JAKARTA - Rieke Diah Pitaloka dikenal sebagai seniman yang berpolitik. Terkenal dari dunia entertaiment, Rieke mendapat dukungan dan kepercayaan untuk duduk menjadi wakil rakyat selama tiga periode.
Tak mau asal, Rieke terus semangat memperjuangkan visi misi nya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). "Waktu saya masuk DPR, saya udah tau mau ngapain. Jangan masuk DPR terus ngomong nanti saya belajar. Belajar di sekolah ya. Begitu masuk DPR ya pertarungan," ujarnya saat ditemui VOI di Kediamannya di Depok, Jawa Barat.
Pengalaman Rieke menjadi duta buruh migran sebelum masuk DPR menjadi bekal yang melengkapi kepopulerannya di entertaimen yang membuatnya mendapat banyak dukungan. "Jadi saya mengurus buruh migran dan Indonesia diidentifikasi sebagai negara yang cukup besar mengirim buruh migran jadi banyak setiap bulan saya mengadvokasi dari Timur Tengah pakai kontrainer sampai menemani mereka diantar ke Madura. Itu luar biasa mengerikan dan saya pikir apa penyebabnya," kenangnya.
Sadar bahwa Indonesia negara hukum, segalanya diatur hukum maka menguatkan niat Rieke di DPR. "Bukan kekuasaan belaka. Karena negara hukum, perlindungan terhadap warga itu memakai keputusan hukum yang namanya undang-undang dan peraturan perundangan dan UU ini dibikin sama dua institusi DPR dan istana. Saya lihat waktu itu peraturannya lebih ke penempatan dari pada perlindungan. Perlindungannya di belakang which is bisnis. Negara tidak boleh bisnis penempatan migran. Baca pembukaan UUD tujuan pemerintah Indonesia," tegasnya.
Atas dasar pemikiran itu, Rieke masuk DPR dengan satu harapan harus bisa mengubah undang-undang perlindungan untuk tenaga kerja Indonesia. "Dari sebelum masuk DPR ini, saya membaca semua hal terkait hukum tenaga kerja kita kemudian mengubah konvensi imigran Indonesia di kita lalu masuk revisi UU tentang TKI. Alhamdulillah judul aja menggambarkan skema seluruh peraturan UU. Untuk tarung judul aja butuh satu periode karena banyak sindikat perdagangan manusia berkedok pengiriman ke luar negeri," jelasnya.
Setelah benar-benar duduk di kursi DPR, ternyata Rieke bisa mewujudkan impiannya yang bermanfaat untuk orang banyak. Meskipun sulit, Rieke puas karena perjuangannya tidak sia-sia. Pencapaiannya adalah bentuk terima kasih atas fasilitas yang digunakan.
"Apakah sulit? Ya pasti sulit, gak ada perjuangan yang sulit tapi kalo untuk sesuatu yang baik dan sudah sumpah jabatan ya harus bisa kecuali kita kerja di NGO atau LSM. Kalo jadi anggota DPR itu kita harus kerja karena ini pertanggung jawaban dari apa yang kita makan. Yang juga membantu membesarkan anak-anak kita. Penjagaan VVIP, kemana mana ada protokol," katanya.
Keberhasilannya di politik ternyata tak sejalan dengan rumah tangganya. Tahun 2015, Rieke diguncang karena harus berpisah dengan suaminya. Menariknya, tanggung jawab itulah yang membuatnya lekas bangkit.
"Saya mikir bagaimana politik anggaran pengawasan? Nah ini yang memotivasi saya ternyata prinsip-prinsip seperti ini yang menyelamatkan saya ketika mengalami masalah rumah tangga. Saya harus bangkit karena saya punya tanggung jawab besar. Memperjuangkan banyak orang jadi tidak selalu ceria tapi selalu memotivasi diri untuk membahagiakna masyarakat kalo saya sendiri gak bahagia," terangnya.
Saat terpuruk, Rieke menyadari tak bisa bekerja dengan maksimal. Harus bisa menolong diri agar bisa kembali bekerja. "Gak akan bisa kerja kalo terpuruk tapi bingung nah gak bisa terus menerus dunia seakan berakhir enggak tuh sampe sekarang gue hidup 8 tahun cerai tetap seperti aku yang dulu jadi kalo ada masalah bukan berarti masalah itu memenjarakan kita apalagi kita orang Indonesia," jelasnya.
Yakin pada Allah, menjadi kunci penguatnya. "Soal religious spiritualitas itu banyak yang menggembar gemborkan. Gimana kita kalau gara gara itu aja, terus kita tertinggal. Kalau percaya ada Allah ya yakin aja, semua ini kalau kita terus melangkah juga pasti ada solusi. Kalau capek, istirahat tapi jangan berhenti," tegasnya.
Sebagai anggota DPR, kepuasannya bukan lagi pada pencapaian pribadi. Pencapaian terbesar, bagi Rieke adalah ketika perjuangannya bisa dinikmati rakyat Indonesia secara luas.
"Sekarang kan ada jaminan sosial jadi bukan hanya pekerja sosial tapi orang bukan ikatan kerja bisa apply jaminan kecelakaan dan kematian. Kalau kecelakaan kerja dicover, kalau sampe meninggal itu dapat tunjangan dan anak dipersiapkan kuliah. Dulu kan gak ada. Ke depan, saya ingin mencoba beberapa teman honorer sampai keputusan menteri keluar tapi lumayan ada jaminan hari tua. Bisa kok semua kan punya JHT apapun profesinya," yakinnya.
BACA JUGA:
Mengapa Jaminan Hari Tua (JHT) yang diajukan pribadi penting saat ini? Karena, Rieke yakin peradaban bergeser apalagi setelah pandemi COVID-19.
"Ada profesi yang kita nggak pernah berpikir dulu akan ada pekerjaan seperti itu, tapi ada pula pekerjaan yang hilang. Semuanya geser di era digital kemudian perkembangan teknologi bahwa kesempatan lebih luas. Selama kita memanfaatkan dengan bijak, jadi duit," tegasnya.
Dia menyakini pencapaian belum maksimal, tapi di setiap periode dan jabatan pencapaian itu tidak dianggap sebagai prestasi tapi tanggung jawab.
"Memang tanggung jawab bikin anggaran dan undang-undang. Apa yang kemudian dari rakyat sudah menggaji apa yang saya lakukan. Musti ada dong! Periode pertama saya memperjuangkan UUD Badan Penyelenggaran Nasional sejak itu dijalankan mekanisme baru national insurance bersifat nirlaba, jaminan kesehatan kecelakaan hari tua bagi seluruh rakyat yang tadinya per daerah," jelasnya.
"Dengan berlaku jaminan nasional jadi orang Papua sakit di Jakarta bisa pakai, orang Jakarta di Kalimantan bisa, itulah kesatuan RI. Pensiun bukan hanya pns tp berlaku ke ikatan kerja dan wajib memberi empat jaminan kalau enggak, pidana," tegasnya.
Menata Diri untuk Hati yang Baru
Terlihat tangguh dan selalu ceria, wanita kelahiran 8 Januari 1974 ini sebenarnya sama dengan perempuan lain. Tak selalu baik-baik saja namun mencoba untuk tetap kuat karena ada kewajiban yang harus dipenuhi.
"Bagaimana mempersiapkan diri balik ke persoalan, jadi perempuan itu kita gak bisa terus galau. Apalagi punya anak menyandarkan status kita kepada orang lain. Karena pernikahan itu bisa berakhir bukan hanya karena perselingkuhan tapi bisa meninggal. Ketika kita gak siap hal itu terjadi, terus anak mau gimana?" katanya.
Sebelum memutuskan untuk menikah, Rieke harus siap dengan risiko terkait pernikahan kayak perceraian. "Kalau itu terjadi minimal kita udah siap mental," katanya.
Sempat down saat bercerai, Rieke mencoba bangkit. Tak mau berlama-lama mellow karena banyak hal yang harus diselesaikan.
"Modalnya semangat saja dan berusaha mengisi hidup dengan sesuatu yang penting. Penting gak sih? Kadang ada mellownya tapi ya itu harus bisa dikelola ya soalnya jadi politisi perempuan itu gak gampang. Tapi menjadi politisi perempuan artinya menjadi berkah karena tidak semua diberi kesempatan seperti ini," kenangnya.
"Sesulit apapun hari itu pasti akan berganti dan besoknya pasti ada sesuatu yang baru lagi. Jangan mau hidup monoton dan sebagai perempuan bukan berarti kita jadi orang yang stuck yang dinamis yang terpenjara dengan stigma bahwa perempuan itu hanya urusan sumur, dapur, kasur," lanjutnya.
Perempuan, lanjutnya, juga manusia biasa yang berhak punya cita-cita, punya kesempatan dan mengungkapkan kemauannya untuk mencapai apa yang dia mau tanpa merasa ragu.
Dalam konstruksi sosial, perempuan seringkali dianggap tak perlu pendidikan tinggi. Stigma itu melekat sehingga memandang perempuan tak ada gunanya belajar.
"Udahlah perempuan di rumah aja. Udahlah perempuan ngapain sih sekolah tinggi, ntar gak ada yang mau. Memang susah tapi menurut saya itu kan sesuatu yang harus diubah karena kalau perempuan lebih punya hidup yang lebih baik, lebih mapan, saya yakin kehidupan bisa lebih baik untuk semua karena perempuan punya kekuatan yang namanya empati, punya rasa, multitalent," yakinnya.
"Laki-laki biasanya fokus dengan satu hal, perempuan ibu-ibu itu bisa sampai masak, ngurusin pr anak, sambil ada tukang sayur dan sebagainya. Di politik itu memang kita harus multitalenta juga apalagi di DPR itu satu komisi ada berapa mitra, kementerian lembaga," .
Ibu tiga anak itu meyakini esuatu akan jadi masalah kalau dianggap masalah. "Kalau kita enggak anggap masalah ya gak jadi masalah. Tapi memang kadang-kadang ada suatu masalah, kalau dibilang gak ada gak mungkin ya namanya hidup ada kisah panjang, perjalanan yang cukup pahit, traumatik dan sebagainya. Tapi saya selalu berpikir hidup itu singkat, kalau kita cuma mau hidup dalam trauma masa lalu kita, dalam hal yang pahit, sayang. Mendingan dipakai untuk bantu orang, memotivasi orang lain, atau diri sendiri," katanya.
"Apalagi ada anak, gak bisa lama-lama sedih, anak tiga orang harus saya besarkan dengan baik bagi waktunya. Tidak mudah di waktu yang sangat sempit itu, bagaimana ada quality time sama anak-anak tetap merasa tidak kehilangan ibunya yang super riweh," lanjut Rieke.
Lalu apakah perceraian membuatnya sempat terpuruk? "Iyalah apalagi sampai perceraian pas anak-anak masih kecil itu tidak gampang untuk dilupakan. Mungkin baru setahun dua tahun ini bisa lebih memastikan diri. I’m okay. Itu harus terjadi dalam hidup tidak disesali. Kalau di awal namanya pendaftaran, kalau di tengah namanya UTS. jadi santai aja, mungkin saat itu gak santai," jelasnya seraya bercanda.
Rupanya, Rieke sempat stress sampai tidak bisa hampir 2 bulan saat badai rumah tangga datang. "Sampai harus pergi dulu sebentar dari rumah sebulan saya ngabur. Karena saya bingung, anak masih kecil dan saya politisi yang baru kehilangan ayah saya yang luar biasa dalam hidup saya," kenangnya.
Namun, kesadarannya segara kembali. "Mungkin kalau ada masalah, itu jawaban dari Allah. Kan kita sering doa “Ya Allah dekatkan aku dengan yang baik-baik saja.” Yang gak baik ternyata kebuka, ketahuan. Kadang kan kita marah ya tapi aku pikir ini jawaban dari doa Allah kali ya. Gimana Allah menunjukkan yang benar dan dzolim. Jauhkan dari yang jahat berarti itu jawaban dari Allah. Allah kasih cobaan untuk menguji apakah kita kuat ya gimana kita mau tau kalau kita tidak pernah mengalami dinamika kehidupan" kenangnya.
Semua terlewati step by step. Posisinya sebagai anggota DPR juga tidak bisa ditinggalkan karena berlarut dalam kesedihan. "Karena digaji dan dapat tunjangan. Masa gabut ya," kelakarnya.
Tergolong setia, Rieke mengaku sebenarnya selalu menantikan sosok yang bisa mengisi hatinya kembali. Namun, pertimbangannya kini semakin banyak dan kompleks ketika memilih pasangan.
"Belum dapat yang pas lah karena gak mau patah hati. Kalau menjalin hubungan ya satu itu terus. Dulu pernah pacar pertama dari umur smp kelas 3 udah pacaran terus habis itu sampai kuliah semester 1. Syuting pun jadi oneng ya 7 tahun itu saya fokus untuk hal seperti itu. Nah sampai saat ini belum ada yang benar-benar cocok," jelasnya.
Rieke mengaku tidak ingin membebankan masalah ekonomi pada pasangannya barunya. Sadar memiliki tanggungjawab tiga anak, Rieke telah mempersiapkan asuransi.
"Emang kalau kita punya pasangan kita membebani pasangan secara ekonomi? Yang di luar situ gak usah takut karena saya persiapkan tanpa membebani pasangan," ujarnya sambil tertawa mempromosikan diri sendiri.
"Alhamdulillah bertahap asuransi pendidikan itu prioritas dan jangan konsumtif karena gak ada gunanya. Dulu mau kuliah tuh saya susah harus perjalanan dalam keluarga yang tidak mampu secara ekonomi tidak gampang sehingga hasil kerja itu saya coba tabung. Saya syuting dari 13 tahun dan selalu mencoba menabung, menyimpan dan membeli perhiasan dan sampai sekarang gak dijual jadi irit ya," imbuhnya.