Bagikan:

JAKARTA – Pakar hukum tata negara, Feri Amsari menilai perubahan nomenklatur Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang termuat dalam draft revisi Undang-Undang Wantimpres melanggar konstitusi dan bertentangan dengan semangat reformasi.

Dia menjelaskan, Bab 4 Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen sudah menghapus eksistensi DPA sebagai langkah efisiensi dan efektivitas pemurnian sistem presidensial yang diterapkan di Indonesia.

“Sebagai gantinya, presiden melalui UU diberikan wewenang untuk membentuk Wantimpres yang berada di bawah kuasa presiden atau bagian staf presiden di Istana Negara,” ujarnya, Minggu 14 Juli 2024.

Feri mengungkapkan, usulan perubahan nomenklatur Wantimpres menjadi DPA terkesan janggal. Terlebih, hal tersebut dilakukan saat mendekati akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo. Karena itu, dugaan yang berkembang saat ini adalah Jokowi menginginkan jabatan sebagai Ketua DPA usai lengser sebagai presiden.

“Apalagi bila kemudian melakukan perubahan yang menyebabkan tidak lagi DPA berada di bawah kewenangan presiden, tetapi menjadi sebuah lembaga sendiri,” imbuhnya.

Dia menegaskan, usulan DPA yang digulirkan Baleg DPR tidak sesuai dengan UUD 1945, dan cenderung melanggar serta bertentangan terhadap konstitusi. Selain itu, adanya DPA berpotensi membahayakan presiden berikutnya karena kekuasaannya tidak dimurnikan lagi.

“Langkah politis Jokowi pada akhir masa jabatannya sangat bertentangan dengan UUD 1945. Apalagi, usulan DPA itu membuat UU bertabrakan satu sama lain terhadap konstitusi,” kata Feri Amsari.