JAKARTA - Perintisan dunia penerbangan disambut dengan gegap gempita di Hindia Belanda (kini: Indonesia). Cara berpergian gaya baru dengan pesawat terbang dianggap cepat populer. Namun, bukan perkara mudah merintis dunia penerbangan.
Perintisan tranportasi udara dari militer ke sipil banyak makan korban jiwa. Maskapai kesayangan Hindia Belanda, Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM) putar otak supaya orang mau naik pesawat. Siasat korting harga tiket pun dimainkan.
Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) punya andil besar dalam perintisan dunia penerbangan di Nusantara. Usaha itu telah dilakukan 1914. Upaya perintasan itu tak berlangsung mulus-mulus saja. Petinggi KNIL yang jadi korban kecelakaan udara bejibun.
KNIL pun menolak takluk. Alih-alih menyerah, KNIL justru mulai melakukan pembangunan lapangan udara di sana-sini dengan masif. Semua dilakukan untuk dapat membangun masa depan dunia penerbangan di Hindia Belanda.
Belakangan aroma keuntungan dari dunia penerbangan mulai dicium pengusaha-pengusaha di Belanda. Mereka mencium keuntungan di balik waktu tempuh yang singkat. Usulan membangun Dinas Penerbangan Sipil digaungkan.
Pemerintah di negeri kincir angin dan Hindia Belanda tak dapat menolak usulan yang dianggap revolusioner. Kehadiran maskapai sipil KNILM jadi tindak lanjut dari keinginan penguasa dan pengusaha. KNILM dibentuk pada 1928. Kehadiran KNILM mulainya dibekali dengan empat pesawat terbang berjenis Fokker VII.
Masing-masing pesawat itu beregistrasi HN-AFA, HN-AFB, HN-AFC dan HN-AFD. Jangan pernah membayangkan fasilitas kekinian hadir dalam pesawat dahulu. Satu Pesawat hanya dapat mengangkut delapan orang penumpang dan mengangkut bagasi sebanyak 300 Kg.
Sisa kelebihan bagasi nantinya dijamin dikirim lewat kapal laut atau kereta api. Di dalam pesawat pun jauh dari kata mewah. Penumpang hanya duduk di kursi rotan tanpa ada sabuk pengaman. Pun tanpa dilayani pramugara atau pramugari. Rute-rute penerbangan masih terbatas.
BACA JUGA:
Urusan keamanan jelas jadi nomor kesekian. Kondisi itu karena perintisan dunia penerbangan Hindia Belanda sudah banyak memakan korban jiwa. Imej itu kebawa ke penerbangan sipil. Kondisi itu membuat arti KNILM sering dipelesetkan rakyat di Hindia Belanda: Kalau Naik Itu Lekas Mati. Suatu nama yang membuat orang-orang mengurungkan niatnya untuk bekerja atau berpergian dengan pesawat terbang.
“Terpikat pada pakaian seragam angkatan udara yang dilengkapi dengan koppelriem (semacam sabuk), setelah menyelesaikan pendidikan MULO pada 1941, bersama beberapa teman, saya menulis surat permohonan agar diterima mengikuti latihan penerbangan militer di KNILM di Bandung.”
“Kesungguhan hati untuk dapat bergabung dengan KNILM saya sampaikan juga kepada orang tua dan keluarga, termasuk kakak ipar. Namun, tak seorang pun menyetujuinya karena mereka menghubungkan akronim KNILM dengan rangkaian kata: Kalau Naik Itu Lekas Mati,” ungkap tokoh kepolisian Indonesia Moehammad Jasin dalam buku Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kepolisian Indonesia (2010).
Diskon Tiket
Citra akronim Kalau Naik Itu Lekas Mati punya pengaruh besar bagi dunia penerbangan sipil. Empunya bisnis terus melakukan promosi supaya bisnis penerbangan tetap laris manis. Mereka pun mulai mengorganisasir penerbangan murah (subsidi), carter, tamasya, fotografi, dan kepentingan lainnya.
KNILM pun mulai menggunakan siasat potongan harga bagi penumpang pesawat yang membeli tiket pergi-kembali sekaligus. Korting harta tiket pesawat diberikan hanya untuk perjalanan kembali sebanyak 15 persen dari harga tiket.
Namun, tiket itu pergi-kembali harus dibayar penuh. Tiket kembali dibatasi berlaku hingga enam minggu ke depan setelah penerbangan pergi. Korting itu juga berlaku terhadap anak-anak. Sebab, mereka yang sudah berusia tujuh tahun ke atas wajib membayar penuh.
Korting tiket berlaku untuk rute pesawat dari Batavia (kini: Jakarta) dan ke Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, hingga Singapura (via Palembang). Tiket kala itu tergantung daerahnya. Tiket Batavia-Semarang sekali jalan berada pada kisaran 60 gulden. Batavia-Surabaya dihargai 90 gulden dan Batavia-Medan dihargai 225 gulden.
Penerbangan dilakukan Senin-Sabtu, hari Minggu libur. Empunya maskapai juga memberikan potongan harga khusus kepada mereka yang mendaftar jadi anggota Perkumpulan Penerbangan Hindia Belanda. Mereka harus membayar sekitar 12 gulden dulu per tahun.
Keuntungan sebagai anggota pun mengikuti setelahnya. Mereka bisa mendapatkan korting tiket 10 persen sebanyak tiga kali (tiga penerbangan sekali jalan) selama setahun. Mereka pun diistimewakan dengan mendapatkan bonus-bonus lainnya. Ajian itu untuk menumbuhkan minat rakyat Hindia Belanda naik pesawat.
“Selain mendapatkan hak korting dengan membayar kontribusi sebesar 15 gulden per tahun, anggota juga mendapatkan majalah bulanan Luchtvaart (penerbangan) setiap bulan,” tertulis dalam laporan majalah Dharmasena berjudul Naik Pesawat Terbang 50 Tahun Lalu (1988).