Bukan Kesalahan Tak Disengaja, Ini Arti Kata Khilaf Menurut Pandangan Islam
Ilustrasi (Ahmed Aqtai/Pexels)

Bagikan:

JAKARTA - Manusia memiliki kebebasan untuk berpikir sebab diberi akal sehat oleh Sang Pencipta. Menggunakan akal dengan baik dan bijak dapat membawa manusia pada kebaikan. Selain akal, Tuhan juga menganugerahi manusia dengan nafsu. Sayangnya, nafsu sering mengarahkan manusia pada hal-hal merugikan. 

Saat gairah nafsu lebih besar dibandingkan akal, maka besar juga kemungkinan seseorang berbuat khilaf. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), khilaf memiliki arti keliru; salah (yang tidak disengaja); kekhilafan; kekeliruan; kesalahan yang tidak disengaja: dapat saja terjadi di pergaulan sehari hari. 

Jadi, khilaf dalam Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan tanpa sengaja, bertindak tanpa melalui proses pikir panjang, apalagi terencana sebelumnya. Saat seseorang khilaf dan mengakui kesalahan tersebut, alangkah baiknya diikuti dengan rasa penyesalan mendalam.

Seperti yang dilakukan Ayus Sabyan baru-baru ini. Melansir laman VOI, Senin, 22 Februari, Ayus mengirimkan video berdurasi 30 detik yang berisikan permohonan maaf pada beberapa pihak serta mengaku khilaf atas kasus perselingkuhan yang menjerat ia dan Nissa Sabyan. Secara norma, apa yang dilakukan Ayus bisa dikatakan benar karena ia telah mengakui kesalahannya.

Namun, dalam pandangan Islam khilaf memiliki pengertian yang berbeda. Melansir Wikipedia Malaysia, Senin, 22 Februari, khilaf adalah perbedaan pendapat atas suatu perkara atau masalah. Para Fukaha (ahli kitab) menafsirkan khilaf sebagai sesuatu yang tidak disepakati oleh para fukaha terhadap sebuah perkara tanpa memandang benar, salah, atau aneh dari pendapat yang dikemukakan.

Jika pendapat dari perkara tersebut benar maka dapat dua pahala, sedangkan jika salah maka hanya satu pahalanya. Saat khilaf terjadi, umat diharapkan memiliki sifat sabar agar menghormati perbedaan pendapat.

Melansir Almanhaj, sebuah pemahaman tentang sebuah pendapat harusnya disampaikan oleh ulama. Mereka lebih dipercayai atas kekayaan ilmu dan kekuatan mereka terhadap agama. Sehingga, dapat meminimalisir perpecahan yang disebabkan oleh perbedaan pendapat. 

Untuk itu, saat hendak berdiskusi haruslah dimulai dengan akal sehat, disiplin ilmu, serta sikap sabar dan bukan secara sombong, sentimen, emosi, dan berdasarkan kepentingan.

Untuk itu, saat terjadi perbedaan pendapat, baik dalam suatu majlis atau bukan, seorang muslim harusnya memerhatikan beberapa adab yaitu;

1. Ikhlas dan mencari yang hak serta melepaskan diri dari hawa nafsu.

2. Berlapang dada menerima kritikan dan memahami kalau hal tersebut adalah nasihat dari saudara seagama.

3. Menghindari sikap menonjolkan diri, membela diri, serta mencari pembenaran. 

4. Berbincang dan menyanggah pendapat dengan cara yang terbaik.

5. Tidak menyalahkan orang yang berbeda pendapat sebagai sesat dan bid'ah. 

6. Membagi ruang kepada orang lain untuk mengemukakan pendapatnya.

7. Tidak boleh memotong percakapan orang atau menyakitinya.

8. Menghormati pandangan orang sebagaimana peristiwa Saidina Abu Bakar menerima masukan tentang pengumpulan Al-Quran dari Saidina Umar.

8. Menghormati dan menghargai segala usaha yang diberikan para ulama.

9. Tidak memaksa orang menerima pendapat Anda, kecuali jika apa yang dipercaya mereka salah dan Anda dapat membuktikan kebenaran.

10. Berbaik sangka kepada orang yang berbeda pendapat dan tidak menuduh buruk niatnya, mencela, dan menganggapnya cacat.

11. Tidak memperkeruh perselisihan dengan cara menjatuhkan pendapat lawan atau membuat tafsiran merugikan.

12. Sebisa mungkin menghindari permasalahan-permasalahan yang dapat menyebabkan fitnah. 

Etika-etika inilah yang dapat Anda pegang saat sedang berdiskusi sehingga tindakan khilaf pada lawan bisa diminimalisir.