Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, enam tahun yang lalu, 12 April 2018, Pemerintah Provinsi Aceh dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) sepakat memindahkan lokasi hukum cambuk dari halaman masjid ke Lembaga Pemasyarakatan (LP). Alasan utamanya supaya investor tak takut berinvestasi di Aceh.

Sebelumnya, Aceh mendapatkan keistimewaan untuk mengaplikasikan syariat Islam di dalam kehidupan bermasyarakat. Narasi itu terlihat dengan hadirnya hukum Qanun Jinayat (hukum pidana Islam).

Perbedaan Aceh dan wilayah Indonesia lainnya dapat dilihat dari penerapan hukum Islamnya. Posisi hukum Islam di Aceh bukan semata-mata alternatif, tapi jadi hukum yang diakui dan digunakan di seantero Aceh. Qanun Jinayat, namanya.

Kehadiran hukum itu tak terlepas dari hadir Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Suatu produk hukum yang membuat Aceh memiliki keistimewaan dalam mengatur dan menguruh rumah tangganya sendiri, dari urusan ekonomi hingga adopsi hukum Islam.

Hukum Qanun Jinayat disahkan lewat Perda Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dan efektif berlaku pada tanggal 23 Okober 2015. Kehadirannya kemudian memancing pro dan kontra. Mereka yang kontra sudah tentu melakukan protes terhadap penerapan hukum cambuk.

Mulai 12 April 2018, hukum cambuk di Aceh tak lagi dipertontonkan di muka umum. (Antara)

Hukum itu dianggap melenceng dari hukum negara yang justru secara tegas melarang penggunaan hukum cambuk. Penggunaan hukum cambuk dianggap masuk dalam ketegori penyiksaan, hukuman kejam tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.

Mereka yang mendukung hukum pidana Islam tak sedikit. Banyak yang berpandangan bahwa penerapan Qanun dianggap lebih efektif. Tindak kejahatan hingga maksiat dapat menurun drastis. Sekalipun tak sedikit yang menolak pandangan itu.

"Hukum cambuk telah digunakan sebagai penghukuman sebagai bagian dari serangkaian tindak pidana, termasuk menjual minuman beralkohol (khamar), hubungan seksual di luar ikatan perkawinan (zina), dan berduaan di dalam suatu tempat tertutup bersama orang lain yang berbeda kelamin di luar ikatan perkawinan (khalwat)."

"Ini menimbulkan dualisme penegakan hukum pidana di Aceh. Khususnya untuk pasal-pasal kesusilaan yang telah diatur dalam KUHP," ujar Direktur Eksekutif The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono sebagaimana dikutip Antara, 23 Oktober 2016.

Alih-alih mendapatkan sambutan luas, pelaksanaan hukum cambuk pun kerap mendapatkan pandangan negatif. Pemerintah Aceh dan Kemenkuham melihat pelaksanaan hukum cambuk di muka umum -- biasanya halaman masjid dapat merugikan.

Urusan merugikan itu hadir dari investor yang tak mau masuk berinvestasi di Aceh. Pandangan mereka terkait kekejaman hukuman cambuk jadi muaranya. Alhasil, pemerintah Aceh dan Kemenkumham ambil sikap. Mereka memilih opsi tetap melaksanakan hukum pidana Islam. Namun, pelaksaannya dipindah dari Masjid ke LP pada 12 April 2018.

"Yang kita lakukan dengan melaksanakan hukuman di penjara bisa disaksikan oleh masyarakat tergantung kapasitas penjara. Tetapi tidak bisa dilihat oleh anak kecil, tidak bisa bawa HP, kamera.”

"Coba bayangkan sebuah hukuman disaksikan oleh anak kecil, kemudian timbul keriaan tepuk tangan sorak-sorakan, apakah seperti itu dianjurkan. Kemudian bagaimana yang dihukum divideokan kemudian dimasukkan ke dalam YouTube. Sekali dia dihukum, seumur hidup dengan dampak imej itu, misalnya suatu hari dia menjadi tokoh masyarakat," jelas Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf sebagaimana dikutip Detik.com, 12 April 2018.