Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 11 tahun yang lalu, 25 September 2012, Fauzi Bowo (Foke) mulai mempersiapkan diri untuk menanggalkan jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ia mohon pamit kepada segenap PNS yang berada di Kantor Wali Kota Jakarta Timur.

Sebelumnya, Foke percaya diri dapat memenangkan kontestasi Pilgub DKI Jakarta 2012. Partai pendukung Foke bejibun. Pun ia yakin orang Betawi akan memilihnya. Namun, realita berkata lain. Mayoritas penduduk Jakarta justru memiliki Jokowi-Ahok.

Foke bukan orang baru dalam peta politik Ibu Kota. Ia pernah mendampingi Sutiyoso sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta di era 2002-2007. Jabatan itu membawa berkah. Popularitasnya meningkat. Seisi Jakarta kemudian mengenalnya sebagai pemimpin kesohor.

Narasi itu dibuktikan dengan kemenangannya dalam Pilgub 2007. Semenjak itu Foke dan Prijanto menjelma sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta baru. Ia menjalankan jabatannya dengan baik. Sekalipun tak mulus-mulus amat.

Urusan banjir dan macet jadi masalah yang pernah terselesaikan. Namun, bukan berarti popularitasnya terganggu. Foke bahkan percaya diri dengan ikut dalam Pilgub 2012. Banyak partai politik mendukungnya.

Mantan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo atau yang akrab disapa Foke saat berkunjung ke Balaikota DKI Jakarta pada 7 September 2023. (VOI/Diah Ayu Wardani)

Kala itu ia berpasangan dengan Nachrowi Ramli (Nara). Ia pun berani menantang sosok Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang hanya diusung dua partai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

Hasilnya mengejutkan. Foke harus mengakui bahwa warga Jakarta nyatanya menghendaki pemimpin baru. Jokowi-Ahok menang dalam Pilgub putaran pertama. Kemudian, putaran kedua.

Keduanya unggul 53,82 persen suara dari Foke-Nara yang hanya meraih 46,17 persen suara pada putaran kedua, 20 September 2012. Hal itu membuktikan bahwa strategi kampanye Foke tak mampu mengangkat suara untuk menang di DKI Jakarta.

“Kegagalan kampanye menggunakan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di Jakarta itu merupakan berita positif. Propaganda memilih kandidat yang seiman, yang digencarkan pendukung Foke dan Nara pada jeda antara putaran pertama dan putaran kedua pemilihan, berusaha menghancurkan prinsip meritokrasi. Kampanye itu juga menggerus toleransi beragama. Persoalan yang akan menjadi pekerjaan besar dan harus diselesaikan gubernur baru,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Gubernur Baru Jakarta Lama (2012).

Foke pun secara ksatria menerima kekalahannya. Ia terus melanjutkan jabatannya hingga acara serah terima jabatan gubernur lama ke gubernur baru dilangsungkan pada 15 Oktober. Sisa masa jabatan itu digunakan sebaik-baiknya oleh Foke.

Pun Foke turut mempersiapkan diri menanggalkan jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Keinginan itu terlihat kala Foke mengunjungi Kantor Wali Kota Jakarta pada 25 September 2012. Kedatangan Foke dilangggengkan khusus untuk berpamitan kepada PNS setempat.

"Hari ini enggak ada arahan, hanya mau pamit. Jika ada yang kena omel, saya minta maaf. Kinerja Pemda harus lebih baik di waktu yang akan datang. Saya pro demokrasi. Komitmen saya pada demokrasi sudah saya tunjukkan. Di jajaran pemda saya harap juga mengikutinya. Kecuali kita enggak setuju demokrasi, boleh kita protes,” ujar Foke sebagaimana dikutip Kompas.com, 25 September 2012.