JAKARTA – Ingatan publik seolah kembali membayangkan masa-masa pemerintahan Soeharto di era Orde Baru, setelah DPR RI berencana mengubah nomenklatur Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Perubahan nomenklatur itu sendiri tertuang dalam revisi Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang disetujui menjadi usul inisiatif DPR RI. Padahal, revisi UU 19/2006 itu tidak masuk Program Legislasi Nasional prioritas.
Pakar hukum tata negara, Refly Harun menilai bahwa nomenklatur Dewan Pertimbangan Presiden seharusnya tidak perlu diubah menjadi Dewan Pertimbangan Agung seperti termuat dalam revisi UU Wantimpres.
Menurutnya, DPA punya konotasi negatif di masa Orde Baru, dimana DPA kerap dipelesetkan sebagai Dewan Pensiunan Agung karena dianggap tak berguna.
“Kalau masih menggunakan nomenklatur Dewan Pertimbangan Agung, khawatirnya orang berpikir sama seperti Dewan Pertimbangan Agung sebelumnya,” ujarnya, Minggu 14 Juli 2024.
BACA JUGA:
Refly menjelaskan, DPA pada era Orde Baru merupakan salah satu lembaga negara yang dihapuskan usai amandemen keempat UUD 1945. Sebelum dihapuskan, DPA dirinci dalam satu bab tersendiri di dalam konstitusi, dimana DPA diatur sejajar dengan presiden.
Selain itu, dia juga menyoroti dihilangkannya pembatasan terhadap jumlah anggota Wantimpres. Hal tersebut membuat seolah-olah Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan cek kosong kepada Prabowo Subianto agar dapat merekrut orang-orang yang belum tertampung dalam kabinet.
Refly mengungkapkan, revisi UU Wantimpres merupakan satu dari sekian banyak kebijakan yang mengindikasikan kembalinya era Orde Baru. Dia mencontohkan rencana pembentukan kementerian baru dan upaya pemerintahan pusat menarik urusan-urusan yang ditangani daerah.
“Misalnya, urusan tambang yang disebut banyak korupsi di sana. Alih-alih memberikan pengawasan dan penindakan, pemerintah justru mengambil alih prosesnya. Sekarang kita seperti mengulang romantisme Orde Baru,” kata dia.
Pandangan serupa dilontarkan pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, yang menyebut gagasan membangkitkan DPA merupakan langkah untuk kembali ke era Orde Baru.
Sebab, sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan, DPA tertuang dalam konstitusi, tetapi kini sudah dihapus usai amandemen pada tahun 2004. “Itu seperti mau kembali ke zaman Orde Baru banget,” imbuhnya.
Dia mengingatkan, pada masa peralihan Orde Baru menuju Reformasi, penolakan terhadap DPA disampaikan oleh masyarakat sipil beserta para ahli hukum, seperti Jimly Asshiddiqie, Bagir Manan, dan Sri Soemantri, yang sepakat merapikan sistem ketatanegaraan dimana tidak ada lagi lembaga yang levelnya terlalu tinggi dan wewenangnya tidak signifikan.
Pada masa Orde Baru, lanjut Bivitri, DPA tidak memiliki fungsi penting, selain memberikan saran kepada presiden. Karena itu, urgensi perubahan Wantimpres menjadi DPA yang diinisiasi oleh DPR harus dipertanyakan.
Pembentukan DPA Melanggar Konstitusi
Sementara itu, pakar hukum tata negara, Feri Amsari menilai perubahan nomenklatur Wantimpres menjadi DPA yang termuat dalam draft revisi Undang-Undang Wantimpres melanggar konstitusi dan bertentangan dengan semangat reformasi.
Dia menjelaskan, Bab 4 Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen sudah menghapus eksistensi DPA sebagai langkah efisiensi dan efektivitas pemurnian sistem presidensial yang diterapkan di Indonesia.
“Sebagai gantinya, presiden melalui UU diberikan wewenang untuk membentuk Wantimpres yang berada di bawah kuasa presiden atau bagian staf presiden di Istana Negara,” ujarnya.
Feri mengungkapkan, usulan perubahan nomenklatur Wantimpres menjadi DPA terkesan janggal. Terlebih, hal tersebut dilakukan saat mendekati akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo. Karena itu, dugaan yang berkembang saat ini adalah Jokowi menginginkan jabatan sebagai Ketua DPA usai lengser sebagai presiden.
“Apalagi bila kemudian melakukan perubahan yang menyebabkan tidak lagi DPA berada di bawah kewenangan presiden, tetapi menjadi sebuah lembaga sendiri,” imbuhnya.
Dia menegaskan, usulan DPA yang digulirkan Baleg DPR tidak sesuai dengan UUD 1945, dan cenderung melanggar serta bertentangan terhadap konstitusi. Selain itu, adanya DPA berpotensi membahayakan presiden berikutnya karena kekuasaannya tidak dimurnikan lagi.
“Langkah politis Jokowi pada akhir masa jabatannya sangat bertentangan dengan UUD 1945. Apalagi, usulan DPA itu membuat UU bertabrakan satu sama lain terhadap konstitusi,” kata Feri Amsari.
Peneliti Pusat Studi Antikorupsi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah juga mempertanyakan dasar hukum pembentukan kembali DPA di luar tubuh lembaga kepresidenan. Dia menegaskan, pembentukan DPA tidak memiliki dasar hukum yang kuat di dalam konstitusi meski dahulu lembaga itu pernah diatur secara khusus dalam Bab IV UUD 1945.
Pakar hukum tata negara itu mengatakan, sebuah lembaga yang membantu presiden seharusnya berada di dalam lembaga kepresidenan, bukan berdiri sendiri sebagai lembaga khusus. “Setelah reformasi, DPA berubah menjadi Wantimpres dan posisi dewan pertimbangan itu adalah di bawah cabang kekuasaan eksekutif,” tukasnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah berharap agar perubahan nomenklatur Wantimpres menjadi DPA tidak menjadi ajang politik akomodatif. Menurutnya, belum ada relevansi dari perubahan nomenklatur tersebut. Selain itu, jika hanya mengubah nama, maka tugas DPA tidak jauh dari tugas-tugas Wantimpres yang ada sekarang ini.
“Karena hanya akan menjadi gimik politik dan ajang balas jasa pada tokoh-tokoh di pemenangan pilpres. DPA akan serupa dengan duta besar, komisioner perusahaan negara, yang selama ini banyak ditempati oleh relawan politik,” ujar Dedi.