Menurut Ahli, Ada 3 Faktor yang Memengaruhi Kontrol Emosi
Ilustrasi siluet (Unsplash/Bilal Bozdemir)

Bagikan:

JAKARTA – Mengambil keputusan untuk melakukan aktivitas sehari-hari diatur oleh emosi. Ketika senang, marah, sedih, bosan atau frustasi berpengaruh pada decision making atau pembuatan keputusan repons.

Bagaimana jika emosi labil sehingga respons dapat merugikan? Misalnya dalam peristiwa yang dilansir dari VOI, Jumat, 26 Februari, penembakan aksi koboi setelah menenggak minuman beralkohol pada Kamis (25/2) pukul. 02.00 dini hari.

Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2002 oleh Hodgins dan Janson di Metropolitan Stockholm menemukan bahwa pengambilan keputusan dalam tindak kriminal didorong oleh empat hal, antara lain gangguan mental mayor, alkohol dan gangguan terkait pemakaian narkoba, keterbelakangan mental, dan gangguan mental lainnya yang meliputi banyak faktor.

Kelima pendorong tersebut di atas bersinggungan dengan state of mental yang erat pengaruhnya dengan kontrol emosi. Tahun 1972, Paul Eckman –seorang psikolog- menemukan bahwa ada 6 emosi universal dan dimiliki seluruh manusia antara lain emosi takut, jijik, marah, kaget, bahagia dan sedih.

Selanjutnya tahun 1980 Robert Plutchik memperkenalkan sistem klarifikasi emosi yang dikenal sebagai ‘roda emosi’.

Sistem klarifikasi dapat memicu bangunan emosi dari kombinasi emosi yang dipaparkan Eckman. Plutchik mengusulkan delapan dimensi emosional utama, yaitu kebahagiaan versus kesedihan, kemarahan vs. ketakutan, kepercayaan vs. jijik, dan kejutan vs antisipasi.

Merangkum dari penemuan dua psikolog, Eckman dan Plutchik, satu jenis emosi mungkin bisa hadir satu demi satu tetapi bisa juga hadir bersamaan.  Tiga faktor di bawah ini berpengaruh pada kemunculan aspek emosional dan memacu respons yang diambil.

Pengalaman subjektif

Jika kebahagiaan digabungkan dengan antisipasi dapat mendorong kegembiraan, kata Plutchik. Dari kedua studi psikolog tersebut, yang pertama dari tiga elemen kunci emosi adalah pengalaman subjektif.

Para ahli percaya bahwa sejumlah emosi universal yang dialami seluruh manusia tidak memandang latar belakang, profesi serta budayanya.

Melansir Verrywellmind, Jumat, 26 Februari, para peneliti juga percaya bahwa pengalaman emosional bisa sangat subjektif. Sederhananya, setiap orang pernah marah tetapi yang mentransformasi emosi tersebut adalah pengalaman subjektif di mana setiap orang berbeda-beda.

Emosi campur aduk atas peristiwa atau situasi yang dialami tak jarang terjadi. Misalnya, ketika menghadapi pekerjaan baru sangat mungkin seseorang akan merasa bersemangat sekaligus gugup.

kontrol emosi menurut para ahli
Ilustrasi emosi campur aduk (Unsplash/Nsey Benajah)

Respons fisiologis

Sistem saraf otonom mengontrol respons tubuh yang tidak disengaja, seperti terjadi pada aliran darah dan pencernaan. Sedangkan sistem saraf simpatis bertugas mengendalikan reaksi fight or flight.

Saat menghadapi ancaman, respons ini otomatis mempersiapkan tubuh untuk melarikan diri dari bahaya atau menghadapi ancaman secara langsung. Studi awal mengenai fisiologi emosi cenderung berfokus pada peran otak dalam emosi.

Pemindaian otak menunjukkan bahwa amigdala berperan penting terutama dalam emosi dan ketakukan. Ketika seseorang merasa terancam, amigdala aktif bekerja. Nah, kerusakan pada amigdala juga terbukati dapat mengganggu respons rasa takut.

Respons perilaku

Tak terhitung jumlah waktu yang dihabiskan para peneliti untuk menafsirkan ekspresi emosional orang-orang di sekitarnya. Menurut peneliti, seseorang yang mampu memahami ekspresi disebut memiliki kecerdasan emosional.

Norma sosiokultural juga berperan dalam cara seseorang mengekspresikan dan menafsirkan emosi mereka masing-masing. Di Jepang, misalnya, orang lebih cenderung mengekspresikan emosinya saat sendirian. Berbeda dengan di Amerika yang lebih mengekspresikan emosi negatif di hadapan orang lain.

Bagaimana jika habis menenggak alkohol, dalam kondisi terancam, dan merasa malu sekaligus marah? Tanpa kecerdasan emosional, kombinasi emosi dalam situasi tersebut sangat mungkin diekspresikan dengan tindakan ofensif.