Asal-Usul Kemayoran, Kesohor Berkat Mayor Belanda
Ilustrasi Bandara Kemayoran (dok. wikimedia commons)

Bagikan:

JAKARTA - Boleh jadi, sekarang ini orang-orang hanya mengenal kawasan Kemayoran hanya sebatas kawasan yang meliputi tiga kelurahan, yakni Kelurahan Kemayoran, Kebon Kosong, dan Serdang di Jakarta Pusat.

Padahal, dulunya kemayoran merupakan kampung yang kesohor karena orang-orang hebat pernah tinggal di sana. Beberapa di antaranya ada nama Murtado seorang jagoan Betawi berjuluk Macan Kemayoran, hingga legenda seni peran Betawi, Benyamin Sueb.

Ketenaran mereka pula yang mengangkat nama Kemayoran sebagai salah satu kampung penting dalam peradaban Jakarta. Namun boleh percaya atau tidak, selain orang-orang Betawi sendiri, kawasan Kemayoran justru sempat dimiliki seorang tuan tanah kaya raya di Batavia, bernama lengkap Isaac de l’Ostale de Saint Martin.

Sebagaimana yang diungkap Rachmat Ruchiat dalam buku Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta (2018), nama Kemayoran erat kaitannya dengan seorang mayor yang memiliki banyak tanah di Batavia.

“Tanahnya tersebar di beberapa tempat, antara lain di pinggir sebelah timur Sungai Bekasi, di Cinere (dulu disebut Ci Kanyere) sebelah timur Sungai Krukut di Tegal Angus dan di kawasan Ancol. Luas seluruhnya berjumlah ribuan hectare,” ucapnya, seperti dikutip VOI.

Menurut literasi yang ada, sang mayor lahir pada 1629 di Oleron, Bearn, Prancis. Namun, tak diketahui alasannya secara pasti mengapa dirinya memilih untuk meninggalkan tanah airnya dan membaktikan diri kepada kongsi dagang Belanda VOC di Batavia. Oleh karena kerja kerasnya selama mengabdi kepada Kompeni, pada 1662 dirinya telah berpangkat letnan dan ikut serta dalam peperangan di Cochin.

Dalam perjalanannya, Isaac de Saint Martin naik pangkat menjadi seorang mayor. Apalagi, kala itu dirinya seriing kali terlibat dalam banyak peperangan termasuk di Jawa Tengah. Selebihnya, ia membantu Mataram dalam menghadapi pangeran Trunojoyo. Tak hanya itu, Pada Maret 1682 ia bersama Kapten Tack ditugaskan untuk membantu Sultan Haji menghadapi ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa.

“Pangkat mayor Jamak diberikan oleh pemerintah Belanda kepada orang-orang kaya Belanda, Eropa maupun China. Sebab, mereka bekerja memungut pajak dari rakyat. Ukuran kekayaan pada masa itu (terletak) jumlah pengusaan tanah,” Tertulis pada tulisan di Majalah Tempo berjudul Ondel-Ondel di Dinding teras (2006).

“Makanya mereka biasa disebut tuan tanah. Seorang mayor bisa memonopoli perdagangan dan tinggal di rumah besar dengan perkarangan berhektar-hektar yang dalam bahasa belanda kerap disebut landhuis,” sambungnya.

Dalam rangka menjaga kepentingannya, sang mayor sering kali menggunakan jasa seorang centeng, tukung pukul ataupun jago –jawara—untuk melanggengkan eksistensinya menarik pajak. Bukan cuma itu, empunya pangkat pun memiliki puluhan budak dengan tugas melayaninya di landhuis bernama Gedung Tinggi. sayangnya, kediaman tersebut kini sudah tak bersisa.

Setelah itu, dirinya pun banyak menghabiskan waktu berada di rumahnya di Jalan Garuda, persis dekat tikungan Kemayoran Gempol. Lantas, karena kekayaan dan besarnya rumah sang mayor, orang-orang yang berkunjung ke kawasan tersebut sering kali menyebut kawasan tersebut Mayoran seperti yang tertera dalam dokumen Plakaatboek (Van der Chijs XIV; 532). Singkat cerita, Mayoran perlahan-lahan secara paripurna dilafalkan sebagai Kemayoran.

Penggusuran 

Dahulu, kampung Kemayoran yang memiliki luas 500 hektar, merupakan rumah dari orang Betawi asli yang berprofesi sebagai petani. Untuk itu, umumnya di Kemayoran terdapat banyak ladang dan sawah tempat menghasilkan bahan pangan. Pun tempat tersebut dimanfaatkan oleh anak-anak untuk bermain sehari-hari.

Tak cuma warga Betawi, mereka yang numpang hidup di Kemayoran juga diisi oleh orang-orang keturunan Belanda yang lazimnya disebut ‘sinyo’. Sayangnya, kondisi tersebut tak bertahan lama. Pada 1938 perubahan terjadi. Kawasan yang dulunya ramai rumah penduduk, sawah maupun ladang, disulap menjadi lapangan terbang oleh Kompeni.

Kejadian inilah yang membuat warga Betawi di Kemayoran banyak yang berdiaspora ke mana-mana. Sebab, rumah dan tempat mereka mengais rejeki telah digusur oleh pemerintah kolonial. Uniknya, tak ada keributan seperti yang biasanya terjadi belakangan ini dalam setiap masalah pembebasan lahan.

Usut punya usut penyebab tak terjadinya keributan, antara lain dikarenakan sebagian besar dari 450 hektar lahan dimiliki oleh tuan tanah bernama Rekeendal. Sisanya, tanah milik warga yang dibebaskan pun diganti dengan tanah dilokasi lain oleh pemerintah kolonial.

Bandara internasional Kemayoran

Berselang beberapa tahun kemudian, bandara internasional kebanggaan Jakarta diresmikan oleh pemerintah kolonial pada 8 Juli 1940. Kala itu, yang bertindak sebagai pengelolah, yakni Koninklike Nederlands Indische Luchtvaart Maatschappy (KNILM).

Tercatat, pesawat pertama yang mendarat adalah DC-3 milik KNILM yang terbang dari lapangan udara Tjililitan, sekarang Halim Perdanakusuma, pada 6 Juli 1940. Keesokannya, 7 Juli 1940, pesawat DC 3 bernomor penerbangan PK-AJW berangkat dari Kemayoran menuju Australia.

Semenjak saat itu pula, lapangan udara Kemayoran mejadi kesohor diseluruh dunia sebagai tempat singgah favorit kala menunggu waktu terbang ke Sydney, Australia. Saking populernya, komikus asal Belgia George Rami, yang memiliki nama pena Herge, menjadikan bandara ini sebagai setting dari adegan komiknya, The Adventure of Tintin: Flight 714 to Sydney (1968).

"Blistering barnacles! Djakarta! Djakartal DJAKARTAI! Can't you listen to what I say?,” begitulah kalimat yang terucap dalam komik rekaan Herge saat tiba di Kemayoran.

Tak cuma Herge, warga yang berada di pinggiran Kemayoran pun ikut terkagum-kagum dengan pemandangan pesawat yang hilir-mudik mendarat dan lepas landas. Tak peduli tua maupun muda, dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa sering kali menghibur diri dengan melihat pesawat terbang. Kala ada pesawat yang mulai terbang,  mereka berteriak sembari memandangi langit dan berucap: Pesawat, minta duit?.. Pesawat, minta duit?.. Pesawat, minta duit?..