Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 50 tahun yang lalu, 10 April 1974, Golda Mabovitch atau Golda Meir mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri (PM) Israel. Pengunduran diri itu dilakukan karena serangkaian tekanan politik hingga isu menurunnya kesehatan Golda.

Sebelumnya, Golda dikenal sebagai sosok wanita perkasa oleh bangsa Israel. Ia dikenal sebagai pejuang kemerdekaan dan berdirinya Israel di tanah Palestina. Jasanya yang besar itu membuat karier politik melejit. Ia bahkan jadi PM wanita pertama Israel.

Dulu kala hidup sebagai seorang Yahudi dan miskin kerap dianggap resep kesengsaraan. Golda pernah merasakannya. Wanita kelahiran Kiev, Ukraina, 3 Mei 1898 itu menyaksikan sendiri bagaimana hidup di bawah kuasa Tsar Rusia di Kiev tak menyenangkan.

Citra Yahudi sebagai pembunuh Kristus ada di baliknya. Hari-hari Golda sering diliputi rasa ketakutan. Namun, semuanya berubah kala Golda pindah ke Amerika Serikat (AS) pada 1906. Kehidupannya mulai terangkat.

Ia mulai mendapatkan pendidikan berkualitas dan berprestasi. Narasi itu membuatnya jadi guru. Alih-alih hanya menghabiskan waktu mengajar, Golda justru ikut aktif dalam gerakan Pemuda Zionis Buruh. Gerakan itu membuatnya belajar banyak terkait pentingnya bangsa yahudi memiliki wilayah.

Golda Meir yang merupakan perempuan pertama yang menjadi PM Israel. (Wikimedia Commons)

Ia mulai bermigrasi ke Palestina pada 1918. Ia mulai aktif dalam dunia politik. Serangkaian konferensi terkait celah kemerdekaan kaumnya turut diikuti. Ambilnya contoh konferensi di Evian-les Bains pada 1938. Semenjak itu ia ikut berjuang untuk kemerdekaan dan berdirinya Israel.

Pucuk dicinta ulam tiba. PBB mengumumkan rencana memberikan separuh Palestina kepada bangsa Yahudi pada 1947. Putusan itu bak genderang kemenangan awal bagi Golda dan segenap bangsa Yahudi. Masalah muncul negara-negara Arab tak menerima keputusan itu.

Ancaman perang pun hadir. Namun, pemimpin Israel Ben Gurion tak kehilangan akal. Golda kemudian diutusnya ke AS. Golda mendapatkan misi khusus untuk menggalang dana dan berhasil.

“Keadaan begitu mendesak, hingga Golda berangkat tanpa membawa kopor. Tapi ia berhasil kembali dengan lebih dari sekedar kopor: wanita yang waktu itu tak begitu dikenal ini dapat mengumpulkan dana 50 juta dolar AS dari orang Yahudi Amerika. Dan senjata pun dibeli, terutama dari Eropa Timur karena AS sendiri mengadakan embargo terhadap penjualan senjata ke Timur Tengah.”

“Uang itulah, dan jasa Golda, seperti diakui Ben Gurion, yang ikut memungkinkan berdirinya negara Israel, 14 Mei 1948. Sampai kini pun, Israel sebagai unsur yang belum diterima dalam tubuh Timur Tengah, tergantung benar pada suksesnya cara Golda di tahun 1948. Tapi tentu bukan cuma karena itu. Tekadnya untuk hidup terus -- selama 30 tahun yang tak kenal damai – nampaknya juga ditopang oleh keengganannya main gampangan,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Si Nenek Kuat Tak Ada Lagi (1978).

Golda Meir bersama pemimpin Israel, Ben Gurion dalam sidang Knesset di Yerusalem pada 1962. (Israel Government Press Office/Fritz Cohen)

Karier Golda sebagai politisi pun melejit. Ia berkali-kali menjabat sebagai Menteri Israel, dari Menteri Tenaga Kerja hingga Menteri Dalam Negeri. Prestasi lainnya yang paling menonjol ia menjabat sebagai orang nomor satu Partai Buruh Israel.

Golda pun terpilih sebagai PM Israel yang baru pada 1969. Terpilihnya Golda sudah dapat ditebak oleh seisi Israel. Semuanya karena kapasitas Golda yang besar sebagai pemimpin. Sekalipun ia perempuan.

Ia mampu memimpin Israel dengan nyali tinggi. Ia berani mencoba membuka hubungan dengan beberapa negara Arab menawarkan kedamaian di wilayah yang direbut dari Palestina. Kepemimpinannya mulai terganggu karena Perang Yom Kippur pecah pada 1973.

Perang itu membuat Israel merugi. Pun dukungan politik kepada Golda perlahan-lahan mulai hilang. Ia pun mencoba mengambil keputusan berani. Ia memilih untuk mengundurkan diri dari jabatan Perdana Menteri pada 10 April 1974. Suatu upaya yang disayangkan banyak pihak.

Pengambilan keputusan itu juga karena kondisi kesehatannya yang memburuk. Penguduran diri itu diterima. Ia kemudian baru benar-benar resmi meninggalkan jabatannya pada 7 Juni 1974.

“Perdana Menteri berusia 75 tahun itu mengatakan bahwa dia mengundurkan diri karena perpecahan yang mendalam di dalam Partai Buruh yang dipimpinnya. Kondisi itu membuatnya tidak memungkinkan lagi menjabat Perdana Menteri.”

“Partai tersebut menemui jalan buntu dalam beberapa hari terakhir. Apalagi, mengenai masalah pemberian tanggung jawab politik atas kekurangan militer Israel pada awal perang Oktober,” terang Terence Smith dalam tulisannya di surat kabar The New York Times berjudul Golda Meir Quits and Brings Down Cabinet In Israel (1974).