JAKARTA - Dalam Tragedi Kanjuruhan, indikasi utama jatuhnya korban jiwa adalah gas air mata yang jelas dalam aturan FIFA dilarang penggunaannya. Di Kanjuruhan, pihak keamanan mungkin punya alasan lain sehingga perlu dilakukan.
Tertuang dalam Pasal 19(b) yang menyebut dilarang membawa atau menggunakan senjata api atau "gas pengendali massa".
Pelarangan tersebut tentu saja ada alasannya. Dalam Tregedi Kanjuruhan penggunaan gas air mata membuat penonton panik sehingga kekacauan tak bisa terhindarkan.
Menyaksikan sepak bola beda dengan menuju medan perang atau kerusuhan. Dari awal masuk stadion, pastinya penonton sudah menjalani pemeriksaan. Ini yang harus disadari.
Yang jelas penggunaan gas air mata dalam pertandingan sepak bola itu tidak dibenarkan. Untuk itu, sejumlah pihak menuding tindakan aparat keamanan dalam penanganan kerusuhan suporter di Stadion Kanjuruhan berlebihan. Seandainya tidak ada tembakan gas air mata, mungkin tidak ada korban jiwa yang berjatuhan.
Perlu diingat pula, di Stadion Kanjuruhan semuanya suporter tuan rumah, tidak ada Bonek karena sejak awal sudah dilarang datang ke Malang untuk menghindari bentrokan.
Kalaupun untuk menghalau suporter, cukup gunakan meriam air (watercanon) yang risiko cederanya lebih kecil. Atau di stadion juga pastinya terparkir mobil pemadam kebakaran yang bisa digunakan untuk menyemprotkan air ke suporter.
BACA JUGA:
Ya, dalam aturan FIFA, mobil pemadam kebakaran harus ada di stadion ketika ada pertandingan.
Dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations ada juga penjelasan mengenai manajemen kerumunan (crowd) yang seharusnya pihak keamanan sudah memiliki rencana dan strategi untuk mengantisipasi kejadian terburuk.
Betul, crowd control itu ada ilmunya. Tapi, apa yang terjadi di lapangan seringkali sangat di luar dugaan. Dalam kondisi terdesak atau darurat pastinya dibutuhkan keputusan cepat, yang bisa saja salah. Apalagi saat berhadapan dengan massa yang beringas.