JAKARTA - Tanjung Priok adalah kawasan ekonomi masyhur sejak dulu. Tak saja menarik minat para pengusaha tapi juga jadi tempat cari makannya para jago alias preman dari ragam suku bangsa. Ada perseteruan-perseteruan dalam sejarah Tanjung Priok. Salah satunya yang terjadi antara Lagoa dari Bugis dan Haji Tjitra dari Banten.
Semasa pemerintahan kolonial Belanda berkuasa, Pelabuhan Tanjung Priok telah diramalkan menjadi wilayah ekonomi penting di Batavia (Jakarta). Pelabuhan Tanjung Priok kala itu dipersiapkan untuk mengganti pelabuhan Sunda Kelapa yang mulai mengalami pendangkalan. Belanda pusing.
Kapal-kapal uap tak mampu bersandar di sana, hingga mereka yang berlayar dari mancanegara harus bersandar jauh dari tepi pantai. Akibatnya, aktivitas bongkar-muat kapal memakan banyak waktu. Sebab, harus menggunakan kapal kecil sebagai perantara menuju daratan.
Bersamaan dengan itu, jumlah kapal-kapal besar yang bersandar mulai mengalami peningkatan. Semua itu berkat perjalanan dari negeri Belanda/Eropa ke Hindia-Belanda yang semakin singkat berkat terbuka Terusan Suez pada 1869.
Alhasil, pembanguan Pelabuhan Tanjung Priok diprioritaskan. Di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Johan Wilhelm van Lansberge (1875-1881) Pelabuhan Tanjung Priok dibangun pada 1877.
“Pelabuhan Batavia Lama (Sunda Kelapa) tidak mampu lagi menampung serta melayani kapal-kapal dagang yang makin lama makin banyak keluar masuk-masuk pelabuhan. Maka dibangunlah pelabuhan yang baru yang sekarang terkenal dengan nama Tanjung Priok atau Tanjung Periuk. Di pelabuhan yang baru itu dibangun pula gudang-gudang baru tempat penyimpanan barang-barang yang akan dikirim dan diangkut ke luar negeri,” Sagimun Mulus Dumadi dalam buku Jakarta dari Tepian Kota Proklamasi (1988).
Meski begitu, pada awalnya pembangunan Pelabuhan Tanjung Priok ditentang kalangan pebisnis Batavia. Kebanyakkan pebisnis yang berpusat di Kali Besar dan Pasar Ikan itu menganggap jarak menuju pelabuhan yang baru cukup jauh. Karenanya, banyak pebisnis meramalkan jarak yang hampir Sembilan kilo dari Sunda Kelapa dapat menjadi penyebab usaha mereka mengalami kerugian. Akan tetapi, prediksi itu meleset.
Pembangunan Pelabuhan Tanjung Priok yang selesai dalam waktu Sembilan tahun atau tepatnya pada 1886, menjadi titik utama kemajuang Jakarta sebagai ibu kota dari Hindia-Belanda. Bahkan, Belanda mempersiapkan dengan serius perihal sarana dan prasarana yang dapat menunjang aktivitas dari dan ke Tanjung Priok – dari sarana kereta api hingga pembuatan jalan. Seiring kemajuan itu, Pelabuhan Tanjung Priok menjelma menjadi pusat kegiatan ekonomi utama di Batavia.
“Sebagai pelabuhan laut yang aman pertama di mana kapal-kapal dapat bersandar ke dermaga. Tapi, ketika para penanam modal makin banyak berdatangan ke Batavia, pada 1912 Pelabuhan Priok dilakukan perluasan karena hampir 200 kapal pada tahun itu menanti giliran untuk bersandar,” ujar Alwi Shahab dalam buku Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia (2013).
Lagoa, orang Bugis penguasa Priok
Selain sebagai lumbung ekonomi, Pelabuhan Tanjung Priok juga dikenal luas sebagai daerah onderwereld (dunia hitam). Segala macam latar belakang etnis memanfaatkan Priok sebagai pohon duit.
Buahnya, kawasan priok erat hubungannya dengan perebutan kekuasaan para individu maupun kelompok. Dalam masa itu, salah satu jago yang menjadi penguasa Pelabuhan Priok dari media 1930-1550-an adalah Lagoa.
Pria bernama lengkap Labuang De Passore bahkan telah kesohor di seantero utara Jakarta. Satu sisi, Lagoa adalah tokoh masyarakat. Sisi lainnya Lagoa dikenal pula sebagai jago yang merangkap mandor Pelabuhan. Kehebatannya dalam bela diri silat menjadikannya Lagoa memiliki banyak pengikut, terutama mereka yang berdarah Bugis di Batavia.
“(Lagoa) Lelaki Bugis yang mempunyai nama besar sebagai orang yang paling disegani, menjadi salah satu penguasa ‘Onderwereld’ di Utara Kota Batavia/Jakarta pada tahun 1930 dan 1950-an. Namanya muncul dari sebutan penduduk di antara para jago dan jagoan di Pelabuhan Tanjung Priok, daerah ekonomi yang menjadi tempat ‘gula untuk semut’ sekaligus rendezvous bagi orang-orang yang memiliki nyali besar,” imbuh budayawan yang juga praktisi silat Betawi, GJ Nawi dalam buku Lagoa: Jejak Jago Bugis di Tanah Betawi (2018).
Kehebatan dari Lagoa, kata GJ Nawi tak lain karena dirinya yang seorang bugis memegang erat nilai-nilai massompe (merantau). Yang mana, Massompe bagi orang Bugis dimaknai dengan proses mematangkan diri sembari mencari pengalaman untuk bekal hidupnya.
Berkat itu, tanah yang penuh kekerasan seperti Tanjung Priok dapat ditaklukkan. Lebih lagi, sebagai seorang Bugis memegang teguh istilah Siri’ na pesse yang berarti harus bertanggung jawab dan setia kawan.
Perihal tradisi massompe bukan cuma pepesan kosong belaka. Budayawan Bugis Feby Triadi melihat tradasi itu sebagai proses mematangkan diri. Jika diteropong dari segi budaya makna massompe di masa lalu itu sejalan dengan tradisi pelaut Bugis yang diharuskan memiliki banyak keahlian, seperti memperluas jaring persahabatan, keakraban, dan kekuasaan.
Bekal keahlian itu yang membuat orang bugis –termasuk Lagoa—dapat besar dan eksis di kampung orang. Apalagi, di zaman dulu orang yang melanggengkan Massompe turut membekali dirinya dengan ilmu lainnya, seperti memperdalam mammenca (pencak silat) dan paddissenggeng (ilmu kesaktian) seperti Lagoa.
“Ilmu ini (mammenca) hanya khusus untuk mereka yang mencarinya saja dan betul-betul ingin membekali diri, biasanya ini dilakukan sama orang yang memang ingin jadi jawara. Kalau paddissenggeng hampir semua orang Bugis tahu, orang yang belajar mammenca juga itu pasti sudah tahu betul apa yang dinamakan paddissengeng. Tapi kalau paddissengeng memang terbagi banyak, ada yang memang dipakai untuk kebal, keselamatan, jodoh, dan rezeki,” tutup Feby Triadi.
Perseteruan Lagoa dan Haji Tjitra di Priok
Perjalanan Lagoa dalam menjadi penguasa Pelabuhan Tanjung Priok tak mudah. Melansir laman Sejarah Jakarta, sering kali dalam tiap pertarungannya dirinya kewalahan melawan musuh-musuhnya.
Di samping itu, adapula sebagian dari musuhnya yang justru menjadi kawan. Seperti perjumpaan dengan Sera, seorang jago silat dari Bogor yang kemudian menjadi teman seperguruannya.
Setelahnya, perseteruan Lagoa dengan jago-jago lainnya terus berlanjut. Salah satu perseteruan yang paling dikenang adalah perseteruannya dengan seorang jago dari Banten Haji Tjitra bin Kidang.
Haji Tjitra dikenal sebagai jago yang sudah menjadi penguasa Pelabuhan Tanjung Priok dari 1920-an. Sebagai penguasa Pelabuhan Tanjung Priok, karena secara umum tidak ada penguasa tunggal dari latar belakang etnis dalam dunia kekerasan di kota Jakarta, keduanya selalu berseteru.
Penyebabnya, karena kedatangan Lagoa sering mengusik lumbung pendapatan Haji Tjitra. Dalam tiap perseteruan korban dari kedua belah pihak berjatuhan. Puncaknya, berita perseteruan keduanya muncul dalam banyak surat kabar di Batavia, sampai-sampai tak ada yang meramalkan konflik itu akan berakhir. Namun, takdir berkata lain. Keduanya berdamai.
Puncak perdamaian itu ditandai dengan diangkatnya Lagoa sebagai menantu Haji Tjitra. Pernikahan itu pula yang menjembatani wujud persaudaraan dan perdamaian antara etnis Bugis dan Banten di Tanjung Priok. Boleh jadi keduanya telah berdamai. Kendati demikian gaung Tanjung Priok sebagai tempat cari makannya para jago masih bertahan, setidaknya hingga hari ini.
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.