Bagikan:

JAKARTA - Taman Mini Indonesia Indah (TMII) adalah cara Jakarta memercantik diri. Dalam kacamata Gubernur Jakarta Ali Sadikin (1966-1977), TMII adalah lumbung kas daerah.

Lebih lagi, TMII dielu-elukan sebagai tulang punggung denyut pariwisata Nusantara. Sebagian besar masyarakat justru berpikir sebaliknya. TMII dinilai hanya menghamburkan dana. Minim manfaat pula. Dinamika itu kemudian secara tak langsung menjadikan TMII dikenal luas oleh segenap rakyat Indonesia.

Sejak proyek pembuatan miniatur Indonesia tercetus ada 1971, gelora penolakan muncul di Ibu Kota. Pengumuman dari Tien Soeharto itu penuh kontradiksi. Satu sisi, Tien bersuka cita mengumumkan pembangunan TMII yang makan biaya besar. Sisi lain, suami Tien, Presiden Soeharto sempat berpidato, meminta pejabat hidup prihatin bin hemat karena banyak rakyat yang masih hidup miskin.

Ali Sadikin dan Soeharto (Buku Bang Ali:Demi Jakarta 1966-1977 karya Ramadhan K.H)

Orang-orang yang bergabung dalam gerakan penolakan mulai turun ke jalan. Beberapa di antaranya aktif dalam melakukan ragam diskusi memanaskan api penolakan. Rencana pembangunan TMII itu dianggap amat mewah. Salah satu pentolan penolakan adalah Arief Budiman.

Ia mengungkap penolakan itu berasal dari banyak kekhawatiran. Arief Budiman merinci proyek Miniatur Indonesia Indah (MII), hanyalah muara dari kesederhanaan cara pikir Tien Soeharto. Akibatnya, Tien membuat kesalahan dalam menentukan prioritas dan timing dari pembangunan MII.

“Karena itulah kami memutuskan bergerak. Tentu saja dengan kesadaran penuh bahwa gerakan ini dapat dipakai oleh orang-orang yang tidak senang kepada pemerintah Soeharto, baik karena alasan-alasan politik maupun karena ambisi pribadi. Yang jelas, kami merasa, sebagai pemuda yang bertanggung jawab bagi hari depan bangsa ini, kami harus melakukan kritik terhadap proyek Miniatur Indonesia Indah, yang menurut kami benar-benar merupakan suatu kesalahan bila pelaksanaannya mau dipaksakan sekarang juga,” ungkap Arief Budiman dalam buku Kebebasan, Negara, Pembangunan (2006).

Bagi Arief Budiman, kesalahan Tien adalah memaksakan proyek MII menduduki tempat teratas dalam skala prioritas pembangunan. Upaya itu kemudian membuat gelora penolakan muncul dari kelompok mahasiswa di Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Malang. Dalam protes itu, muncul pula berbagai gerakan dengan nama-nama lucu seperti Gerakan Penghematan, Gerakan Akal Sehat (GAS), dan Gerakan Penyelamatan Uang Rakyat.

Bu Tien dan Soeharto dalam sebuah acara (Sumber: Soeharto.co)

“Rupanya protes mahasiswa terhadap proyek tersebut terus berkembang sejak 1971, dan ketika memasuki tahun 1972 protes masih berlanjut, yang mengakibatkan banyak pejabat negara merasa perlu mengambil tindakan tertentu sehubungan dengan protes yang bermunculan,” tulis Ignatius Haryanto dalam buku Indonesia Raya Dibredel (2006).

Imbasnya, pentolan anti-MII, Arief Budiman –-Kakak Soe Hok Gie— ditangkap. Tien Soeharto tersinggung karena Arief Budiman terus-menerus memanfaatkan media sebagai medium penyampaian kritikan MII.

Arief menganggap uang untuk proyek MII lebih baik dan bermanfaat jika digunakan dalam mengembangkan pendidikan, ekonomi, atau sarana publik. Bukan sebaliknya, yang ia nilai hanya menguntungkan pemerintah. Sementara rakyat tak dapat apa-apa.

“Penahanan itu dilakukan oleh tentara dari Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Saya ditahan ketika menjadi pembicara dalam seminar di sebuah hotel di Jakarta. Padahal tema seminar itu tak ada kaitannya dengan proyek Taman Mini. Setelah menjalani pemeriksaan di Markas Kopkamtib di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, saya kemudian ditahan tanpa peradilan,” ungkap Arief Budiman dikutip Majalah Tempo dalam tajuk Anti-Memilih, Anti-Taman Mini (2012).

Ali Sadikin balas kritikan

Derasnya penolakan kepada MII membuat Ali Sadikin yang turut andil bagian membalas segala bentuk kritikan akan proyek miniatur Indonesia itu. Gubernur Jakarta yang dijuluki Gubernur Keras Kepala itu beranggapan bahwa pembangunan MII sudah hadir sejak zaman Gubernur Soemarno Sosroatmodjo (1966-1966).

Akan tetapi, waktu itu proyek MII masih bernama Taman Bhinneka Tunggal Ika, seperti yang dicita-citakan oleh Soekarno. Maka pembangunannya dinilai Ali Sadikin adalah amanat dari rakyat.

“Saya tetap menegaskan, bahwa proyek itu adalah sesuai dengan rencana Pemda DKI, sesuai dengan rencana yang sudah ada dalam master plan. Yang jadi soal ialah pihak yang mengerjakannya. Karena DKI tak punya biaya, dan sekarang ada Yayasan Harapan Kita, ada Ibu Tien yang ada akan melaksanakannya, apa salahnya buat DKI? Saya tidak punya alasan untuk tidak menyetujui pembangunan Taman Mini itu. Malahan ini menguntungkan masyarakat Jakarta,” ucap Ali Sadikin dikutip Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).

Ali Sadikin (Sumber: Commons Wikimedia)

Kendati demikian, Ali Sadikin menghargai segala kritikan yang masuk. Kritikan adalah bagian yang harus dihargai sebagai bentuk kelengkapan demokrasi. Karenanya, Ali meminta kepada aparat keamanan untuk tidak menggunakan kekerasan ataupun memancing kekerasan.

Meski begitu, Ali Sadikin tetap pada pendiriannya bahwa MII tak hanya dijadikan sebagai penarik perhatian turis-turis yang akan pergi ke daerah-daerah. Lebih pada itu, wisatawan lokal dapat mengetahui wujud keberagaman Indonesia lewat MII. Termasuk kebudayaan dan seni nasional.

“Sebagai ibu kota negara, Jakarta akan kering tanpa sentuhan budaya. la juga harüs bisa menjadi kota budaya dan seni nasional. Ketika itu, di Jakarta ada sekitar 3,6 juta penduduk pribumi dan asing-yang pasti tidak mampu berkeliling Indonesia. Karena itu, saya dirikan Institut Kesenian Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta. Juga Taman Ismail Marzuki dan Taman Mini Indonesia Indah (TMII),” tutur Ali Sadikin kepada Edy Budiarso dalam tulisan di Majalah Tempo berjudul Ali Sadikin: Soal Judi Adalah Tanggung Jawab Saya Pribadi Kepada Tuhan (2000).

*Baca Informasi lain soal TMII atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya