Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, sembilan tahun yang lalu, 14 April 2015, Wakil Presiden (Wapres), Jusuf Kalla (JK) menegaskan energi nuklir jadi alternatif terakhir untuk digunakan di Indonesia. JK menganggap Indonesia belum siap dengan pengembangan energi nuklir.

Ia mencontohkan Jepang saja kelabakan karena nuklir. Sebelumnya, rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sudah berhembus sedari 2007. Pemerintah menargetkan wilayah Jawa Tengah sebagai tempat reaktor nuklir. Gema protes pun muncul.

Keunggulan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) bejibun. Kehadiran PLTN dapat menghasilkan jumlah energi yang signifikan, dibanding pembangkit lainnya. Gairah itu membuat pemerintah kepincut menghadirkan PLTN di Indonesia.

Ratusan Warga Jepara melakukan aksi protes di Kantor PBNU, Jakarta, Kamis (6/9/2007). Mereka menolak rencana pemerintah membangun PLTN di Bukit Muria, Jawa Tengah. (Antara/ Ujang Zaelani/pd./07)

Negara berencana akan membangun PLTN di kawasan Semenanjung Muria, Jepara, Jawa Tengah. Keinginan itu nyatanya mendatangkan kritik dari sana-sini. Mereka yang melemparkan kritik dari lintas kalangan, dari aktivis hingga para kiai Nahdlatul Ulama (NU).

Para kiai itu tak merasa pemerintah Indonesia sudah siap mengadopsi energi nuklir. Keungulan energi nuklir boleh bejibun, tapi tantangan dan risikonya tak sedikit. Pemerintah Indonesia tak mampu memberikan jaminan keamanan dari PLTN. Ambil contoh urusan pengelolaan limbah radioaktif.

Para kiai menyarankan pemerintah lebih baik memanfaatkan sumber daya yang ada, ketimbang ngotot membangun PLTN. Penolakan itu tak main-main. NU sampai mengeluarkan fatwa haram perihal energi nuklir. Sebuah upaya maksimal dari penolakan.

Gema pembangunan PLTN sempat mereda untuk beberapa tahun. Namun, belakangan keinginan membangun justru kumat lagi. Mereka yang menolak nuklir tak gentar. Para kiai terus menyuarakan keberatannya terkait rencana pemerintah.

NU bahkan menganggap pemerintah takkan becus mengurusi urusan nuklir. Penolakan kian gencar kala bencana Tsunami menyapu Jepang pada 2011. Imbas bencana itu membuat terjadinya kecelakaan di PLTN Fukushima. Jepang yang notabene negeri pusat teknologi pun kelabakan menghadapi kerusakan PLTN.

“Kita memang tidak kekurangan orang pintar, tetapi disiplin keamanannya masih lemah. Untuk PLTN ini kita minta pemerintah membatalkannya. Tidak ada jaminan dari pemerintah dari segi keamanan terhadap dampak bahaya nuklir, maka selama itu pula akan terjadi ketakutan di masyarakat yang berujung pada penolakan.”

“NU pernah mengeluarkan fatwa larangan tentang pembangunan PLTN di wilayah Indonesia saat kepemimpinan Hasyim Muzadi. Ini pun sudah disampaikan kepada Presiden,” ujar Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj dalam penutupan Rapat Pleno Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Pondok Pesantren Krapyak Bantul, Yogyakarta, sebagaimana dikutip laman Tempo.co, 28 Maret 2011.

Penolakan terhadap PLTN pun diamini oleh JK yang kembali menjabat sebagai Wapres era Jokowi. Ia merasakan hal yang sama terkait PLTN. Ia juga khawatir jika PLTN justru jadi muara bencana besar di Indonesia.

Jusuf Kalla yang pernah menjadi Wapres dua periode era 2004-2009 dan 2014-2019. (Antara)

Ia pun merasa bahwa Indonesia lebih baik mengembangkan teknologi lainnya duhulu. Ia menganggap nuklir adalah alternatif terakhir jika Indonesia benar-benar kekurangan energi pada 14 April 2015. Penyataan itu diungkap JK pada Seminar Nasional bertema, Menentukan Arah Kebijakan Energi Indonesia, di Hotel Borobudur, Jakarta.

"Nuklir memang potensi yang besar tetapi tetap dunia terbelah pendapatnya. Tetapi, di Jawa selama ada energi lain, saya kira ini alternatif (energi) terakhir.”

"Jepang sudah ingin menurunkan nilainya (nuklir) akibat (tragedi) Fukushima. Sehebat-hebat orang Jepang menjaga teknologinya yang lebih teliti dari kita, kena juga dia. Jadi, apalagi kita yang katakanlah agak sembrono mengatur sesuatu tentu mengkhawatirkan untuk masyarakat," ujar JK sebagaimana dikutip laman Beritasatu.com, 14 April 2015.