Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, enam tahun yang lalu, 15 Juli 2018, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Susi Pudjiastuti menyatakan kekesalannya kepada penyelam yang injak terumbu karang. Para penyelam yang tak mengusai teknik menjaga daya apung atau ‘buoyancy’ berpotensi merusak ekosistem bawah laut.

Sebelumnya, Indonesia dikenal punya banyak wisata bawah laut. Kondisi itu menarik minat penyelam dari dalam dan luar negari. Masalahnya tak banyak yang punya kesadaran menjaga ekosistem laut.

Indonesia tak pernah kekurangan destinasi wisata surga bawah laut. Wisata menyelam itu ada di mana-mana, dari Sabang hingga Merauke. Ambil contoh wisata bawah laut yang ditawarkan Derawan, Wakatobi, hingga Raja Ampat.

Keindahan bawah lautnya tak saja membangkitkan rasa takjub, tapi terus berdiam dalam sanubari. Keindahan itulah yang membuat penyelam dari dalam dan luar negeri berdatangan. Mereka ingin lihat sendiri keindahan ekosistem bawah laut Indonesia.

Terumbu karang yang sehat menjadi indikator ekosistem laut dan iklim yang kondusif. (Pexels) 

Masalah muncul. Tak semua penyelam dibekali dengan kemampuan menyelam yang mempuni. Banyak di antara penyelam yang justru tak dapat menjaga buoyancy. Akibatnya fatal. Banyak penyelam yang justru menyinjak-injak karang.

Kondisi itu jika dibiarkan terus-menerus dapat membuat terumbu karang jadi rusak. Keindahan yang tadinya tersebar di seantero bawah laut dapat terancam hilang tak bersisa. Kerusakan ini tak jarang pula ditunjung oleh operator wisata yang melulu memikirkan keuntungan.

Mereka ogah keras kepada wisatawan. Tiada teguran keras atau edukasi penting sebelum menyelam. Mereka cuma tahu mendatangkan keuntungan dan abai kepada keberlanjutan terumbu karang. Kedua masalah itu --operator amburadul dan penyelam pemula-- dapat jadi ancaman.

Praktek menyelam tanda memerhatikan prosedur dan ketentuan yang ada dapat mengakibatkan mudarat besar. Suatu kerugian yang dapat membuat spot menyelam dapat hilang dari peta destinasi bawah laut favorit.

Akhirnya, banyak yang gigit jari. Operator tak lagi mendapatkan untung dari ‘kue’ pariwisata. Wisatawan pun tak lagi dapat menikmati keindahan bawah laut.   

New divers, mereka juga merusak karang, mereka pegang karang, injak karang. Education (yang terpenting). Kalau kamu punya skill, spotnya sesuaikan sama kamu punya skill, kalau kamu sudah jago tentu tidak akan bikin rusak.”

“Kalau yang tidak punya skill jangan dulu di laut di mana ada karang yang bagus. Ini kan karena para operator membawa orang-orang sembarangan ya mereka jadi pegang sembarangan, rusak semua, yang penting bayar. Mereka (operator wisata) tidak pusing, kita yang pusing,” kata konsultan wisata bahari, Christian Fenie saat menggelar talkshow di acara Deep and Extreme, di Jakarta dikutip laman kompas.com, 30 April 2015.

Keresahan terkait penyelam yang merusak terumbu karang bukan sekali dua kali disuarakan banyak orang, tetapi berkali-kali. Menteri KKP, Susi Pudjiastuti bahkan sampai angkat bicara pada 15 Juli 2018. Ia kesal kepada banyak penyelam yang sembarang injak terumbu karang.

Para penyelam saat menyebarkan rock pile dari batu kapur di awal upaya pemulihan karang di Kepulaun Derawan, Juli 2022. (ANTARA/HO-WWF Indonesia)

Menteri Susi mengungkap banyak penyelam yang tak menguasai teknik buoyancy supaya tidak mengenai terumbu karang. Kondisi itu membuat sepatu katak (fin) mereka sering menyerempet terumbu karang hingga rusak.

Menteri Susi pun tak tinggal diam. Ia mencoba menyiapkan regulasi. Pun Susi mulai mengajak seluruh elemen masyarakat untuk segera menjaga lautan Indonesia. Gebrakan itu penting karena masa depan lautan Indonesia adalah tanggung jawab bersama.

"Diving tapi hobinya injak-injak karang, seperti kerupuk aja diinjak gitu. Itu tidak boleh. Banyak yang tidak mau berenang dan mengapung. Tiba-tiba ada yang bolong seperti kawah gitu, kecil-kecil diameter tiga sampai lima meter. Itu ternyata bekas anak-anak diving yang lagi briefing. Briefingnya dalam air, semua pada berdiri, fin-nya besar-besar. Senang diving, tapi malas berenang, kan itu aneh," ucap Susi sebagaimana dikutip laman ANTARA, 15 Juli 2018.