JAKARTA – Sejarah hari ini, 111 tahun yang lalu, 10 Juli 1912, surat kabar pergerakan kaum wanita, Soenting Melajoe terbit. Ada nama Roehana Koeddoes sebagai aktor intelektualnya. Kehadiran surat kabar itu menjadi penegas bahwa kaum wanita tak kalah dengan kaum pria. Apalagi urusan perjuangan.
Sebelumnya, pers memiliki peranan besar dalam membentuk semangat juang kaum bumiputra. Pers jadi alat tokoh bangsa untuk menyebarkan informasi, sekaligus menentang kekuasaan penjajah Belanda.
Kekuatan pers tak bisa dianggap remeh dalam sejarah bangsa Indonesia. Medium penyiaran berita –dari surat kabar hingga majalah—mampu menjelma jadi alat perjuangan. Tokoh bangsa kerap memanfaatkannya.
Sebagian mereka andil dengan menyumbang buah pemikirannya dalam tulisan di media massa. Sebagiannya lagi bahkan membangun media massa dan aktif menulis. Kekuatan pers pun menjelma jadi besar di era kebangkitan nasional. Ambil contoh pergerakan Tirto Adhi Soerjo yang mengudarakan surat kabar berbahasa Melayu, Medan Prijaji.
Ia mampu memanfaatkan andil pers untuk menyebarkan kritik kepada penjajah sedari 1907. Kelakuan pejabat Belanda yang rasis nan korup kerap jadi bulan-bulanannya. Sekalipun kemudian Tirto Adhi Soerjo mendapatkan hukuman pengasingan karena terlalu kritis.
Narasi yang sama juga dihadirkan oleh Tiga Serangkai – Soewardi Soerjaningrat (kemudian dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara), Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Ernest Douwes Dekker. Ketiga tokoh nasional itu aktif menggarap surat kabar De Expres. Sebuah koran yang kerap membuat Belanda naik pitam.
Tulisan-tulisan yang diterbitkan memiliki pengaruh yang besar. Alih-alih hanya membuat Belanda kepanasan, tulisan itu juga mampu memantik api perjuangan melawan penjajahan Belanda. Narasi kritis ala Tiga Serangkai pun mendapatkan tentangan. Namun, perjuangan itu tak pernah padam.
“Media massa di Indonesia mempunyai latar belakang sejarah yang erat hubungannya dengan pergerakan nasional untuk memperjuangkan kemerdekaan nasional, dan dengan itu perjuangan untuk memperbaiki kehidupan rakyat. Radio Republik Indonesia (RRI) berfungsi sebagai sarana komunikasi yang efektif untuk mengorbankan semangat rakyat dalam perang kemerdekaan.”
“Sedangkan pers, seperti di berbagai negara Asia lainnya, segera menjadi salah satu mekanisme para pemimpin pergerakan nasional untuk menyebarkan idenya. Tokoh-tokoh pergerakkan terkenal seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, H. Agus Salim, dan Sam Ratulangi adalah penulis teratur dalam surat kabar atau (beberapa) malahan mengasuh sendiri suatu penerbitan pada zaman pergerakan nasional,” terang Jakob Oetama dalam buku Pers Indonesia (2001).
Mereka yang aktif dalam pers era kebangkitan nasional nyatanya bukan monopoli kaum pria saja. Kaum wanita pun ikut menggoreskan namanya dalam peta pers pergerakan nasional. Semua itu bermuara kepada kehadiran surat kabar yang diinsiasi oleh tokoh emansipasi wanita bumiputra asal Minangkabau, Roehana Koeddoes.
Surat kabar Soenting Melajoe, namanya. Pengelolaannya didominasi oleh kaum wanita. Dari pimpinan redaksi hingga penulis. Surat kabar itu terbit pertama kali pada 10 Juli 1912. Isinya banyak berkutat kepada aspirasi kaum wanita bumiputra. mereka tak mau kalah dengan kaum laki-laki. Apalagi urusan perjuangan untuk merdeka.
BACA JUGA:
Cangkupan awalnya Soenting Melajoe pun adalah tanah Minangkabau, kemudian menyebar ke seisi Pulau Jawa. Narasi itu yang kemudian membuat nama Roehana Koeddoes mampu bersanding dengan nama R.A. Kartini sebagai pejuang emansipasi kaum wanita bumiputra.
“Di Padang, Sumatera Barat, dalam usaha mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia yang dipimpin Rohana Kudus, pada 10 Juli 1912 diterbitkan pula surat kabar Soenting Melajoe. Surat kabar ini merupakan penyebar gagasan pendirian Amai Setia.”
“Selanjutnya surat kabar ini merupakan pusat kegiatan para gadis maupun wanita yang telah bersuami. Surat kabar itu jadi medium dalam menyampaikan anjuran kebangkitan wanita dan menyatakan pikiran-pikiran penulisnya dalam bentuk prosa dan puisi,” ujar G.A. Ohorella dan kawan-kawan dalam buku Peranan Wanita Indonesia Dalam Masa Pengerakan Nasional (1992).