JAKARTA – Memori hari ini, enam tahun yang lalu, 9 Mei 2018, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa mengenai politik uang haram. Politik uang dan pemberian imbalan untuk mengarahkan pilihan dalam pemilihan kepala daerah maupun pemilihan anggota legislatif tak dapat dibenarkan.
Sebelumnya, politik uang dalam pemilu kerap jadi andalan peserta pemilu yang ingin menang instan. Praktek kecurangan itu hadir di mana-mana. Bahkan, beberapa kasus praktek politik uang lebih vulgar. Ambil contoh Pemilu 2014.
Praktek politik uang sering kali mewarnai pesta demokrasi Indonesia. Kehadiran politik uang itu disinyalir karena banyak calon legislatif yang tak percaya diri dapat memenangkan pemilu secara jujur. Praktek distribusi uang, baik tunai maupun barang dari kandidat ke calon pemilih jadi marak.
Praktek itu berlangsung hampir di seantero negeri. Barang siapa yang ingin mendapatkan tambahan suara, maka harus mengeluarkan uang untuk calon pemilihnya. Mereka bermaksud ingin memengaruhi pemilih dalam pemilu.
Uang yang digunakan pun kadang kala dari kantong pribadi. Kadang pula dari kantong lainnya -- korupsi. Tren itu justru menciderai citra pemilu dengan asas luber jurdil (asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil).
Kondisi itu terjadi pula dalam pelaksanaan Pemilu 2014. Kecurangan dalam bentuk praktek uang muncul di mana-mana. Bahkan, terlihat lebih vulgar. Deputi Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masykurudin Hafidz mengungkap caleg banyak melakukan politik uang dengan gamblang.
Mereka banyak mendatangi lembaga-lembaga tertertu seperti tempat pengajian atau sekolahan. Sisanya mereka melakukan politik uang.
Modus para caleg tak lain dengan membagikan uang dengan besaran Rp 10.000 sampai Rp 200.000, barang (sembako, alat ibadah, pulsa, baju), hingga polis asuransi. Praktek itu kemudian menjadi pelajaran bahwa kedewasaan berpolitik belum matang.
“Sekarang terang-terangan, langsung ada duit, amplop, kartu (asuransi) itu. Dan itu dibagikan betul. Itu tren politik uang semakin terbuka. Vulgarismenya semakin meningkat. Kalau tidak salah dulu politik uang hanya sekitar 10 persen, sekarang naik sekitar 33 persen. Waktu itu yang paling parah (kecurangan dalam) Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan logistik yang hampir 50 persen,” jelas Hafidz sebagaimana dikutip laman Kompas.com, 13 April 2014.
Praktek kecurangan politik uang ditakutkan akan terjadi pada Pemilu 2019. Kondisi itu membuat banyak prihatin. Sebab, moral bangsa akan senantiasa buruk jika praktek itu terus terjadi. MUI pun ambil sikap. Mereka segera menggelar Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI.
BACA JUGA:
Ijtima itu dipusatkan di Pondok Pesantren Al Falah, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Mereka membahas banyak hal melalui empat komisi perwakilan dari 34 cabang MUI dari seluruh Indonesia. Hasilnya MUI mengeluarkan fatwa haram untuk politik uang pada 9 Mei 2018.
Ketua umum MUI, Ma’ruf Amin mengungkap pemberian imbalan dalam bentuk apa pun terhadap proses pencalonan seseorang sebagai pejabat publik hukumnya haram dan termasuk risywah (suap). Pemberi dan orang yang diberi pun tidak benarkan apapun alasannya.
"Politik uang termasuk mahar politik dan memberikan imbalan dalam bentuk apa pun adalah haram. Perbuatan memberi itu tidak benar dan menerima juga tidak boleh karena tergolong haram. Apalagi pilihan bukan diarahkan kepada orang berkompeten di bidangnya," ujar Ma’ruf Amin dikutip laman Antara, 9 Mei 2018.