Bagikan:

JAKARTA – Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, khilaf berarti keliru atau salah yang tak disengaja. Dalam praktiknya, khilaf berkaitan dengan kesalahan yang merugikan, baik merugikan orang lain maupun diri sendiri.

Sedangkan dalam konteks religi, khilaf berkaitan dengan konsekuensi atau akibat atau hukuman setelah melakukan kesalahan. Nah, dalam konteks psikologis, terdapat tiga hal yang berkaitan dengan melakukan kesalahan.

Melansir Psychology Today, Senin, 22 Februari, menurut catatan kitab suci, Adam dan Hawa tidak dapat menahan diri untuk tidak melakukan dosa, yaitu menyantap buah kuldi. Jika ditelisik secara psikologis, ini berkaitan dengan kontrol impuls.

Jika melakukan kesalahan tanpa disadari, artinya efek ada di luar kendali. Situasi ini menurut Zimbardo dipengaruhi oleh lokus kontrol dan gaya atribusi. Kedua penggerak tersebut memiliki dampak signifikan pada motivasi, ekspektasi, harga diri, perilaku yang berisiko, dan hasil aktual dari tindakan yang dilakukan.

Pandangan lain mengenai kesalahan yang tak disengaja bisa berpijak dari pemikiran Sigmund Freud. Dapat diasumsikan bahwa tindakan yang tidak disegaja adalah perilaku di luar kesadaran. Tanpa diperhitungkan efeknya bahkan dapat merugikan.

Freud dianggap sebagai bapak psikoanalisis dan saat ini psikoanalitik serta psikodinamik dipakai sebagai pendekatan untuk terapi. Freud juga menyusun teori tentang subjek, seperti pikiran bawah sadar dan mimpi.

Ketika seseorang melakukan suatu tindakan dan berpusat pada keinginan, disebut dengan id. Sedangkan superego didorong secara moral dan ego berada diantaranya. Kasus khilaf misalnya, ketertarikan yang tidak disadari pada orang lain.

Pikiran bawah sadar digambarkan oleh Freud sebagai sumur pikiran dan perasaan yang kuat dan tidak disadari secara langsung tetapi memiliki dampak penting dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kasus penyakit mental, alam bawah sadar berkontribusi besar.

Pikiran, menurut Freud, juga merupakan mekanisme pertahanan. Mekanisme pertahanan adalah cara pikiran untuk beradaptasi dengan konflik internal. Dalam kasus yang ditangani oleh terapis, pada umumnya terjadi pada seseorang yang sulit mengatakan suatu kejadian traumatis.

Misalnya, mekanisme pertahanan dalam pikiran dialami ketika mengalami represi, situasi sadar yang tidak membuat nyaman, displacement, pergeseran respons emosional dan berperilaku dengan cara yang berlawanan dengan perasaan sebenarnya.  

Dalam konteks riil, perselingkuhan misalnya. Perselingkuhan ‘diakui’ sebagai kesalahan yang tidak disadari. Namun, siapa sih yang tidak mengenali bahwa perselingkuhan adalah tindakan yang tidak etis? Tentu setiap orang mengenali, maka dalam hal ini mekanisme pertahanan juga bisa bekerja.

Pikiran mulai bernegosiasi, lalu mengusulkan perbaikan. Meskipun perbaikan dilakukan, tetapi sebagai pertanggungan jawab atas tindakan yang tidak disadari, pihak yang dikecewakan pun juga akan bertahan dengan mekanisme pikirannya. Nah, di sini ego setiap orang bekerja.

Apakah Anda dapat menerima kekhilafan orang lain? Iya atau tidak, yang pasti ego Anda sedang bernegosiasi dengan mekanisme pertahanan diri.