JAKARTA - Traveling alias berwisata bisa menjadi alat untuk memperbaiki kondisi jiwa yang kini disebut healing. Menurut WHO, separuh dari gangguan mental bermula pada umur 14, namun banyak kasus yang terjadi tidak terdeteksi dan tanpa tindakan.
Berbagai faktor ditengarai sebagai pemicu masalah keseimbangan kesehatan mental ini; di antaranya tekanan dalam pekerjaan, masalah keluarga, pendidikan, dan kehidupan sosial. Organisasi Kesehatan Dunia WHO mencatat pada 2019 sebanyak hampir satu miliar penduduk dunia mengalami gangguan kesehatan mental.
Angka ini meningkat secara signifikan pada masa pandemi COVID-19. Di Indonesia, hasil penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia pada tahun 2021 menemukan bahwa mayoritas remaja dan dewasa muda berusia 16 -24 tahun memasuki periode kritis kesehatan mental.
Lebih lanjut penelitian tersebut menemukan bahwa hampir 96 persen remaja dan dewasa muda mengalami gejala kecemasan (anxiety) dan 88 persen di antaranya mengalami gejala depresi. Karena itu, kegiatan traveling dibutuhkan untuk memperbaiki kondisi jiwa.
"Kegiatan-kegiatan seperti mencari pengalaman baru melalui traveling maupun eksplorasi hal-hal baru melalui aktivitas liburan dan berwisata dapat menjadi salah satu upaya mengenal dan mencintai diri yang baik," kata Ketua dan founder Asosiasi Kesehatan Remaja Indonesia (AKAR), dr Fransisca Handy dikutip dari ANTARA, Rabu, 7 Desember.
Lebih lanjut dr Fransisca mengatakan masalah kesehatan jiwa merupakan masalah yang sangat kompleks dan dilematis karena stigma yang terlanjur melekat akibat kurangnya pemahaman akan isu ini.
"Oleh karena itu, pentingnya berhenti sejenak memberikan waktu bagi diri untuk mengenal dan mencintai diri sendiri sangat penting dilakukan. Kegiatan-kegiatan seperti mencari pengalaman baru melalui traveling maupun eksplorasi hal-hal baru melalui aktivitas liburan dan berwisata dapat menjadi salah satu upaya mengenal dan mencintai diri yang baik."
Dokter Fransisca menjelaskan ketika seseorang merasakan emosi yang sangat kuat dapat diikuti dengan keluhan fisik. Kesehatan jiwa dipengaruhi faktor-faktor seperti tingginya tingkat stres di pekerjaan atau perkuliahan, masalah percintaan atau hubungan dengan keluarga dan teman, persaingan lewat sosial media, dan sebagainya serta kemampuan untuk mengelola situasi dan emosi yang dirasakan.
Informasi terkait regulasi emosi dan cara pengelolaan stres yang sehat belum banyak diketahui masyarakat, khususnya anak muda.
BACA JUGA:
Banyak anak muda berkeluh kesah di sosial media atau bercerita pada orang yang salah atau melakukan hal-hal yang terkesan membantu sesaat seperti merokok dan perilaku adiktif lainnya sebagai cara mengelola stres.
Salah satu kekhawatiran yang disampaikan dr Fransisca adalah jika hal ini dibiarkan berlarut-larut akan mempengaruhi kualitas hidup mereka ke depannya.
"Di sinilah kami aktif mengkampanyekan pentingnya menjaga memiliki kemampuan regulasi emosi yang sehat, mengelola stres, mengenal dan menghargai diri sendiri sebagai upaya untuk menjaga kesehatan jiwa anak muda dan kepada masyarakat pada umum. Kita semua bertanggung jawab untuk membentuk ekosistem yang kondusif bagi kesejahteraan anak muda. Kami bersemangat menyambut kolaborasi dengan Traveloka untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan jiwa khususnya di kalangan Gen-Z dan Millenials," tambah dr Fransisca.
Dia mengatakan kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya aspek kesehatan mental masih minim di tengah tingginya jumlah populasi yang mengalami gangguan kesehatan mental. Menurut data yang dilansir oleh Kemenkes pada tahun 2021, tercatat 20 persen dari total penduduk Indonesia mengalami potensi masalah kesehatan mental.