Pulihnya Hubungan Diplomatik Turki - Israel
Presiden Israel, Isaac Herzog (kiri) berjumpa Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan di Turki pada tahun 2022. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Hubungan Turki (kini: Turkiye) dengan Israel penuh dinamika. Turki pernah menjadi negara mayoritas muslim pertama yang mendukung kemerdekaan Israel. Sekalipun tindakan itu mendapatkan kecaman dari banyak pihak.

Hubungan itu sempat berjalan lancar dan menguntungkan. Masalah muncul. Turki merasa Israel berlebihan terhadap pendudukan wilayah Palestina. Kecaman pun menghujani Israel. Namun, Turki-Israel justru pilih pulihkan (normalisasi) hubungan.

Deklarasi pendirian negara Israel menggemparkan dunia. Kehadiran resolusi PBB dalam mengakhiri pendudukan Inggris ada dibaliknya. Wilayah Palestina dibagi dua pada 1947. pertama, untuk Arab. Kedua, untuk Yahudi.

Narasi itu dianggap sebagai jalan Israel menjelma sebagai negara 1948. Keputusan itu ditentang banyak pihak. Israel dianggap telah mengambil wilayah yang seharusnya dimiliki oleh bangsa Palestina. Israel dianggap menjelma bak penjajah.

Banyak negara ambil sikap, utamanya negara Timur Tengah dan negara mayoritas Islam. Kesepakatan takkan mengakui Israel sebagai negara diambil. Keputusan itu dianggap benar. Sebab, banyak orang yang terluka melihat bangsa Palestina harus angkat kaki dari wilayahnya sendiri gara-gara Israel.

Presiden Israel, Isaac Herzog berjabat tangan dengan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. (Wikimedia Commons)

Keputusan negara mayoritas Islam jelas. Mereka menolak kehadiran Israel. Namun, tak semua negara mayoritas Islam melanggengkan kebencian terhadap Israel. Turki, misalnya. Negara dengan berpenduduk mayoritas Muslim itu memutuskan untuk mendukung kemerdekaan Israel pada 1949.

Dukungan itu diberikan karena Turki ingin berkiblat kepada AS. Sedang untuk mencapainya, Turki harus menaklukkan hati anak emas AS, Israel. Hubungan diplomatik yang dilanggengkan sempat berjalan lancar dalam waktu lama. Namun, bulan madu itu akhirnya selesai.

Hubungan kedua negara kerap mengalami fase pasang surut. Apalagi, pada era 2000-an. Israel dianggap terlalu berlebihan dalam mengusir orang-orang Palestina dari tanahnya. Pun kondisi itu diperparah dengan serangan membabi buta kepada kapal Turki, Mavi Marmara pada 2010. Padahal, kapal itu membawa bantuan kemanusian ke Gaza. Hubungan Turki dan Israel mengendur.

“Keanehan tersebut muncul disebabkan karakter hubungan historis dan strategis yang kuat antara kedua belah pihak sebagaimana dikenal banyak pengamat sejak Turki Attaturk (pemimpin Turki) mengakui berdirinya negara Israel tahun 1949 atas tekanan kekuatan internasional terutama Amerika Serikat.”

“Hubungan tersebut dikatakan aneh karena dihiasi dengan berbagai perbedaan kepentingan dan politik luar negeri seiring dengan berbagai perubahan geopolitik dan geostrategi dunia yang sering terjadi. Kondisi itu mempengaruhi karakter hubungan berbagai negara dan bangsa-bangsa. Ditambah dengan hubungan khusus mengenai bangunan ideologi bangsa Turki yang Muslim dan konfliknya dengan sekularisme sebagai dasar kebijakan politik negara,” ungkap Syarif Taghian dalam buku Erdogan (2021).

Normalisasi Hubungan

Hubungan Turki-Israel yang mengendur terus berlanjut. Bahkan, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan kerap memihak kepada Palestina yang terjajah. Turki pun kerap pasang badan dengan segala macam tindakan Israel yang merugikan Palestina. Sekalipun banyak hubungan kerja sama Turki-Israel terus berjalan.

Turki juga bertindak bak juru selamat Palestina kala banyak negara Timur Tengah mulai mencoba menormalisasi hubungan dengan Israel. Negara-negara itu dianggap bak berkhianat. Alias, negara itu tidak melihat bagaimana perjuangan negeri mayoritas Islam membela Palestina.

Sikap keras Turki terhadap Israel pun berlanjut. Ambil contoh pada 2018, misalnya. Erdogan menyebut Israel dengan sebutan rezim apartheid. Turki sampai memulangkan duta besarnya dari Tel Aviv karena Israel menyerang Palestina. Pun duta besar Israel di Ankara diusir.

Semuanya berubah kala memasuki tahun 2022. Turki bak berubah banyak. Turki tak lagi diam-diam menjalin kerja sama, mereka mulai terang-terangan ingin menormalisasi hubungan dengan Israel. Sikap itu dianggap suatu keanehan oleh banyak pihak.

Arkadas Association, sebuah organisasi swasta di kota Yehud-Monosson, Israel yang dibentuk tahun 1997 dan punya visi mempererat persahabatan Israel-Turki. (Wikimedia Commons)

Narasi itu berbeda dari sikap Turki yang kerap digambarkan selalu protes terhadap serangan Israel ke Palistina. Namun, Erdogan berkelit. Normalisasi dukungan kepada Israel justru sebagai bentuk menyelamatkan Palestina. Karenanya, hubungan diplomatik itu dipulihkan pada Agustus 2022.

“Langkah-langkah yang diambil dalam hubungan kami dengan Israel sama sekali tidak akan mengurangi dukungan kami untuk perjuangan Palestina. Turki, yang telah mengakui negara Palestina sejak diproklamasikan, membela visi solusi dua negara di setiap platform.”

“Palestina selalu memiliki tempat khusus di hati rakyat Turki. Saya sekali lagi menggarisbawahi bahwa pembentukan negara Palestina merdeka dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya berdasarkan perbatasan tahun 1967 dan parameter PBB sangat penting untuk perdamaian dan stabilitas seluruh kawasan kita,” terang Erdogan sebagaimana dikutip Antara, 24 Agustus 2022.