Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 10 tahun yang lalu, 23 Mei 2014, Anies Baswedan ditunjuk Tim Pemenangan Joko Widodo (Jokowi) – Jusuf Kalla (JK) sebagai jubir. Pemilihan itu karena kapisitas Anies yang mempuni dalam hal komunikasi publik.

Sebelumnya, Pilpres 2014 disambut dengan gegap gempita. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memajukan Jokowi-JK. Sedang Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) memajukan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Kedua pasangan itu akan bertarung untuk mendapatkan simpati rakyat Indonesia.

Sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menyanggupi untuk netral membuat Pilpres 2014 kian seru. Pesta demokrasi itu dianggap lebih berwarna dan berani. PDIP, misalnya. Partai berlambang banteng moncong putih itu tak lagi memajukan Ketumnya, Megawati Soekarnoputri.

Mereka memilih wajah baru sebagai capres. Sosok itu adalah Jokowi. Pemilihan Jokowi bukan tanpa alasan. Kehebatan Jokowi dalam tiap kontestasi politik sudah teruji. Gubenur DKI Jakarta itu pernah tercatat menang Pilkada Solo dua kali dan unggul dalam Pilgub DKI Jakarta.

Jokowi pun dipasangkan dengan JK. Beda PDIP, Beda Gerindra. Partai itu justru kembali menjagokan kembali ketum mereka, Prabowo yang kemudian dipasangkan dengan Hatta Rajasa. Pemilihan Prabowo dianggap sebagai opsi yang tepat. Elektibilitasnya tinggi.

Jubir Timses Jokowi-JK, Anies Baswedan (tengah) didampingi sejumlah relawan Poros Muda Indonesia ketika pernyataan deklarasi dukungan terhadap pasangan Capres dan Cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla di Jakarta, Minggu (1/6/2014). (ANTARA FOTO/Reno Esnir/ss/nz/14)

Mesin-mesin partai pun mulai dipanaskan. Siasat kampanye pun mulai dikemas. Program-program mulai disusun. Tujuannya supaya masing-masing kandidat dapat memenangkan Pilpres yang akan berlangsung pada 9 Juli 2014 mendatang.

Wajah-wajah dari Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta terpampang di mana-mana. Semua itu dilakukan supaya rakyat Indonesia memiliki bekal memadai terkait pilihan politiknya. Alhasil, pembicaraan dan diskusi terkait siapa yang layak muncul di mana-mana, dari ruang publik hingga ruang kampus.

“Taruhan bangsa ini kelewat besar jika kita tidak mendapat informasi yang lengkap dan akurat tentang mereka yang berkompetisi untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia setelah pemilu presiden Juli nanti. Untuk tujuan yang sama, kita berhak berbicara tentang karakter capres.”

“Mana yang lebih menguntungkan bagi Indonesia ke depan: memiliki presiden yang jujur dan sederhana tapi masih harus membangun visinya atau calon-presiden yang tegas tapi bengis dengan visi yang telah digariskannya? Apakah nasib Indonesia lima tahun ke depan lebih bagus jika dipimpin calon presiden yang mau mendengar dan belajar atau calon presiden yang jemawa dan merasa dirinya sudah komplet?” ungkap Dodi Ambardi dalam tulisannya di majalah Tempo berjudul Pemilu Presiden dan Kampanye Hitam (2014).

Rencana program yang dicanangkan boleh jadi bagus-bagus. Namun, untuk mengkomunikasi itu semua tak cukup dengan poster atau kampanye akbar. Kedua kandidat membutuhkan seorang jubir yang mempuni untuk mengkomunikasikan kelebihan capres-cawapres.

Jokowi-JK, misalnya. Tim Pemenangan Jokowi-JK tak mau sembarangan memilih Jubir. Mereka ingin jubir Jokowi adalah sosok yang dikenal masyarakat dan memiliki komunikasi dan reputasi yang baik. Kriteria itu nyatanya ada dalam diri Anies Baswedan.

Rektor Universitas Paramadina itu dianggap jadi jubir Jokowi-JK pada 23 Mei 2014. Tim Pemenangan Jokowi-JK tak meragukan apa yang sudah dilakukan Anies beberapa tahun ke belakang. Pun mereka tak meragukan urusan komunikasi publik ala Anies Baswedan. Mereka telah mempertimbangkan semuanya untuk memilih Anies sebagai jubir.

"Mempertimbangkan semuanya, elektoral dan kemampuan," kata Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDI-Perjuangan Hasto Kristiyanto di Kantor DPP Partai Nasdem sebagaimana dikutip laman kompas.com, 23 Mei 2014.