi, itu VAR versi kami dengan teknologi yang tidak begitu mahal. Cuma keluar uang 25-35 jutaan saja. Namun, sekarang sudah mulai ratusan juta karena harus ditingkatkan terus kalau bicara teknologi. Teknologi update kamera yang awalnya cuma harga 1-2 jutaan, sekarang sudah 50, 60, 75 jutaan.

PSSI punya segudang masalah yang agak sulit dibenahi. Dengan tantangan seperti itu jika terpilih apa yang sudah Anda persiapkan untuk membenahi benang kusut di PSSI?

Benang kusutnya itu harus diurai secara bertahap. Jadi, untuk memperbaiki federasi kita itu butuh waktu dan butuh proses. Tidak bisa instan. Jadi, nanti akan dipelajari terlebih dahulu. Misalnya, anggota komite eksekutif yang bermasalah, kita cari apa masalahnya. Contoh ada anggota adalah perwakilan dari klub yang memungkinkan munculnya unsur kepentingan. Jadi, kalau bisa anggota komite eksekutif jangan berasal dari klub. Kemudian untuk kompetisi, harus ada VAR dan teknologi goal line. Lalu masalah wasit juga akan dipelajari. Kenapa mereka bisa disuap. Mungkin karena pendapatan kecil atau kapasitas pembelajaran mereka kurang. Itu harus diurai satu per satu baru bisa dipecahkan. Sekali lagi memang butuh proses dan waktu. Namun, bukan tidak mungkin. Tentu mungkin, tetapi pelan-pelan.

Jika nanti Anda tidak terpilih menjadi Ketua Umum PSSI, apakah Anda tetap mau bersedia berkontribusi buat sepak bola nasional?

Selama saya dibutuhkan oleh PSSI, saya pasti support, pasti bantu. Saya tidak melihat bahwa harus menjadi ketua, wakil, atau anggota, baru mau berkontribusi. Itu bukan pemikiran saya. Pemikiran saya adalah dengan posisi apa saja selama bisa membantu kinerja PSSI untuk sepak bola Indonesia kenapa tidak.

Anda menyebut VAR bisa mengurangi ruang lingkup mafia di sepak bola nasional berarti Anda tahu ada permasalahan struktural itu di tubuh PSSI. Apakah Anda pernah mengalami dan punya pengalaman buruk dengan mafia?

Ya, ada beberapa. Waktu saya menangani klub. Cuma kalau hanya berada di klub otomatis tidak bisa membereskan mafia. Jadi, federasi harus clear dan clean. Kita juga tahu ada beberapa oknum-oknum di anggota komite eksekutif yang ikut bermain, itu yang harus dibersihkan. Kalau pengalaman buruk dengan mafia sejauh ini belum karena mereka tahu saya orangnya clear. Jadi, mereka otomatis tidak mau bersentuhan dan saya juga sudah pasti tidak mau bersentuhan. Itu akar masalah sepak bola kita ada di federasi. Itu dulu nomor satu.

Doni Setiabudi Soal Liga, Timnas dan Pembinaan Usia Dini

Doni sadar permasalahan sepak bola Indonesia bukan hanya sekadar mafia dan penerapan VAR. Dia tak menampik ada sektor-sektor lain yang harus dibenahi.

Kompetisi liga yang berkualitas, timnas kuat yang bakal disegani, serta pembinaan usia dini yang perlu ditata rapi, akan jadi fokusnya.

Sejumlah permasalahan itu yang akan coba dia perjuangkan saat maju menjadi calon Ketum PSSI. Meski sadar lawan yang dihadapi merupakan para "raksasa", dia tak gentar dan siap memberikan kontribusi untuk kemajuan sepak bola Indonesia.

Lantas bagaimana dia menghadapi debut dalam persaingan menuju kursi PSSI 1?

Liga 2 Indonesia dapat rekomendasi dari pengurus saat ini untuk dilanjutkan oleh pengurus baru. Jika Anda terpilih, apa yang Anda lakukan untuk Liga 2?

Sekarang ini kalau mau bicara jujur, pengurusan baru dipilih tanggal 16 [Februari 2023] dan dilantik dua hari kemudian atau satu hari setelahnya atau katakan di awal Maret. Jadi, kalau Liga 2 dijalankan di Maret tidak mungkin karena tidak lama lagi bulan puasa. Kalau mainnya malam itu pasti terbatas. Kalau memang setelah Lebaran, Mei itu sudah Piala Dunia. Itu artinya kompetisi harus berhenti. Kalau mulai lagi di Juni untuk melanjutkan musim yang lama, saya pikir agak berat. Jadi, pasti harus dengan musim yang baru. Tidak mungkin meneruskan yang lama. Maksud saya kadang ada orang memberikan harapan-harapan kosong terhadap pemain. Kalau memang sudah tidak bisa dilanjutkan, ya, tidak bisa saja. Jangan seolah-olah hanya untuk dapat dukungan suara.

Itu juga jangan dibebankan kepada pengurus baru. Itu jelas ketidakmampuan pengurus lama. Kalau saya berpikir tidak bisa waktunya. Kalau bulan Juni tidak mungkin meneruskan liga sekarang dan memang harus memulai musim baru. Seharusnya mereka memutuskan saja kalau memang mereka tidak sanggup menjalankan liga tahun ini, ya, sudah diputuskan saja. Jangan dibuat ambigu seperti nanti akan diputuskan oleh pengurus yang baru. Itu artinya jangan ada utang di masa lalu. Jadi, kalau sudah tidak bisa dipastikan saja biar pemain tidak berharap. Bayangkan saja nanti Liga 2 tiba-tiba tidak jalan lagi, nanti pengurus baru kena juga. Mestinya harus dipastikan dari awal, musim depan musim baru saja.

Permasalahan pemanggilan pemain timnas Indonesia yang berujung ribut antar pelatih. Apa yang perlu Anda lakukan jika terpilih untuk menghindari hal itu bisa terjadi lagi?

Itu sebenarnya tidak ada yang salah baik Shin Tae-yong, Thomas Doll, dan Luis Milla karena kompetisi kita masih amburadul. Sekarang sebagai contoh kita akan menggelar Piala Dunia U-20, tapi Elite Pro U-20 kita juga tidak dilaksanakan. Ketika sekarang tidak ada promosi dan degradasi, harusnya PSSI langsung cermat buat regulasi lima pemain usainya wajib U-20. Kasih kesempatan ke anak-anak di bawah U-20 untuk ikutan agar siapa tahu dengan banyaknya sumber daya yang terlihat oleh Shin Tae-yong. Thomas Doll dan Luis Milla di sisi lain tidak pernah mengalami pemusatan latihan jangka panjang di negara mereka untuk pemanggilan pemain timnas karena rata-rata pemainnya sudah jadi hanya tinggal dipanggil, latihan seminggu sudah. Kalau tidak kita tidak seperti itu. Piala Dunia di kita tidak setahun sekali, ya, sudahlah wajar pemusatan latihan panjang. Jadi, ke depan kalau kompetisi benar, kompetisi kompetitif, kompetisi bisa berjalan, ya pasti tidak ada kasus seperti itu lagi.

Apakah ini terkait jadwal kompetisi yang kacau, bagaimana menurut Anda?

Kalau untuk jadwal banyak faktor. Karena ini salah satunya masalah perizinan juga. Jadi, tidak hanya bisa ditentukan oleh satu pihak. Ini harus benar-benar diskusi juga dengan pihak keamanan, kepolisian. Supaya tidak seperti sekarang. Izin tidak keluar. Kalau liga tidak jelas seperti ini, investor juga tidak tertarik.

Sejauh ini menurut Anda Elit Pro bagaimana?

Konsepnya masih sekedar asal jalan. Sistemnya masih turnamen. Kalau sistemnya itu, ya, jumlah pertandingan sedikit. Kalau jumlah laga sedikit, kualitas dan potensi anak-anak tidak akan terasah. Makanya butuh satu kompetisi yang bagus. Format kompetisi yang baik. Misalnya dengan sistem liga. Di Eropa dengan sistem liga, dengan homebase masing-masing. Cuma di kita karena keterbatasan anggaran. Namun, anggaran seharusnya bisa menggandeng pihak ketiga. Ya, jadi sebetulnya yang harus kita persiapkan itu mulai dari pondasi sepak bola Indonesia. Mulai dari pembinaan usia muda, pembinaan usia dini, kemudian kompetisi usia dini, kompetisi usia muda. Itu betul-betul harus ada di seluruh daerah di Indonesia. Kalau semakin banyak kompetisi yang bagus, yang sehat, otomatis akan melahirkan pemain-pemain yang punya potensi juga. Kalau banyak pemain potensial, kesempatan dapat prestasi jadi jauh lebih besar karena ketersediaan sumber daya manusia sebagai pemain begitu banyak dan di Indonesia sangat memungkinkan dengan jumlah penduduk besar. Cuma sekarang permasalahannya adalah kita tidak fokus ke pembinaan usia dini. Masih dianggap sepele. Padahal itu hal paling utama.

Bicara pembinaan usia dini di seluruh daerah di Indonesia kenyataannya adalah masih banyak daerah yang fasilitas belum memadai?

Solusinya begini. Masih terlalu banyak sekolah sepak bola (SSB) yang tidak terafiliasi atau tidak terkontrol asosiasi kota, asosiasi kabupaten, dan asosiasi provinsi. Jadi, mereka cuma membuat SSB dengan 10 sampai 15 anak-anak, latihan di mana saja, lapangan jelek, kemudian tim pelatih juga tidak berilmu, tidak punya lisensi. Kalau begitu, apa yang kita harapkan ke depan jika latihan di lapangan tidak bagus dan pelatih tidak berilmu. Makanya, sekarang peran asosiasi provinsi dan perseroan terbatas (PT) kompetisi yang saya gagas, itu yang harus mengontrol SSB itu. Harus terafiliasi. Tidak boleh tidak. Apa tujuannya, kalau mereka terkontrol, mereka harus punya sarana prasarana untuk membuka SSB ini. Kalau mereka bandel dan tidak mau, tidak boleh ikut kompetisi di seluruh kegiatan yang ada di wilayah asosiasi provinsi. Kalau begitu mereka akan mati dengan sendirinya. Jadi, mereka akan bergabung dengan SSB yang secara infrastruktur, kepelatihan, dan manajemennya yang sudah bagus. Itu yang bisa dilakukan. Sekarang banyak SSB yang kadang-kadang pelatihnya tidak punya lisensi dan latihan alakadarnya.

Soal pelatih di usia dini kita masih kurang pelatih top, menurut Anda apa jalan keluarnya?

Ini pemberian kepelatihan secara gratis untuk daerah-daerah. Uang dari mana? Ya, peran tadi PT kompetisi tadilah yang mengelola. Itu juga bukan uang yang banyak kok. Jadi, program pelatihan lisensi gratis di daerah itu sangat bermanfaat.

Banyak isu menyebut kongres luar biasa (KLB) kental dengan permainan uang. Sebagai pengalaman pertama jadi calon, bagaimana Anda menghadapinya jika itu terjadi di KLB nanti?

Ya, kalaupun transaksional, ya, biarkan saja. Itu hanya mereka yang punya uang. Kalau saya pribadi tidak akan terjun ke sana. Kalau mereka kasih duit, saya cuma kasih visi dan misi. Kalau dianggap bagus dan mau dimanfaatkan, ya, syukur. Namun, kalaupun tidak, tidak akan menjadi masalah.

KLB tahun ini dianggap cuma pertarungan antara Erick Thohir dan LaNyalla, Anda optimis menghadapi kedua nama itu?

Saya sendiri tidak pernah berpikir bahwa saya harus menang. Jadi, saya cuma berpikir bagaimana caranya kalau memang dibutuhkan, saya ikut serta bantu. Kalaupun tidak, tetap tidak menjadi masalah. Tidak menjadi beban buat saya.

Harapan Anda terkait KLB?

Harapan saya bisa berjalan dengan lancar. Tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kemudian para voters juga berpikir untuk kemajuan sepak bola Indonesia. Kalau saya pribadi, ada kesempatan saya untuk berkontribusi di sepak bola, baik sebagai ketua, wakil, atau anggota.

Dengan keadaan sepak bola kita saat ini, Anda melihat kapan kita bisa menembus Piala Dunia atau juara AFF?

Ya, selama sepak bola kita kondisinya masih seperti ini, tidak ada perubahan di grassroot, di kompetisi, dan pengelolaan federasi, ya, sebaiknya kita jangan pernah bermimpi untuk menjadi juara. Karena semuanya balik lagi ke basic pembinaan dan pengelolaan. Itu dulu yang harus dibenahi. Kalau itu sudah benar, sudah diperbaiki, barulah kita bicara prestasi. Kita harus percaya proses.