Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 108 tahun yang lalu, 23 September 1915, pemerintah kolonial Hindia Belanda mengakhiri kuasa Haji Muhammad Usman Syah sebagai Sultan Ternate. Poncopotan itu dilanggengkan karena pria yang akrab disapa Haji Usman Syah menggelorakan pemberontakan melawan Belanda.

Sebelumnya, laku hidup Belanda memonopoli perdagangan rempah di Ternate dianggap merugikan. Rakyat Ternate sering kali ketiban sial. Gerak rakyat terbatas. Mereka diperas bak sapi perah. Jeratan pajak yang ditarik dari rakyat juga bukan main besarnya.

Hasrat pemerintah kolonial Hindia Belanda menguasai wilayah Nusantara tak pernah runtuh. Mereka tak melulu memfokuskan kekuasaannya di Pulau Jawa saja. Sebab, kekuasaan Belanda kian berkembang hingga ke Sulawesi. Ternate, misalnya.

Wilayah yang sudah dijajah sejak era maskapai dagang Belanda, VOC jadi tambang duit. Penjajah mampu mengontrol segalanya. Dari urusan pemilihan Sultan Ternate hingga pajak. Belanda dengan lihainya memeras rakyat Ternate bak sapi perah.

Ulah itu kemudian mendapatkan tentangan di mana-mana. Rakyat Ternate menganggap Belanda sudah keterlaluan. Pajak yang kian membengkak kemudian memunculkan perlawanan. Segenap rakyat Ternate dan wilayah sekitarnya mencoba memberontak terhadap Belanda pada 1914.

Sultan Ternate, Sultan Haji Muhammad Usman Syah bersama para pembesar kesultanan di depan Kedaton pada 1915. (Twitter/@aiyalee)

Pemberontakan itu dikenal luas sebagai Perang Jailolo. Perang itu dikomandoi oleh seorang pejuang bernama Banau. Kesungguhan Banau melawan Belanda mendapatkan apresiasi dari sana-sini. Apalagi, ia berhasil membunuh Kontrolir Belanda, Agerbeek.

Narasi itu membuatnya didukung banyak pihak. Sultan Ternate, Haji Muhammad Usman Syah ikut membantu Banau. Sang Sultan Ternate sampai menggerakan wilayah kekuasaannya untuk serentak melawan Belanda.

Serangan demi serangan yang dilakukan membuat Belanda geram. Pun Belanda tak mau kalah. Penjajah turut menurunkan pasukannya untuk melawan di Perang Jailolo. Belanda takkan rela daerah kekuasaannya lepas begitu saja.

“Meski telah kehilangan kekuasaan mereka, beberapa Sultan Ternate berikutnya tetap berjuang mengeluarkan Ternate dari cengkeraman Belanda. Dengan kemampuan yang terbatas karena selalu diawasi mereka hanya mampu menyokong perjuangan rakyatnya secara diam-diam. Yang terakhir tahun 1914 Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1896-1927) menggerakkan perlawanan rakyat di wilayah-wilayah kekuasaannya.”

“Bermula di wilayah Banggai di bawah pimpinan Hairuddin Tomagola, namun gagal. Di Jailolo rakyat Tudowongi, Tuwada, dan Kao di bawah pimpinan Kapita Banau berhasil menimbulkan kerugian di pihak Belanda, banyak prajurit Belanda yang tewas termasuk Kontrolir Belanda Agerbeek dan markas mereka diobrak-abrik,” tulis J. Suyuthi Pulungan dalam buku Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (2019).

Potret Istana Kerajaan (Kedaton) Ternate. (Wikimedia Commons)

Perjuangan rakyat Ternate di Perang Jailolo bukan main besarnya. Namun, bukan berarti serangan yang dihasilkan dapat memukul mundur Belanda. Keungulan persenjataan dan armada membuat Belanda mampu membalikkan keadaan. Belanda jadi berada di atas angin.

Pemimpin pemberontakan banyak ditangkap. Sultan Haji Usman Syah, apalagi. Belanda kemudian memilih menahannya. Siasat itu supaya pengikut Sultan Haji Usman Syah patang arang.

Lebih lagi, jabatan Haji Usman Syah sebagai penguasa Ternate dicopot Belanda pada 23 September 1915. Pun kemudian Haji Usman Syah menjalani hari-hari akhirnya di tanah pengasingan, Bandung.

“Tentang nasib Sultan Haji Usman Syah, setelah tiga bulan ditahan di Bacan, dengan kapal Zwaluw dideportasikan ke Batavia (Jakarta). Berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal tanggal 23 September 1915 nomor 47, Sultan dicopot dari jabatannya.”

“Ia kemudian menjalani masa pembuangannya di Bandung selama 19 tahun tanpa proses pengadilan. Ia baru kembali ke Ternate pada 1933, atas permintaan Sultan Jabir Syah. Untuk menjalankan pemerintahan di Jailolo, Residen Ternate mengangkat seorang perwira militer berpangkat kapten untuk memangku jabatan Kontrolir dibantu seorang sipil sebagai gezaghebber (kepala pemerintahan setingkat distrik),” terang M. Adnan Amal dalam buku Kepulauan Rempah-Rempah (2016).