Bagikan:

JAKARTA - Pada 17 Maret 1969, untuk pertama kalinya Israel memiliki perdana menteri (PM) perempuan. Dia adalah Golda Meir. PM keempat Israel itu dikenal sebagai perempuan besi karena sikapnya yang keras dan tegas.

Mengutip History, Golda Meir lahir di Kiev, Ukraina, 3 Mei 1898. Golda Meir lalu pindah ke Amerika Serikat (AS). Di sana ia tumbuh besar.

Golda Meir mengawali kariernya sebagai pemimpin buruh Zionis. Ia kemudian memegang posisi-posisi penting di pemerintahan Israel, termasuk Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Luar Negeri. Setelah kematian PM Israel Levi Eshkol pada 1969, Golda Meir diangkat menjadi PM Israel.

Selama masa jabatannya, popularitas Golda Meir terus meningkat karena kecakapannya berdiplomasi. Golda Meir mengamati negaranya selama Perang Yom Kippur pada Oktober 1973, yaitu ketika Mesir dan Suriah melancarkan serangan terhadap Israel.

Walaupun akhirnya menang, 2.500 orang Israel meninggal dunia. Selain itu, berbagai kritik juga menghujam pemerintah Israel karena dianggap tak siap.

Merendahkan dan tak menganggap Palestina

Di sisi lain, Golda Meir juga kerap melontarkan kalimat-kalimat yang lebih xenofobik, terutama yang terkait Palestina. "Tidak ada yang namanya orang Palestina," katanya, dikutip Al Jazeera.

“Kapan ada orang Palestina merdeka dengan negara Palestina? Bukannya ada orang Palestina di Palestina yang menganggap dirinya sebagai orang Palestina? Kami datang dan mengusir mereka serta mengambil negara mereka dari mereka. Mereka tidak ada,” tutur Golda Meir tentang keberadaan Palestina yang baginya tak ada.

Bagi para pengkritiknya, kutipan Golda Meir tentang Palestina jadi salah satu warisan yang paling memberatkan. Menurut banyak pengamat, Golda Meir tak mampu merenungkan bahwa berdirinya Israel memberi orang-orang Palestina --yang kehilangan rumah mereka setelah kebangkitannya-- sebuah narasi peristiwa yang berbeda.

Golda Meir bersama sejumlah anak (Sumber: Commons Wikimedia)

"(Golda Meir) bermaksud membersihkan penduduk asli dari Palestina secara etnis untuk memberi ruang bagi imigran Yahudi," kata Muslim Amerika untuk Palestina, sebuah kelompok yang berbasis di AS dan berdedikasi untuk mendidik publik AS tentang Palestina dan warisannya. 

"Dia tidak punya masalah dengan memaksa memindahkan orang-orang dari rumah mereka dan mengusir mereka dari negara mereka agar Israel tetap ada."

Pada 29 November 1947, PBB menerbitkan keputusan pembagian wilayah Israel, Palestina, dan Yerusalem. Usul ini disambut Israel tapi tidak diterima pimpinan negara Palestina. Atas keputusan inilah Golda Meir juga ikut andil dalam pendirian Israel.

Pada 14 Mei 1948, Israel memproklamasikan kemerdekaan yang diikuti dengan peperangan dengan negara-negara Arab yang menolak rencana pembagian wilayah. Golda Meir yang saat itu masih menjabat sebagai Kepala Departemen Politik komunitas Yahudi diutus ke AS untuk meminta dana bantuan.

Dana bantuan tersebut  kemudian diberikan untuk para tentara Israel. Keberhasilannya mendapat dana bantuan dari AS dianggap sebagai prestasi yang luar biasa.

Golda Meir ingin perdamaian 

Meski Golda Meir selalu berada di pihak yang menang, ia juga kehilangan banyak nyawa. Oleh sebab itu, Golda Meir sendiri tidak senang dengan kekerasan.

Saat diwawancara dengan New York Times, Golda Meir mengatakan ambisinya hanyalah melihat Israel diterima oleh tetangga Arabnya dan hidup dalam damai. Dengan keteguhan dan tekad, dia mencari itu semua, meski gagal mencapai tujuan tersebut. 

"Kami mengatakan 'perdamaian' dan gema kembali dari sisi lain, 'perang'," keluhnya. “Kami tidak ingin perang bahkan ketika kami menang.”

Bukan tanpa sebab Golda Meir membenci kekerasan. Saat masih tinggal di Kiev, kehidupan Golda Meir selalu dekat dengan kematian. Kala itu banyak kejadian pembantaian massal di Kiev.

Sejak itulah Golda Meir tidak suka hal yang berbau kekerasan. "Saya selalu merasa terlalu dingin di luar dan terlalu kosong di dalam," kenangnya.

Monumen Golda Meir di Jalan Baseina, Kiev, Ukraina (Sumber: Commons Wikimedia)

Makanannya terkadang diberikan kepada adik perempuannya, Zipke. Sementara, kakak perempuan mereka, Sheyna sering pingsan karena kelaparan.

Akhirnya, pada 1906, keluarga Golda Meir bermigrasi ke AS. Ayah Golda Meir tinggal di Milwaukee selama tiga tahun untuk menabung dan memersiapkan hidup selanjutnya.

Ayah Golda Meir berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai tukang kayu. Sementara ibunya membuka toko kelontong kecil.

Mulai usia delapan tahun, Golda Meir harus menjaga toko setiap pagi saat ibunya berada di pasar untuk membeli persediaan. Golda Meir selalu datang terlambat ke sekolah setiap hari, menangis sepanjang perjalanan dari rumah.

Sikap ingin damainya ini juga diperkuat ketika ia bertemu dengan Paus Paulus. Golda Meir menekankan keinginan Israel untuk perdamaian dan menjelaskan posisi Israel mengenai kemungkinan mencapai solusi damai dari konflik Timur Tengah melalui negosiasi antara pihak-pihak yang terlibat.

Paus Paulus saat itu mengungkap harapan bahwa perdamaian yang adil memungkinkan semua orang di Timur Tengah untuk hidup bersama. Vatikan lalu menyimpulkan pernyataan tersebut dan "menyatakan kembali niat Takhta Suci untuk melakukan segala daya untuk mencapai tujuan ini."

*Baca informasi lain soal KONFLIK ISRAEL-PALESTINA atau baca tulisan menarik lain dari Putri Ainur Islam.

SEJARAH HARI INI Lainnya