JAKARTA - Hoegeng Imam Santoso dikenal tak gampang tergiur harta. Sepanjang kariernya jadi polisi, termasuk ketika menjabat kapolri, Hoegeng enggan memperkaya diri sendiri. Apalagi korupsi. Baginya, sehina-hina manusia adalah mereka yang korupsi. Sikap lurus itu dipertahankan sampai pensiun. Jangankan harta melimpah. Hidupnya sehari-hari bergantung dari uang pensiun Rp10 ribu per bulan. Adapun harta berharga yang dimiliki Hoegeng boleh jadi cuma kejujuran.
Prestasi Hoegeng selama jadi kapolri terbilang gemilang. Banyak kasus besar berhasil diungkap. Dari peredaran narkoba hingga penyelundupan mobil. Keberhasilan itu buah lurusnya Hoegeng sebagai polisi. Ia tak kenal kompromi. Pun tak bisa disuap. Satu-satunya yang ada dalam pikiran Hoegeng adalah menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Siapa bersalah harus ditindak. Sikap lurus itu membuat Hoegeng memiliki banyak musuh.
Ancaman pembunuhan sering diterima Hoegeng. Bahkan Hoegeng hampir jadi target percobaan pembunuhan ketika menjabat Kepala Reskrim Kepolisian Provinsi Sumatra Utara. Ia hampir saja jadi sasaran penembak jitu. Ia juga sempat diguna-guna. Ancaman saat Hoegeng jadi Kapolri juga tak sedikit. Tapi Hoegeng tak gentar hingga langkahnya sebagai penegak hukum harus berakhir di tangan Presiden Soeharto pada 1971.
“Keuletan menuntaskan kasus besar itu menyebabkan Hoegeng diberhentikan oleh Presiden Soeharto walaupun masa jabatannya sebetulnya belum berakhir. Sebelumnya Hoegeng juga merintis pemakaian helm bagi pengendara kendaraan bermotor yang ketika itu menjadi polemik. Kini terasa bahwa instruksi itu memang bermanfaat,” ungkap Asvi Warman Adam dalam buku Menguak Misteri Sejarah (2010).
Pemberhentian Hoegeng dinilai politis. Sebab ketika Hoegeng dicopot Soeharto, prestasi Polri sedemikian mentereng. Kasus penyelundupan mobil-mobil secara besar-besaran yang didalangi oleh Robby Tjahyadi atau Sie Tjie It berhasil dipecahkan oleh Hoegeng. Pun Hoegeng sendiri menduga pencopotannya karena dirinya terlalu lurus, alias tak bisa diajak kompromi.
Lebih lagi, dalam kasus penyelundupan mobil itu disinyalir melibatkan tentara dan istri Soeharto, Ibu Tien. Sebagai gantinya, Soeharto mencoba membujuk Hoegeng jadi Duta Besar (Dubes) Swedia, kemudian Belgia. Tawaran sebagai dubes ditolak Hoegeng. Ia berkelakar, ia tak jago diplomasi. Cara pandang Hoegeng sudah demikian berbeda jika dipaksa menjadi dubes. Menurutnya, apa yang dikatakannya putih, tetap putih. Beda hal dengan dubes. Setelahnya Hoegeng lebih memilih pensiun dini dengan berhenti dari jabatan Kapolri.
“Bagi saya kasus penyelundupan Robby rupanya memiliki arti khusus yang tak dapat saya ketahui. Konon seperti dilansir oleh mingguan Tempo, maka diisukan bahwa kasus penyelundupan Robby merupakan salah satu alasan kenapa saya tak disukai atau dipecat sebagai Kapolri. Logikanya konon, karena saya berusaha membongkar kasus itu lebih dini, jauh sebelum Bakolak pimpinan Sutopo Juwono, atau Bakolak bagian pemberantasan penyelundupan pimpinan jaksa Agung Ali Said SH turun tangan. Tapi saya tidak tahu apa-apa tentang itu,” cerita Hoegeng ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).
Hoegeng semasa pensiun
Semasa pensiun, Hoegeng tak lantas hidup bermewah-mewahan layaknya pejabat tinggi yang habis mengumpulkan saldo ‘rekening gendut.’ Kehidupan sehari-harinya tak banyak berubah. Ia justru hidup makin sederhana. Kala itu tabungan Hoegeng tak banyak. Segala fasilitas kantor yang diberikan kepadanya langsung dikembalikan ke negara. Mobil, radio hingga walkie-talkie.
Hoegeng dan keluarga kecilnya hidup di sebuah rumah sewaan kecil di Jalan Prof. Mohamad Yamin No. 8, Menteng, Jakarta Pusat. Rumah itu kemudian diusahakan oleh Kapolri pengganti Hoegeng, Jenderal Moh. Hasan (1971-1974) dan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin (1966-1977) sebagai hadiah atas baktinya kepada negara.
“Meskipun jabatan Kapolri digantikan oleh Jenderal Moh. Hasan, hubungan pribadi Hoegeng dengan Hasan sangat baik. Hal itu terbukti dengan pemberian hadiah rumah oleh Hasan kepada Hoegeng. Rumah itu adalah rumah sewaan yang ditempati Hoegeng bersama keluarganya sejak tinggal di Jakarta. Rumah sewaan Hoegeng sebelumnya diproses pengalihannya oleh pemerintah DKI, yang waktu itu dipimpin oleh Ali Sadikin bekerja sama dengan Kapolri baru,” tulis Sohartono dalam buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan (2013).
Hoegeng coba mencukupi kebutuhan keluarganya dengan kembali menekuni karier sebagai seniman sekaligus musisi. Hoegeng aktif mengisi acara bermain musik Hawaiian di Radio Elshinta dan TVRI bersama grup musiknya Hawaiian Seniors. Keaktifannya dalam dunia musik membuat orang-orang menjulukinya sebagai The Singing General. Sekali waktu Hoegeng aktif pula sebagai penyiar radio di Elshinta yang membawakan program bernama Obrolan Mas Hoegeng.
Di samping aktif wara-wiri di televisi dan radio. Hoegeng juga aktif memberikan kritik pada pemerintah Orde Baru (Orba). Terutama kritik akan tingkah laku pejabat-pejabat publik yang memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri sendiri. Kritikan Hoegeng kepada Orba semakin nyaring saat Hoegeng menjadi bagian dari kelompok Petisi 50.
Hoegeng tak rela Pancasila digunakan Soeharto hanya untuk membungkam lawan politiknya. Langkah itu membuatnya dilarang tampil di acara publik dan televisi. “Hoegeng yang tadinya ikut dalam band Hawaiian Seniors yang biasa bermain di TVRI dan Radio Elshinta dan digemari publik, gara-gara menantangani Petisi 50 harus menghentikan siaran."
"Ucapannya pada akhir siaran ‘Aloha’ tidak terdengar lagi. Lagu-lagu yang didendangkan seperti Hawaiian Calls, On The Beach of Waikiki, dan I’am in The Mood of Love menjadi sunyi senyap,” pungkas Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Historire” Indonesia Jilid 6 (2012).
Sederet kegiatan sebagai musisi sempat menambah pundi-pundi pendapatan Hoegeng di awal masa pensiun. Namun ketika aktif di Petisi 50 Hoegeng otomatis hanya mengandalkan hidup dari uang pensiun yang tak seberapa.
Adapun pendapatan tambahan didapat Hoegeng melalui penjualan lukisan buatannya. Beruntung istri dan anak-anak Hoegeng mengerti dengan pendirian sang ayah. Kejujuran Hoegeng lalu mengispirasi anak-anaknya. Mereka jadi terbiasa dengan hidup serba sederhana.
“Saya tidak tahu berapa gaji bapak sebagai Kapolri waktu itu karena memang kami tidak ingin mencari tahu soal itu. Hanya saja suatu ketika, setelah pensiun, kami menemukan struk gaji pensiun bapak sebagai Kapolri Rp10 ribu dan yang diterima hanya Rp7.500. tentu dengan sejumlah tunjangan lain,” kata anak Hoegeng, Aditya Soetanto Hoegeng dalam buku Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa (2009).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.