Bagikan:

JAKARTA - Fase awal kehidupan penjajah Belanda di tanah koloni tidaklah mudah. Mereka yang datang ke Batavia didominasi oleh kaum pria tanpa ditemani istri. Masalah pun muncul. Kebutuhan biologis orang Belanda tak terakomodasi dengan baik.

Prostitusi pun menjamur karenanya. ‘Jajan’ sembarang menjelma sebagai ritual sehari-hari. Semuanya berjalan baik-baik saja sampai penyakit kelamin menghampiri. Orang Belanda takut bukan main. Sebagai pencegahan, siasat baru dilancarkan: pelihara gundik.

Keinginan maskapai dagang Belanda VOC menciptakan negeri koloni yang beradab tak tertahankan. Namun, keinginan itu gagal total. Empunya saham Heeren Zeventien (Dewan Tujuh Belas) tak menghendaki. Para pemegang saham yang berdomisili di Belanda itu enggan menyanggupi pengiriman wanita dari keluarga baik-baik. Apalagi, tak banyak wanita yang ingin hidup --dalam bahasa orang Belanda-- di negeri antah-berantah.

Perjalanan yang jauh dan kematian adalah risiko besar yang siap dihadapi. VOC tak bisa apa-apa. Sekalipun mereka telah mengancam Heeren Zeventien terkait akan rusaknya moral di tanah koloni. Jawaban yang dikehendaki tak kunjung datang. Sebab, Heeren Zeventien mengganggap sepi saja.

Ilustrasi pelacuran yang diperkirakan mulai tumbuh di Batavia pada tahun 1625. (Wikimedia Commons)

Pandangan VOC nyatanya benar. Ketiadaan wanita, ditambah dengan larangan mengawini wanita lokal membuat prostitusi di Batavia tumbuh subur. Kehadiran prostitusi mulai terdeteksi tujuh tahun setelah Batavia berdiri, atau tepatnya pada 1625.

Setelahnya, rumah-rumah bordil (pelacuran) mulai tumbuh subur di seluruh pelosok Batavia. Pemilik rumah bordil didominasi oleh orang China dan kaum Mardjiker (budak yang dibebaskan).

Saban hari rumah bordil selalu ramai dikunjungi mereka yang haus kasih sayang. Bisnis berahi itu memberikan keuntungan di kedua sisi. Pemilik bisnis mendapatkan keuntungan bejibun. Sedang pelanggan dapat menyalurkan hasrat seksualnya.

“Akan tetapi, yang lebih sering terjadi adalah bahwa kegiatan melacurkan diri terkait erat dengan pergundikan dan penggadaian diri. Melalui kombinasi kedua hal itu kita berkenalan dengan dunia pemerasan yang dilakukan para mak comblang, para ‘mamie’ dan pemilik rumah pelacuran. Setalah 1633, kepala orang-orang Mardjiker Valdero mengirimkan beberapa budak perempuannya ke jalan untuk melacurkan diri.”

“Perempuan-perempuan itu harus membawa pulang paling sedikit setengah real setiap hari. Ketika sedang melakukan kunjungan gerejawi pada 1644, Pendeta Rogerius mendapati bahwa 27 warganya memaksa budak-budak perempuan mereka untuk melacurkan diri, tetapi mereka dikenakan busana yang kendati murahan membuat mereka nampak sebagai perempuan-perempuan terhormat yang sedang berjalan-jalan mencari angin,” ungkap Sejarawan Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).

Penyakit Kelamin

Kehadiran bejibun rumah bordil menjadi masalah serius. Penyakit kelamin mulai menjangkiti orang Belanda. Penyakit raja singa (sifilis) dan gonore, terutama. Penyebaran penyakit itu cukup cepat. Apalagi rumah bordil tak pernah sepi.

Jumlah penderita penyakit kelamin makin hari makin meningkat. Kalangan militer alias serdadu VOC jadi korban terbanyak. Penyakit itu langgeng karena Kompeni belum terlalu peduli dengan penanggulangan penyakit kelamin. Mereka menganggap prostitusi adalah tindakan penuh dosa.

Banyak di antara orang Belanda pun tersadar. Rumah bordil adalah biang masalah dari penyakit kelamin. Mereka pun mencari solusi dari masalah. Supaya penyaluran berahi jadi aman. Siasat pun dimainkan. Pelihara gundik jadi jawaban.

Gundik yang dipelihara orang Belanda biasanya memiliki peran ganda. Gundik yang biasanya disebut ‘nyai’ dapat merangkap bekerja di segala bidang di rumah tuannya. Dari urusan dapur, sumur, hingga kasur. Akan tetapi, ikatan hubungan dilakukan di luar perkawinan. Tuan Belanda tak dapat menikahi gundiknya karena alasan status sosial hingga ras.

Pergundikan menjadi solusi supaya tak terkena penyakit kelamin. Bahkan, opsi pergundikan tetap gunakan sampai VOC digantikan oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Pergundikan pun menjadi praktek sehari-hari di Hindia-Belanda (kini: Indonesia).

Foto seorang Belanda di Bandung bernama Van der Velden bersama nyai atau gundiknya, dan putri mereka yang bernama Johanna (Wa Fong/Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde)

“Selama kurun waktu 1888-1911, persentase lelaki anggota tentara yang memelihara seorang 'nyai' tetap berkisar sekitar 22 persen, sekalipun jumlah perkawinan meningkat. Dalam ketentaraan, seorang 'nyai' dianggap sebagai rahmat, karena menjauhkan para serdadu dari pelacur dan mengurangi risiko mereka tertular penyakit kelamin.”

“Sejajar dengan situasi para tuan di perkebunan, staf markas besar mendukung cara kehidupan dengan 'nyai' dan menentang perkawinan resmi, karena mereka anggap bahwa akibat adanya istri keteraturan dan disiplin akan menghilang untuk selamanya dari tangsi. Apalagi, serdadu bujangan memerlukan biaya yang lebih sedikit untuk hidup dan tidak memerlukan berbagai tunjangan. Apa pun pertimbangan pimpinan militer untuk mempertahankan sistem nyai, oposisi terhadap sistem ini tetap ada, terulama dari pihak gereja,” tutup Tineke Hellwig dalam buku Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda (2007).