JAKARTA - Hari ini, Jakarta adalah Kota Metropolitan. Namun, jika melirik masa lalu, kota gemerlap ini sejatinya terbentuk dari kumpulan kampung-kampung besar yang menjadi satu. Sebut saja Kampung Cawang, Kampung Melayu, Kampung Kemang atau Kampung Cengkareng. Nama terakhir memiliki sejarah yang amat menarik. Seperti apa?
Buku Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta karya Rachmat Ruchiat menceritakan bahwa Cengkareng adalah sebuah perkampungan yang didominasi persawahan di masa lampau. Nama Cengkareng sendiri berasal dari bahasa Sunda: Cikangkareng.
Dijelaskan, kata "Ci" merujuk pada kata cai yang lazim dikaitkan dengan anak sungai, sungai atau kali. Ci-Sadane, Ci-Liwung atau Ci-Keas, misalnya. Sedang "Kareng" dalam bahasa Sunda diartikan sebagai burung Enggang --dalam bahasa latin bernama Buceros Rhinoceros. Burung yang parunya bercula.
Dalam literasi lain, kata Cengkareng disebut berasal dari kata "Tjankaar". Dalam bahasa Belanda, Tjankaar berarti terkekeh. Tak terlalu jelas asal-usul ditambahkan kata 'ang' di belakang kata Tjangkaar. Sehingga seiring waktu melebur --merujuk peta De Haan-- menjadi Tjangkaarang.
Kiranya, nama tersebut telah melekat bahkan sebelum pada paruh kedua abad 18, saat David Johan Smith, seorang pejabat tinggi VOC di Batavia menjadi pemilik tanah Cengkareng.
Olehnya, dimintalah arsitek Michiel Romp untuk membangun rumah peristirahatan bertingkat dua bergaya Indis yang dikenal dengan istilah Landhuis Tjengkareng. Sayangnya, rumah tersebut menjadi korban revolusi dan terbakar pada September 1945.
Setelah itu, tanah tersebut kemudian dikuasai oleh sebuah perusahaan Belanda, firma brijnst en Vinju. Seperti yang tertuang dalam regerings Almanak 1881. Tanah itu lalu disewakan kepada seorang tuan tanah bernama Tan Oen Tjong. Karena daerah tersebut sudah terbukti menjadi tempat tumbuhnya padi, kelapa, dan rumput untuk ternak.
Bisa jadi kondisi inilah yang di gambarkan oleh Jean Gelman Taylor dalam bukunya Kehidupan Sosial di Batavia.
Ia mengungkap: Ketika kegiatan perdagangan di dalam dinding kota Batavia semakin maju, demikian juga kegiatan pertanian diluar dinding, berkat kerjasama antara berbagai suku bangsa dan orang-orang Cina dalam melakukan kegiatan pertanian di sekitar kota, para penduduk Belanda tampaknya hanya memiliki sedikit perhatian dalam dalam bidang itu.
Menurut peta Holle, pada zaman itu, penduduk Cengkareng sampai akhir abad ke 19 masih berbahasa Sunda dalam aktivitas sehari-hari. Hal ini berbeda dangan kampung lainnya di Batavia, yang justru menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa sehari-hari.
Cengkareng Kini
Imej Cengkareng sebagai daerah persawahan sekaligus tempat berdirinya rumah peristirahatan --sejenis villa-- pejabat-pejabat era kolonial, tentu sudah berubah jauh seiring zaman. Apalagi semenjak Cengkareng menjadi kecamatan yang terdiri dari enam kelurahan: Duri Kosambi, Rawa Buaya, Kedaung Kali Angke, Kapuk, Cengkareng Barat-Timur.
Perubahan besar terlihat saat mulai dibangunnya Bandar Udara pengganti bandara Kemayoran, yaitu Bandara Cengkareng yang setelah diresmikan mulai menggunakan nama Bandara Internasional Soekarno–Hatta. Keputusan itu ditandai dengan keluarnya Inpres per tanggal 1 Oktober 1984 terkait pemindahan Bandar udara dari Kemayoran ke Cengkareng yang berlaku saat itu juga.
Peristiwa pemindahan Bandara turut pula diungkap oleh Zaenuddin HM, dalam bukunya Asal Usul Djakarta Tempoe Doeloe. “Maka, mau tak mau, seluruh maskapai penerbangan harus mulai memanfaatkan bandar udara baru di Cengkareng saat itu juga. (Sehingga) yang terjadi adalah penumpang melakukan check-in di Bandara Kemayoran, melakukan boarding, kemudian dibawa menggunakan bus khusus ke Cengkareng untuk menaiki pesawat," tuturnya sejak inpres itu diterbitkan.
Saat Bandara Cengkareng beroperasi penuh 1 April 1985, petugas bandara terasa tak siap. Kala itu, tercatat terjadi 21 penerbangan yang dibatalkan. 33 penerbangan lainnya mengalami keterlambatan. Akhirnya, 5 Juli 1985, Bandara Cengkareng secara resmi menggunakan nama Bandara Udara Internasional Soekarno-Hatta.
Efeknya, kehadiran bandara itu sedikit demi sedikit mengganti landhuis Tjengkareng yang dahulu adalah sebuah bangunan --yang kemudian rata jadi tanah-- yang jadi simbol penanda Kampung Cengkareng.
Meski begitu, hancurnya landhuis menjadi hal yang patut disesalkan hingga saat ini. Tak hanya oleh sejarawan dan ahli arsitektur saja. Terlebih, bangsa Indonesia terut berduka kehilangan bangunan yang seharusnya telah menjadi bangunan dengan label cagar budaya.
Kini, Cengkareng telah berkembang pesat. Saking pesatnya, kawasan pertanian dan ruang terbuka hijau hampir menjadi dongeng sebelum tidur, berganti dengan pusat perbelanjaan, perumahan, perhotelan dan kawasan komersil lainnya.
Setali dengan itu, masalah yang mendiami kawasan ini kian bertambah. Paling populer jelas kemacetan, polusi dan banjir yang sering kali menyapa penduduk Cengkareng. Apalagi pada awal tahun ini, banjir telah menggenangi beberapa wilayah di Cengkareng, sampai-sampai pemotor banyak yang masuk tol untuk menghindari genangan air.
Selebihnya, Cengkareng tetaplah istimewa. Istimewa karena tetap kuat menghadapi banjir tahunan, istimewa karena tetap semangat menembus kemacetan tiap pergi kerja. Dan istimewa karena menjadi pintu gerbang untuk melihat keindahan bumi Nusantara lainnya via CGK --kode Bandara Soekoarno-Hatta.