Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini 48 tahun yang lalu, 5 Januari 1976, pemimpin Khmer Merah, Saloth Sar atau yang lebih dikenal Pol Pot mengubah nama Kamboja jadi pemerintahan komunis, Republik Rakyat Kamboja. Perubahan itu dilanggengkan karena Pol Pot dan Khmer Merah mampu memenangkan perang saudara.

Sebelumnya, Pol Pot kerap mengagumi paham komunis. Kekaguman itu mulai didalaminya sedari ia menutut ilmu ke luar negeri. Pemahaman itulah yang membuatnya bergerak merebut Kamboja dari kekuasaan Lol Nol yang dianggapnya boneka Amerika Serikat (AS).

Paham komunis pernah jadi primadona di Asia Tenggara. Pejuang kemerdekaan di seantero Asia memanfaatkan paham itu jadi alat perlawanan, pembebasan, hingga kemerdekaan. Narasi itu membawakan hasil.

Banyak negara Asia yang memetik hasil dengan mengusir penjajahan dan pengaruh asing di wilayahnya. Kondisi itu membuat banyak orang kepincut dengan paham komunis. Pol Pot, salah satunya. Pol Pot menyaksikan sendiri bagaimana penjajah Prancis menggarong Kamboja.

Masyarakat menyambut kedatangan pasukan Khmer Merah di Ibu Kota Kamboja, Phnom Penh pada 17 April 1975. (The Cambodia Daily/Roland Neveu)

Ingatan itu membuatnya memanfaatkan benar kesempatannya berkuliah di Prancis dengan baik. Pol Pot lalu memilih aktif mempelajari komunis di Prancis. Ia pun sampai jadi kader dari French Communist Party (PCF). Segala macam pengetahuan dan pelajaran dari PCF dimatangkannya.

Pucuk dicinta ulam tiba. Ia pun pulang ke Kamboja yang sudah merdeka dari Prancis. Namun, kemerdekaan itu tak membuatnya lantas puas. Kepemimpinan monarki, Norodom Sihanouk dianggap tak layak eksis. Narasi itu juga dilantunkan lawan Pol Pot, Lol Nol seorang militer yang didukung Amerika.

Bekal pelajaran dari PCF digunakannya dalam membesarkan Khmer Viet Minh yang notabene organisasi berideologi komunis. Kemudian, ia mengalihkan perhatiannya dan membesarkan Communist Party of Kampuchea (CPK) atau yang kemudian sering disebut Khmer Merah.

Nyatanya, Pol Pot dan Khmer Merah kurang cepat. Lol Nol justru lebih dulu melakukan kudeta terhadap Sihanouk pada 1970. Perang saudara antara pemerintah Lol Nol dan Khmer Merah pecah. Khmer Merah bak mengikuti jejak China di bawah Mao Zedong yang berhasil menang lawan pemerintah. Semenjak itu Pol Pot didaulat sebagai pemimpin Kamboja pada 1975.

Lon Nol, mantan Presiden Republik Khmer pada 1970 yang ditumbangkan Pol Pot pada 1975 dan mengubah nama negara menjadi Republik Rakyat Kamboja. (Khmer Times/AKP) 

“Wajahnya yang tersenyum dan sikapnya yang tenang menyangkal kebrutalannya. Ia dan kelompok revolusioner terdekatnya mengadopsi Komunisme berdasarkan Maoisme dan Stalinisme, kemudian menerapkannya secara ekstrem. Pol Pot dan gerakan Khmer Merah mengoyak Kamboja dalam upaya untuk ‘memurnikan’ masyarakat agraris di negara tersebut dan mengubah masyarakat menjadi pekerja revolusioner -- petani.”

“Dimulai pada hari di tahun 1975 ketika pasukan gerilyanya berbaris diam-diam ke ibu kota, Phnom Penh, Pol Pot mengosongkan kota-kota, memisahkan keluarga-keluarga, menghapuskan agama, dan menutup sekolah-sekolah. Semua orang disuruh bekerja, termasuk anak-anak. Khmer Merah melarang uang dan menutup semua pasar. Para dokter terbunuh, begitu pula sebagian besar orang dengan keterampilan dan pendidikan yang mengancam rezim,” terang Seth Mydan dalam tulisannya di laman The New York Times berjudul Death of Pol Pot (1998).

Andil Pol Pot dan Khmer Merah mulanya dianggap juru selamat. Rakyat Kamboja tak mau dipimpin oleh militer yang dianggap jadi boneka AS. Namun, belakangan belang Pol Pot keluar. Pemerintahannya tak jauh berbeda dengan Lol Nol.

Alih-alih hajat hidup rakyat Kamboja terangkat, rezim Pol Pot justru dianggap membawa Kamboja ke era kemunduran. Rakyat dipaksa bekerja, pun segala macam lawan politik sikat habis. Puncaknya, Pol Pot lalu mendeklarasikan pemerintahan komunisnya dengan mengganti nama Kamboja jadi Republik Rakyat Kamboja atau dalam bahasa setempat, Sathearanakrath Pracheameanit Kampuchea pada 5 Januari 1976.

“Pada tanggal 5 Januari 1976, pemimpin Khmer Merah, Pol Pot mengumumkan konstitusi baru yang mengubah nama Kamboja menjadi Republik Rakyat Kamboja dan melegalkan pemerintahan Komunisnya. Selama tiga tahun berikutnya, rezim brutalnya bertanggung jawab atas kematian sekitar satu hingga dua juta warga Kamboja,” terlampir dalam laman History.