Review A Man Called Otto, Melajar Memproses Duka dari Peran Tom Hanks
Film A Man Called Otto (Foto: Niko Tavernise)

Bagikan:

JAKARTA - Bagi Otto Anderson (diperankan oleh Tom Hanks), tak ada yang paling menjengkelkan di dunia ini selain orang-orang di sekitarnya yang melanggar aturan. Dia akan marah jika ada pengemudi mobil menerobos portal jalan yang sudah jelas-jelas ditutup atau melihat seseorang yang tidak bisa memarkirkan kendaraannya dengan baik.

Berkali-kali dia akan mengeluarkan umpatan “bodoh!” jika mendapati orang lain bertindak tak sebagaimana mestinya, bahkan hal-hal sepele sekalipun. Kucing liar yang kerap nangkring di sekitar rumahnya pun tak luput dari umpatan itu.

Para tetangga yang sudah bertahun-tahun hidup berdampingan dengannya pun pada akhirnya telah menganggap watak laki-laki paruh baya itu sebagai sesuatu yang biasa, “begitulah Otto”. Bagi Otto, nyaris semua tetangga menyebalkan, kecuali Marisol (diperankan oleh Mariana Treviño), seorang tetangga baru di seberang rumahnya.

Meski tetap saja Otto marah-marah sambil menggerutu jika keluarga Marisol meminta bantuan, perempuan itu menghadapinya dengan santai dan tawa. Malahan, Morisol suka membawakan makanan buatannnya untuk Otto.

Kehadiran Morisol menjadi kunci pembuka kehidupan Otto selanjutnya. Melalui hubungannya dengan Morisol, lambat laun Otto mulai membuka diri tentang masa lalunya dan dukanya. Morisol lambat laun menjadi seseorang yang Otto anggap seperti anaknya sendiri.

Setiap kali Otto berada dalam momen kesendirian, bayangan-bayangan mendiang istrinya, Sonya (diperankan oleh Rachel Keller), selalu mampir di pikirannya. Dia hafal betul setiap detail kenangan yang pernah dilalui bersama Sonya, satu-satunya orang yang berharga di kehidupan Otto.

Menua sendirian, pensiun dari pekerjaan, saban hari hanya melakoni ronda pagi di kompleks tempat tinggalnya untuk “meluruskan aturan”. Yang luput dari pandangan tetangga, bahwa Otto saban hari hanya memikirkan dan mengupayakan cara-cara terbaik untuk bunuh diri. Ini lah Otto di balik sosoknya yang pemarah.

Otto adalah cerminan dari orang-orang di sekitar kita, bahkan mungkin diri kita sendiri. Lepas kepergian seseorang yang dicintai, Otto enggan menggeser seinci pun barang-barang kepunyaan Sonya di dalam rumah.

Bagi Otto, itu adalah cara terbaik untuk tidak melupakan istrinya. Tetapi, yang tak disadari Otto, itu pula yang membuat dirinya “tidak pergi ke mana-mana” dan “hanya diam di tempat”. Dan Morisol lah yang membantu membukakan “jalan” itu agar Otto bisa merilis dan memproses duka.

Walau duka-duka itu hadir, A Man Called Otto tak melulu soal drama. Film ini justru mampu mengimbangi duka dengan humor yang renyah. Padanan drama dan komedi silih berganti di setiap adegan dalam film, bahkan ada kalanya penonton tak diberi jeda antara pergantian itu––tiba-tiba harus tertawa, beberapa detik kemudian bersedih.

Kemampuan akting Tom Hanks yang tak diragukan lagi menjadikan karakter Otto lebih hidup. Dalam film itu, kita tidak lagi melihat Tom Hanks sebagai Tom Hanks, melainkan melihatnya sebagai Otto.

Terlepas dari kontroversi karena A Man Called Otto tak ubahnya seperti sebuah “proyek keluarga” dengan pelibatan istri Hanks, Rita Wilson, yang duduk di kursi produser serta anak mereka, Truman Hanks, yang debut akting sebagai Otto versi muda, film tersebut tetap menarik untuk ditonton.

Meski bukan 100 persen terbaik, tetapi A Man Called Otto bisa menjadi pilihan film ringan yang bisa dinikmati sebagai bentuk eskapisme dan kemudian membawa diri kita kembali kepada kenyataan dengan menyadari hal-hal sederhana yang rupanya berharga bagi kehidupan kita.

Selain peran Hanks dan Treviño yang menonjol di dalam film, penonton akan menjumpai aktor-aktor lain dengan karakter unik yang masing-masing dari mereka tidak hanya muncul sebagai “peran pendukung” belaka melainkan juga pelengkap yang membuat A Man Called Otto lebih berwarna.

Nama-nama itu seperti Manuel Garcia-Rulfo yang berperan sebagai Tommy, suami Marisol yang di mata Otto adalah suami yang “bodoh”. Ada pula Cameron Britton sebagai Jimmy, seorang tetangga dengan gelagat jenaka yang saban pagi berolahraga sambil menyapa Otto yang sedang ronda pagi. Hingga Juanita Jennings sebagai Anita dan Peter Lawson Jones sebagai Ruben, yang keduanya bertetangga dan dulunya bersahabat dengan Otto.

Dikutip dari ANTARA, A Man Called Otto digarap dengan apik oleh sutradara Marc Forster dengan skenario oleh David Magee. Cerita A Man Called Otto sendiri didasarkan pada novel A Man Called Ove (2012) karya Fredrik Backman dam dibuat ulang (remake) dari film Swedia tahun 2015 berjudul sama dengan novelnya karya sutradara Hannes Holm.

Film A Man Called Otto telah dirilis secara eksklusif di New York dan Los Angeles, Amerika Serikat, pada 30 Desember lalu. Kemudian film ini diputar secara luas di AS pada 6 Januari 2023. Kini, film tersebut sudah dapat dinikmati di bioskop di luar AS, termasuk di Indonesia, sejak 13 Januari 2023.