Bagikan:

JAKARTA - Indonesia sempat dianggap “anak bawang” dalam peta bulu tangkis dunia. Pada gelaran Piala Thomas di Singapura 1958, misalnya. Regu putra Indonesia tak diunggulkan. Namun ketujuh pebulutangkis berjuluk Magnificent Seven membungkam semuanya. Piala emas yang jadi lambang supremasi dunia bulu tangkis pria beregu dimenangkan Indonesia. Segenap rakyat Indonesia kemudian menyambut kepulangan mereka bak pahlawan negara.

Tumbuh kembang olahraga bulu tangkis di dalam negeri melalui jalan panjang. Oleh lawan, mimpi besar atlet bulu tangkis Indonesia era 1960-an untuk sukses adalah bualan belaka. Apalagi posisi Indonesia yang selalu dibayangi prestasi pebulutangkis Malaya (Malaysia) yang banyak mewarnai jagat dunia bulu tangkis dunia.

Karenanya, tiada kesempatan buat pebulutangkis nasional mengharumkan nama Indonesia. Andai kata ada kemenangan, maka kemenangan itu hanya berskala nasional. Bukan dunia. Narasi anak bawang itu nyatanya begitu membekas bagi pebulu tangkis nasional. Keinginan untuk menunjukkan taring Indonesia di dunia bulu tangkis muncul dengan seketika.

Geleran Piala Thomas 1958 dipilih jadi mediumnya. Sayang seribu sayang, misi itu tak mudah. Ketiadaan dana melimpah untuk menunjang olahraga bulu tangkis laksana duri dalam daging. Solusi pun muncul. Mereka mencoba mencari dana.

Skuad Indonesia lalu dihuni oleh pebulutangkis terbaik milik Indonesia: Tan Joe Hok (Bandung), Eddy Joesoef (Jakarta), Lie Poo Djian (Purwokerto), Tan King Gwan (Salatiga), Njoo Kiem Bie (Surabaya), serta Olich Solichin (Tasikmalaya). Terakhir, untuk melengkapi skuadnya, muncul usulan memulangkan Ferry Sonneville yang tengah menuntut ilmu di negeri Belanda. Demi misi itu, penggalangan dana dilangsungkan.

“Pemain-pemain Indonesia menjadi disegani. Lahirlah sebuah negara baru yang kuat bulu tangkisnya, mendampingi negara-negara Amerika Serikat (yang kemudian malah tenggelam), Inggris, Denmark, Malaya, dan Thailand. Era bulu tangkis bagi Indonesia pun mulai terkuak.”

Ferry Sonneville (Sumber: Wikimedia Commons)

“Yang harus menjadi catatan adalah, di era itu, tidak ada dana yang berlimpah. Semuanya serba pas-pasan. Bahkan untuk mendatangkan Ferry dari Belanda, tiket dibeli dengan dana terkumpul melalui ‘Dompet Ferry Sonnevile’ yang dibuka oleh majalah Star Weekly. Semua hal yang berbau pendanaan, menjadi tanggung jawab semua pembina, semua siap berkorban demi pemberangkatan tim,” ungkap Brigita Isworo L. dan T.D. Asmadi dalam buku 1000 Tahun Nusantara (2000).

Ketujuh pebulutangkis itu kemudian kenal sebagai Magnificent Seven. Mereka menjelma jadi kekuatan paling menakutkan pada gelaran Piala Thomas. Bersamaan dengan itu, untuk menunjang akomodasi selama di Singapura, rakyat Indonesia yang berdiaspora di sana saling bahu-membahu membantu atlet Indonesia.

Selebihnya, kebutuhan lainnya mengandalkan modal pribadi pebulutangkis. Rangkaian keterbatasan itu akhirnya berbuah manis. Semangat “tujuh pendekar” yang menggebu-gebu mampu menggebuk juara bertahan Malaya di final dengan skor 6-3 pada 15 Juni 1958 Kemenangan itu menjadi kemenangan perdana Indonesia dalam galaran Piala Thomas.

“Hal ini dapat dibuktikan dengan pengalaman-pengalaman dari pahlawan bulu tangkis kita pada tahun 1958, dalam pertarungan merebut Piala Thomas. Regu kita yang datang ke Malaya pada tahun 1958 itu oleh dunia perbulutangkisan dianggap remeh. Bahkan, oleh pers di sana Joe Hok – Ferry cs diberi julukan anak bawang.”

“Pahlawan-pahlawan kita dengan tabah serta dengan jiwa yang besar menerima julukan-julukan yang sinis itu, dan senantiasa bertawaqal kepada Tuhan Yang Maha Esa maju ke medan pertarungan, yang akhirnya piala emas lambang supremasi dunia bulu tangkis pria beregu yang terkenal dengan nama Thomas Cup pada tahun 1958 itu berada di tangan Indonesia,” tertulis dalam tulisan di majalah Mimbar Penerangan berjudul Sekilas Tentang Thomas Cup ke-7 di Jakarta (1967).

Disambut bak pahlawan

Ferry Sonneville (Sumber: Wikimedia Commons)

Kemenangan Magnificent Seven membuat Indonesia menjadi perhatian dunia. Berita kemenangannya bergaung di seluruh pelosok negeri. Kemudian dunia. Pun kemenangan itu berkembang dengan cepat dari mulut ke mulut rakyat Indonesia.

Setiap rakyat Indonesia paling tidak selalu mengulas keberhasilan tujuh pendekar bulu tangkis dalam percakapan sehari-hari, sampai sebulan ke belakang. Terutama, karena bulu tangkis telah menjadi penyelamat wajah Indonesia di mata dunia.

Sebab, tiada lagi olahraga yang mampu mengangkat citra Indonesia selain bulu tangkis. Karenanya, kepulangan Magnificent Seven segera menjadi buah bibir.

“Di tengah hiruk pikuk pemberontakan PRRI/Permesta ada suatu kejadian yang sangat membanggakan seluruh rakyat Indonesia. Pada 15 Juni 1958, untuk pertama kalinya tim bulu tangkis Indonesia berhasil menggondol Thomas Cup yang menjadi lambang supremasi bulu tangkis internasional. Tim Indonesia berhasil mengalahkan Tim Malaya dengan angka 6-3.”

“Kedatangan Tim yang terdiri dari Ferry Sonneville (captain), Tan Joe Hok, Lie Po Djian, Tan King Gwan, Njoo Kiem Bie, Eddy Jusuf, Tio Tjoe Djen, Tan Thiam Beng, Rameli Rikin (nonplaying captain), dan R. Jusuf (team manage) di Bandara Kemayoran mendapatkan sambutan yang meriah dari penduduk Jakarta."

"Sepanjang jalan dari Bandara Kemayoran menuju Istana Merdeka, di mana seluruh tim akan diterima beraudiensi oleh Presiden Sukarno penuh oleh rakyat yang mengelu-elukan para pahlawan bulutangkis tersebut,” ungkap Benny G. Setiono dalam buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008).

Tan Joe Hok (Sumber: Wikimedia Commons)

Sejarawan Ravando Lie mengamani hal itu. Menurutnya, kejutan berupa kemenangan untuk tim bulu tangkis Indonesia disambut dengan gegap gempita oleh segenap rakyat Indonesia. Mereka disambut di sepanjang jalan bak pahlawan.

Lantaran itu kemenangan Magnificent Seven tampak seperti kemenangan seluruh rakyat Indonesia. Ucapan selamat pun berdatangan dari mana-mana. Dari presiden hingga jelata. Sekalipun tiada dijanjikan bonus --karena memang tidak terbersit sedikit pun dalam benak mereka—tujuh pendekar tetap bersuka cita.

Pemerintah pun tak tinggal diam. Supaya semangat Magnificent Seven menyebar dan menjadi inspirasi rakyat kebanyakan. Pemerintah juga tak lupa membuat panitia khusus untuk menggelar parade Piala Thomas di kota-kota besar: Jakarta, Bandung, hingga Surabaya.

Kepopuleran tujuh pendekar bulu tangkis itu semakin meningkat. Tiap media massa selalu mewartakan kemenangan mereka. Lagi pula, wajah-wajah dari Magnificent Seven banyak terpampang di berbagai papan reklame di sudut-sudut jalanan ibu kota. Sambutan itu sebesar-besarnya ditujukan kepada Magnificent Seven. Tujuh pebulutangkis yang dianggap sebagai pahlawan dalam dunia olahraga Tanah Air.

“Kemenangan tersebut jelas menorehkan sejarah baru dalam perjalanan sejarah Indonesia. Untuk itu, seorang pembaca Sin Po di Jakarta bernama R. Marto, kemudian mengusulkan agar para regu bulu tangkis Indonesia ini bisa diberikan sebuah tanda mata lewat uang yang dikumpulkan melalui koran tersebut. ‘Dompet Tanda Mata Pembatja Sin Po pada Regu Thomas Cup Indonesia’ ini dibuka selama beberapa minggu lamanya, di mana seluruh lapisan masyarakat dapat berkontribusi, mulai dari menteri sampai petani.”

“Akhirnya pada 7 Agustus 1958, bertempat di Restoran Mambo, Jalan Melawai No. 8 Kebayoran Baru, Jakarta, tanda mata tersebut diserahkan kepada seluruh anggota Piala Thomas Indonesia. Adapun tanda mata tersebut berupa tujuh arloji merk ‘Polarouter Universal Geneve’ yang merupakan jam tangan paling terkemuka di dunia kala itu,” terang Ravando Lie kepada VOI, 7 Desember.

*Baca Informasi lain soal BULU TANGKIS atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya