JAKARTA - Sirkuit Internasional Sentul pernah menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Dua seri kejuaraan dunia balap motor alias Grand Prix (MotoGP) 1996-1997 berhasil terselenggara di Sentul. Saat itu, tiga kelas utama menjadi sajian istimewa: GP500, GP250 dan GP125. Sekalipun Sirkuit Sentul penuh kontroversi, juara dunia MotoGP Valentino Rossi selalu mengenangnya istimewa. Sirkuit Sentul jadi saksi The Doctor merajai balapan di kelas GP125. Ingatan itu takkan lekang dari pemilik nomor balap 46.
Jauh sebelum kehadiran sirkuit berkelas internasional, kawasan Sentul hanya daerah kosong dengan perkebunan karet di sejauh mata memandang. Adalah Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto yang awalnya memiliki visi membangun sirkuit Internasional. Lewat bendera PT Sarana Sirkuit Indo, Tommy memiliki cita-cita Tinggi. Putra bungsu Presiden Soeharto memiliki keinginan membangun sirkuit untuk olahraga otomitif berkaliber dunia. Balapan mobil Formula 1, misalnya.
Bersama Tinton Soeprapto, Tunky Ariwibowo, serta dukungan pemerintah sirkuit dengan panjang 3,9 KM dibangun. Biaya pembuatannya kala itu mencapai Rp120 miliar. Desainnya sirkuitnya dilakukan langsung oleh desainer-desainer dari otoritas balap Formula 1, yakni Fédération Internationale du Sport Automobile (FISA) dan Fédération Internationale de l'Automobile (FIA).
Pun peletakan batu pertamanya dilaksanakan pada 1986. Akan tetapi, karena kendala biaya pembangunan baru berjalan kembali pada 1990. Tiga tahun setelahnya Sirkuit Internasional Sentul rampung. Peresmiannya dilakukan oleh Presiden ke-2 RI, Soeharto pada 22 Agustus 1993.
“Itulah sebabnya, sarana yang dibangun tak tanggung-tanggung. Lintasannya, misalnya, dibuat selebar 15 meter dengan lapisan aspal impor jenis Porus. Tak mengherankan, banyak pembalap internasional memuji kehebatan sirkuit itu,” Arif Zulkifli dkk dalam tulisannya di Majalah Tempo (1998).
Soeharto membuka MotoGP Sentul 1996
Kehadiran Sirkuit Internasional Sentul kemudian jadi panggung politik tersendiri bagi pemerintahan Soeharto. Sederet perhelatan olahraga balapan internasional kian mengharumkan pemerintahan Orde Baru (Orba). Apalagi, Indonesia mendapatkan kehormatan melaksanakan gelaran MotoGP bertajuk Marlboro Indonesian Grand Prix 1996. Soeharto bahkan ambil bagian dalam membuka gelaran internasional tersebut. Secara simbolis Soeharto menekan tombol sirene tanda dimulainya balapan kelas GP125.
Peristiwa besar itu jelas menjadi tontonan wajib bagi pecinta olahraga di seluruh Indonesia pada 7 April 1996. Mereka yang menonton langsung bikin Sirkuit Internasional Sentul membeludak. Kemacetan dari depan pintu Tol Sentul bahkan mencapai 10 KM. Jika dihitung, penonton di Sirkuit Internasional Sentul mencapai 100 ribu orang, antara mereka yang membeli karcis dan mereka yang tak membeli karcis. Belum lagi mereka yang menonton via layar kaca. Aksi-aksi penunggang kuda besi juga ditonton sampai habis oleh Soeharto dan istrinya, Tien Soeharto.
Melansir Kompas dalam persaingan memperebutkan juara kelas GP500, juara bertahan dua tahun berturut-turut Michael Doohan dari Australia berhasil finish di posisi pertama. Pembalap andalan tim Repsol Honda itu menyelesaikan 30 putaran dalam waktu 43 menit 50,798 detik dengan kecepatan rata-rata 163,807 km/jam.
Di kelas GP250 pembalap asal Jepang, Tetsuya Harada dari tim Yamaha Marlboro Rainey tampil sebagai jawara mengungguli lawan-lawannya. Sedang, di lomba GP125 pembalap asal Jepang, Masaki Tokudome dari tim Ditter Plastic menempatkan dirinya sebagai yang terbaik, setelah unggul dalam pertarungan yang sangat ketat. Yang paling menarik, orang nomor satu Indonesia bertindak langsung memberikan penghargaan kepada Michael Doohan selaku pemenang GP500.
“Sudah sering kali Presiden Soeharto menyaksikan langsung pertandingan olahraga. Namun memberikan langsung penghargaan kepada kepada pemenang merupakan suatu yang sangat langka. Panitia penyelenggara Marlboro Indonesian Grand Prix dan juga pembalap Doohan yang memenangkan balapan, pantas mendapatkan kehormatan, karena Pak Harto berkenang menyaksikan langsung balapan dan menyerahkan langsung penghargaan,” tertulis dalam laporan Harian Kompas berjudul Dari Pak Harto untuk Doohan (1996).
Merajai GP125 Sentul
Setahun berikutnya, atau pada 28 September 1997, ajang MotoGP dihelat kembali di Sirkuit Internasional Sentul. Seperti perhelatan pertama, penonton pun turut membeludak. Kali ini yang bertindak sebagai bintang adalah Valentino Rossi. Sekalipun masih berada di kelas GP125, penampilan Rossi sungguh mengejutkan.
Semua itu karena beberapa hari sebelumnya ia sempat mengalami kecelakaan seusai menggelar pesta di Tavullia. Pesta itu dilangsungkan untuk merayakan kesuksesan menjadi juara dunia MotoGP kelas GP125. Setelah merayakan gelar juara dunia, mobil Porsche yang ditumpangi Rossi dan ayahnya mengalami kecelakaan tunggal dalam perjalanan pulang ke rumah. Kecelakaan itu membuat Rossi luka-luka dan trauma.
“Rossi merayakan gelar pertamanya tepat sebelum dia berangkat ke Indonesia. Dalam perjalanan pulang ia mengalami kecelakaan dengan Porsche 928 yang seharusnya diuji oleh Sirkuit Graziano. Kepalanya terluka. Dan kepalanya dibalut perban. Meski begitu, Rossi dapat melucu dengan menggunakan perban saat naik podium dalam sisa balapan MotoGP di Sentul, Indonesia,” tulis Michel Turco dalam buku Rossi: Die Legende (2019).
Kecelakaan jelas tak membuat Rossi jera. Ia terus membuktikan dirinya adalah yang terbaik di kelasnya. Sebagai bukti, Rossi yang saat itu bergabung dengan tim Aprilia tak hanya naik podium pada posisi pertama. Tapi, Rossi juga memecahkan rekor fastest lap GP125 Sirkuit Internasional Sentul yang mulanya dipegang oleh Haruchika Aoki pada 1996, dengan torehan waktu 1:35.068 detik. Rossi memecahkannya dengan menjadi yang tercepat 1:33.479 detik. Dengan demikian, balapan MotoGP seri Sentul tak lekang dari ingatan The Doctor.
“Pada 1996 dan 1997, saya pernah berlaga di Sentul dan saya tidak akan melupakan Jakarta. Saya berharap dapat kembali lagi ke sini” tegas Rossi ketika melangsungkan kunjungan ke Indonesia pada 2009.
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.