Masuk dan Tumbuhnya Budaya <i>Skateboard</i> di Indonesia
Ilustrasi foto (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Pada 1996, Craig Huddleston membuka sebuah toko. Toko itu ia namai City Surf. Lewat City Surf, Huddleston menularkan energi berseluncur dengan papan (skateboarding). Tak hanya sebagai olahraga tapi juga gaya hidup. Di sanalah awal mula meluasnya skateboarding sebagai gaya hidup. Ya, meski skateboard telah masuk jauh sebelum City Surf milik Huddleston berdiri.

Dilansir dari jurnal, Jogja Skatepark karya Boby Angthino skateboard masuk Indonesia sekitar tahun 1980-an. Beberapa orang mulai menekuni skateboarding, terutama sebagai olahraga. Waktu ke waktu, peminat skateboard makin luas. Budaya itu tumbuh berkat paparan informasi yang termuat lewat dokumentasi video dan majalah-majalah impor. Dan kala itu informasi soal skateboard hanya milik segelintir.

Majalah dan video skateboard bukan hal generik. Tak mudah didapat. Pada masa itu anak-anak muda mendapatkan dokumentasi video dan majalah skateboard dari rekan-rekan yang bepergian ke luar negeri. Sebagian orang lebih beruntung karena mampu membeli skateboard yang juga didapat lewat 'jastip'. Bukan apa-apa. Saat itu skateboard adalah barang yang tergolong sulit didapat.

Ilustrasi foto (Irfan Meidianto/VOI)

Pertengahan tahun 1990-an jadi momentum pesatnya sebaran budaya skateboarding. Kala itu sudah banyak toko skateboard atau skateshop, meski tanpa lisensi yang sah (legal license). City Surf berdiri di tengah pertumbuhan budaya itu. Dua tahun sejak didirikan, tepatnya 1998, City Surf menyelenggarakan 14 kejuaraan skateboard berskala lokal.

Kejuaraan itu diikuti jumlah peserta yang minim. Ada dua kelas yang dikompetisikan saat itu: street course dan mini ramp. Bagaimanapun pesatnya pertumbuhan, budaya skateboarding di masa itu masih tergolong minoritas. Meski minim peserta, kejuaraan yang dibuat City Surf saat itu berhasil memerluas paparan olahraga skateboard. Antusiasme pun tumbuh.

Akselerasi budaya skateboard

Ilustrasi foto (Irfan Meidianto/VOI)

Dengan antusiasme yang tumbuh, City Surf kembali menggelar kejuaraan pada 1999 dan 2000. Kejuaraan yang digelar di Pulo Mas, Jakarta Timur itu dinamai City Surf Open Skateboard Competition. Di 2001, City Surf mengembangkan kegiatan itu ke luar Jakarta. Seri pertama digelar di Balai Kota Bandung. Seri kedua diselenggarakan di Balai Kota Surabaya.

Hasilnya, sama. Antusiasme tinggi, namun minim peserta. Ada alasan mendasar. Saat itu orang-orang belum memahami bagaimana cara bermain skateboard. Mereka juga tak tahu di mana harus membeli perlengkapan skateboard. Hal itu yang justru dibakar jadi optimisme oleh City Surf. Pada 2002, mereka menggelar tiga seri dalam setahun.

Ilustrasi foto (Irfan Meidianto/VOI)

City Surf berkomitmen memasyarakatkan skateboard. Tak hanya sebagai olahraga tapi juga budaya. Hal ini penting bagi bisnis. Seri pertama tahun itu diselenggarakan di skatepark permanen pertama di Ibu Kota: Kemang Skatepark, 17 Maret 2002. City Surf Open 1st Series Skateboard Competition ini dipertandingkan dua kategori.

Kategori pertama adalah Street Course. Kategori ini dibagi menjadi empat kelas, yaitu Junior --di bawah 12 tahun, Pemula, Menengah dan Amatir. Kategori yang kedua adalah Bowl. Kategori ini hanya dipertandingkan satu kelas, yaitu Bowl Open. Bowl Open adalah skate course yang tergolong baru di Indonesia. Kemang Skatepark lah yang pertama kali membuatnya.

Bowl Open berbentuk mangkuk yang bulatannya bisa berbentuk benar-benar bulat, lonjong atau kreasi lainnya. Di luar Amerika Serikat (AS), course ini lebih dikenal dengan nama "Pool" karena para skater di sana sering bermain di kolam renang yang sudah tidak digunakan lagi. Waktu ke waktu, budaya skateboarding makin meluas.

MEMORI Lainnya