JAKARTA - Pebulutangkis Indonesia sempat tak diunggulkan dalam hajatan besar Thomas Cup 1958. Atlet Indonesia diremehkan. Bahkan, Indonesia dianggap tak lebih dari anak bawang. Nyatanya tim Indonesia mampu ngotot dan menang. Tren itu bak bahan bakar kala berlaga di Thomas Cup 1961.
Apalagi, Indonesia didaulat sebagai tuan rumah. Tim Thomas Indonesia berjumpa dengan Thailand di final. Keduanya tim sama-sama percaya diri untuk menang.Sekalipun Isu-isu seputar Thailand menggunakan ‘magic’ merebak. Namun, mental Tim Thomas Indonesia tak pudar.
Atlet bulu tangkis Indonesia pernah dianggap remeh dalam hajatan Thomas Cup 1958 yang berlangsung di Singapura. Narasi itu mengemuka karena tim Indonesia belum sekalipun dapat meraih piala emas lambang supremasi dunia bulu tangkis pria beregu.
Semuanya karena bayang-bayang juara bertahan Thomas Cup, Malaysia. Tim Negeri Jiran dianggap sebagai yang terkuat. Alih-alih terkuat dalam hal atlet bulu tangkis saja, Malaysia juga kuat dalam hal pendanaan.
Beda hal dengan Tim Thomas Indonesia. Urusan prestasi personal atlet Indonesia bisa diadu. Masalahnya muncul justru dalam hal pendanaan. Pemerintah dianggap tak mampu mendanai Tim Thomas Indonesia secara penuh.
Semangat pebulutangkis Indonesia meninggi. Masalah kekurangan dana segera diatasi dengan urun dana. Tim Indonesia pun berhasil berangkat ke Singapura. Skuad bulu tangkis waktu itu diperkuat oleh Tan Joe Hok (Bandung), Eddy Joesoef (Jakarta), Lie Poo Djian (Purwokerto), Tan King Gwan (Salatiga), Njoo Kiem Bie (Surabaya), Olich Solichin (Tasikmalaya), dan Ferry Sonneville (Jakarta).
Mereka berhasil membuktikan Indonesia bukan anak bawang. Indonesia mampu menang atas Malaysia dengan skor 6:3 di final. Kemenangan itu membuat skuad bulu tangkis Indonesia dijuluki Magnificent Seven.
Mereka disambut bak pahlawan ketika pulang ke Indonesia. Kesuksesan itu coba diulangi kembali dalam penyelenggaraan Thomas Cup 1961. Indonesia lebih percaya diri karena penyelenggaraan berlangsung di Indonesia. Atau bertempat di Istora Senayan.
Tim Thomas Indonesia diisi oleh skuad yang tak jauh dari skuad Magnificent Seven. Tim Thomas Indonesia lalu memperoleh keistimewaan sebagai juara bertahan. Mereka hanya tinggal menunggu penantang di challenge round yang merupakan partai puncak perebutan gelar.
Artinya Indonesia butuh satu pertandingan untuk bisa jadi juara. Lawan yang menanti Indonesia adalah Thailand. Tim Thomas Indonesia pun tak meremehkan Thailand. Pun isu Thailand menggunakan ‘magic’ untuk menang mulai menggelegar. Sekalipun tim Indonesia tak gentar.
“Saat itu ramai isu yang mengatakan Njoo Kiem Bie terkena sihir, karena saat itu Bangkok disebut kuat sihirnya. Saya sih tidak percaya. Saya percaya Tuhan dan latihan. Ketika itu Njoo Kiem Bie bermain sempoyongan seperti orang tidak sadar,” ujar Tan Joe Hok sebagaimana ditulis Putra Permata Tegar Idaman dan Nafielah Mahmudah dalam buku Thomas Cup: Sejarah Tentang Kehebatan Indonesia (2022).
Jawara Thomas Cup 1961
Indonesia tampil percaya diri melawan Thailand. Indonesia mampu menyumbang angka dari Tan Joe Hok yang bermain di tunggal putra. Ferry Sonneville lalu mengikuti Tan Joe Hok menambah poin untuk Indonesia. Namun, Indonesia menyerah dua kali di kelas ganda putra.
Hari pertama pun ditutup dengan skor imbang, 2-2. Namun, Indonesia tak ingin malu dihadapan pendukungnya sendiri. Tim Thomas Indonesia langsung tancap gas di lima pertandingan sisa. Seisi Istora Senayan pun bergemuruh.
Hari kedua, Indonesia berhasil mendapat tiga poin tambahan dari tunggal putra. Masing-masing dari Eddy Joesoef, Tan Joe Hok, dan Ferry Sonneville. Sisa satu kemenangan muncul dari ganda putra Indonesia, Tan Joe Hok/Lie Po Djian. Indonesia hanya takluk dalam partai ganda putra Ferry Sonneville/ Tan King Gwan.
BACA JUGA:
Indonesia pun mengakhiri pertandingan dengan skor 6:3. Kemenangan itu disambut dengan gegap gempita. Kemenangan kembali Tim Thomas Cup Indonesia semakin menegaskan bahwa Indonesia adalah raja baru dalam peta bulu tangkis dunia.
“Cerita yang mengikuti sukses tahun 1958 tersebut merupakan kisah sukses tim putra. Ini terjadi hingga tahun 1964. Tahun 1961, ketika pasukan Thomas Indonesia kembali mengukir sukses dengan mengalahkan Thailand, para atlet mendapatkan penghargaan dai pemerintah. Ketika itu, untuk pertama kalinya anugerah Satyalencana Kebudayaan kepada olahragawan,” ujar Brigita Isworo L. dan T.D. Asmadi dalam buku 1000 Tahun Nusantara (2000).