Bagikan:

JAKARTA - Duduk sebagai orang nomor satu Indonesia tak mudah. Soekarno pun merasakannya. Bung Besar menyadari bahwa gerak-geriknya sebagai pemimpin bangsa terbatas. Ia butuh masukan dan pertimbangan dari ahli-ahli di bidangnya.

Dewan Pertimbangan Agung (DPA) jadi jawaban. Tokoh bangsa kesohor direkrutnya mengisi jabatan anggota DPA. Awalnya DPA berjalan efektif. Namun, semua berubah di era anaknya, Megawati Soekarnoputri. Alih-alih mempertahankan, Megawati justru membubarkannya.

Jabatan Presiden jadi profesi yang tak bisa dijabat sembarang orang. Perannya vital dan berisiko tinggi. Mereka harus memikirkan hajat hidup orang banyak. Soekarno, misalnya. Sehebat-hebatnya Bung Karno peran Sang Proklamator itu tetap terbatas.

Keterbatasan itu membuatnya butuh ahli-ahli yang memberikan masukan dan pertimbangan sesuai yang tertuang dalam UUD 1945. Keinginan itu lalu direalisasikan sebagai DPA pada 24 September 1945. Posisi DPA pun sentral dan mulanya beranggotakan 11 orang.

Presiden Soeharto menyaksikan pengucapan sumpah tiga oleh Ketua Mahmakah Agung Umar Senoaji kepada tiga puluh anggota Dewan Pertimbanagan Agung (DPA) di Istana Negara, Jakarta, Kamis (3/8/1978). (ANTARA FOTO/Mawardi Muis/Sr/asf)

Mereka yang jadi anggota terbatas kepada orang ahli dibidangnya. Margono Djojohadikusumo jadi ketua DPA era permulaan. Mereka pun kerap jadi ‘pembisik’ Bung karno terlepas dibutuhkan atau tidak. Masukan itu jadi rangkaian dasar Bung Karno menetapkan sesuatu kebijakan.

Derajat DPA pun mulai terangkat kala Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dektrit itu memutuskan pembubaran Dewan konstituante. Soekarno pun membentuk Kabinet baru. Setelahnya, ia memutuskan Pembentukan Dewan Pertimbangan Presiden Sementara (DPAS) sebagai salah satu lembaga tinggi negara.

Soekarno pun tak ingin kuasanya runtuh. Ia menjadikan dirinya sendiri sebagai Ketua DPAS. Anggotanya DPA yang awalnya hanya 11 mulai menggemuk. Bung Karno menghendaki penambahan anggota jadi 45 orang: 12 orang wakil golongan politik, delapan orang utusan wakil daerah, 24 orang wakil golongan karya, dan satu orang wakil ketua.

Anggota DPA pun resmi dilantik pada 15 Agustus 1959. DPA pun bak memiliki posisi tinggi. Bung Karno seraya lebih mendengar masukan DPAS, dibanding masukan wakil rakyat

“Setelah apa yang dilakukan Soekarno terhadap DPR (pembubaran dan pembentukan lewat penunjukan), dan pembentukan lembaga-lembaga baru (Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Perancang Nasional), maka tugas DPR hanya memberikan dasar hukum saja kepada keputusan-keputusan yang telah ditetapkan pemerintah, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan atau usul dari dua badan tersebut.”

“DPA dan Dewan Perancang Nasional berhubung anggotanya disusun sendiri oleh Soekarno bisa merupakan suatu pressure grup, golongan pendesak. Bung Hatta menganggap dengan perubahan DPR sama artinya dengan hilangnya: sisa-sisa demokrasi jang penghabisan. Demokrasi Terpimpin Soekarno mendjadi suatu diktator yang didukung oleh golongan-golongan tertentu,” ungkap Ahmad Muhajir dalam buku Idham Chalid: Guru Politik Orang NU (2017).

Megawati Bubarkan DPA

Kuasa Bung Karno dan Orde Lama boleh saja berakhir. Namun, tak juga memengaruhi eksistensi DPA. Kehadiran DPA tetap dibutuhkan di era pemerintahan Soeharto dan Orde Baru (Orba). Lembaga itu terus memberikan masukan dan pendapatan kepada orang nomor satu Indonesia.

Masalah muncul. DPA justru tak banyak berperan di era Megawati Soekarnoputri. Anak dari Soekarno itu menganggap DPA tak lagi efektif berfungsi sebagai organ penasehat Presiden. Pandangan itu didasarkan karena ahli-ahli yang berada di jajaran pemerintah bejibun dan terus bertumbuh.

Suatu kondisi yang membuat peran DPA bak direduksi dengan sendirinya. Problema lainnya karena anggota DPA banyak berasal dari luar pemerintahan. Alias, tak terlibat dalam jalannya roda pemerintahan. Kondisi itu membuat saran mereka tak aplikatif dan tak sesuai dengan keinginan rakyat kebanyakan.

Megawati pun turut mempertimbangkan bahwa jajarannya mulai bekerja dengan baik. Instrumen pemerintahan pun kian lengkap. Kondisi itu secara tak langsung dirasa cukup maksimal untuk tumbuh kembang bangsa Indonesia. Pun hal itu membuat presiden tak lagi bergantung pada DPA.

Megawati Soekarnoputri yang pernah menjabat sebagai Presiden Indonesia era 2001-2004. (ANTARA)

Megawati pun ambil sikap. Alih-alih menguatkan DPA, ia dan jajarannya memulai rencana pembubaran DPA. Pucuk dicinta ulam tiba. Dasar keberadaan DPA sesuai UUD 1945 dihapuskan. UUD 1945 amandemen keempat yang baru disahkan pada 10 Agustus 2002 tak memuat lagi terkait DPA.

DPA pun tak jadi instrumen penting pemerintah. Alhasil, Kepres Nomor 135/M/2003 terkait pembubaran DPA hadir pada tanggal 31 Juli 2003. DPA pun resmi lenyap. Sekalipun Ketua DPA, Agung Achmad Tirtosudiro melemparkan protes.

Ia mempertanyakan kepada Megawati terkait nasib 275 pegawai sekretariat DPA. Namun, Megawati menganggap angin saja protes itu.

“Sebenarnya keinginan untuk melakukan penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sudah muncul sejak perubahan pertama, yaitu tahun 1999. Namun, karena keterbatasan waktu, maka para anggota MPR menggunakan skala prioritas yang pada akhirnya DPA baru dibubarkan pada perubahan ke-empat tahun 2002,” ungkap Agung Pratama Irwan dalam skripsinya berjudul Analisis kedudukan dan Fungsi Dewan Pertimbangan Presiden dalam Sistem Pemerintahan Indonesia (2023).