Eksklusif, Harif Fadhillah: Perawat Berada di Garda Terdepan, Harus Ada Perlindungan Maksimal   
Harif Fadhillah. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Bagikan:

Perawat, seperti tenaga kesehatan (Nakes) lainnya; dokter dan bidan, berada di garda terdepan dalam segala situasi. Apalagi di masa pandemi COVID-19 kini  yang masih belum sirna. Menurut Ketua Umum DPP PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) Dr. Harif Fadhillah, SKp., SH., M.Kep., MH., sudah selayaknya perawat mendapat perlindungan maksimal.

***

Pernyataan Dr. Harif Fadhillah, SKp., SH., M.Kep., MH., bukan tanpa alasan. Selama ini sebagai ketua PPNI ia kerap menyambangi para perawat yang bertugas di seantero negeri, bahkan di perbatasan dan daerah konflik seperti Papua. Dalam kunjungan itu ia masih menemukan di beberapa tempat fasilitas kerja para perawat masih belum sesuai standar dan ada perawat yang terkena sasaran konflik. Padahal hal ini vital, karena Nakes seperti perawat, dokter dan bidan, mereka berada di garda terdepan dalam menangani pasien. Lebih-lebih di masa pandemi ini. Apa jadinya kalau persoalan keselamatan kerja yang seharusnya tanpa ada toleransi menjadi abai.

Selama masa pandemi ini, kata dia, sudah  671 orang perawat yang gugur dalam tugasnya. “Menurut laporan yang saya terima,  ada 671 orang perawat yang gugur selama masa pandemi,” kata Harif yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PP PPNI tahun 2010-2015, sebelum akhirnya dia dipilih dalam Kongres PPN di Palembang, yang menetapkan dia sebagai Ketua Umum DPP PPNI periode 2015-2020.  

Data tersebut memang tidak lebih banyak dari tenaga dokter yang juga harus kembali keharibaan Yang Maha Kuasa selama masa pandemi COVID-19.  Seperti dilansir Antara, Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mencatat 730 dokter yang gugur akibat penyakit COVID-19. Angka kematian tertinggi pada bulan Juli, sebanyak 261, sedangkan bulan Agustus 72 dokter yang terinveksi  SARS-CoV-2.

"Terbanyak dokter umum 385 orang, diikuti  dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter spesialis penyakit dalam, dan dokter kesehatan anak," kata Ketua Tim Mitigasi Dokter PB IDI, Adib Khumaidi dalam webinar yang berlangsung Kamis 9 September silam.

Tak hanya soal keselamatan jiwa karena tak sengaja Nakes terpapar COVID-19. Persoalan insentif juga menjadi hal yang krusial menurut Harif. “Kami mencatat masih banyak perawat dan seperti halnya Nakes lain yang insentifnya belum dibayarkan di masa pandemi ini. Padahal mereka sudah bekerja maksimal. Biasanya kasus seperti ini terjadi pada rumah sakit yang dikelola pemerintah daerah. Semoga persoalan ini bisa segera diselesaikan,” katanya kepada Iqbal Irsyad, Edy Suherli, Savic Rabos dan Rifai yang menjumpainya di kantor DPP PPNI, Jalan Lenteng Agung, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, belum lama berselang. Inilah petikan selengkapnya.

Harif Fadhillah. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Harif Fadhillah. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Bagaimana nasib perawat selama masa pandemi COVID-19 ini?

Kalau kita bicara perawat di masa pandemi ini memang kita melihatnya satu dari aspek tugas kemanusiaan misalnya. Jadi perawat ini termasuk garda terdepan ya, WHO (Badan Kesehatan Dunia)  juga mengingatkan para pemimpin dunia tentang pentingnya perawat sebagai front-line dalam masa pandemi ini. Kemudian kalau dilihat dari aspek  risiko kerjanya juga luar biasa. Risiko yang dihadapi mereka hadapi pada saat melaksanakan tugas tidak kalah dengan yang dihadapi dokter dan bidan. Saat orang biasa dilarang ke luar rumah, mereka justru harus ke luar rumah dan mendampingi pasien.

Inilah kiranya hal-hal yang mereka alami. Dan beban kerja yang cukup tinggi pada masa pandemi ini terjadi pada masa sibuk ketika  jumlah pasien yang meningkat baik rumah sakit maupun di Puskesmas. Mereka mendapat beban tambahan bukan hanya fisik tapi juga mental. Contohnya saat UGD antri luar biasa, dan saat RS membuka tenda sebagai UGD atau ruang rawat tambahan. Saat saya tanya mereka, mereka bilang tak masalah pasien banyak. Namun yang membuat miris saat mereka tak bisa berbuat apa-apa karena; tempat tak ada, dan  oksigen kurang. Itu yang menambah beban psikologis.

Bagaimana perlakuan perawat dibandingkan Nakes lainnya seperti dokter dan bidan?

Kalau perlakuannya itu sesuai dengan peran dan fungsi masing-masingnya. Dokter memang tujuan utamanya mengobati dari aspek gangguan dari organ tubuh manusia. Sementara perawat melihat respon dari tubuh yang terganggu itu. Sehingga perawat itu adalah merawat. Walaupun di masa lalu orang menganggap perawat itu adalah pembantu dokter. Tapi hari ini tidak seperti itu. Kita punya tujuan dan tugas yang berbeda, tetapi sama-sama untuk meningkatkan kondisi pasien. Walaupun dalam kebijakan masih ada juga yang masih membedakan ya. Misalnya soal insentif, itu kan ada gradasinya ada 15 juta itu spesialis 10 juta untuk dokter umum dan 7,5 juta untuk perawatan dan bidan. Dan 5 juta untuk Nakes yang lainnya.

Kalau dilihat insentif ini ada perbedaan, ini dilihat dari apa, tanggungjawab-nya? Atau latar belakang pendidikannya? Atau apa? Harusnya kalau di masa pandemi ini besaran itu tergatung risiko yang dihadapi. Tapi perawat tidak mempersoalkan hal itu.

Berapa korban dari anggota PPNI selama pandemi ini?

Sampai 3 hari yang lalu kami punya laporan  berjenjang itu soal data perawat yang gugur. Jumlah terakhir yang saya dapat itu 671 orang. Jumlah ini besar meskipun lebih banyak dokter yang wafat.

Harif Fadhillah. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Harif Fadhillah. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Soal insentif apakah masih ada yang tersendat?

Kasus insentif tersendat ini terutama untuk perawat yang bekerja di rumah sakit  yang dikelola oleh pemerintah daerah. Untuk rumah sakit atau instansi yang di kelolah pemerintah pusat keluhan seperti itu sedikit terdengar. Ada 368 Kabupaten / Kota yang mendapat yang mendapat teguran karena telat memberikan insentif pada Nakes.

Langkah PPNI apa untuk keselamatan dan kesejahteraan perawat?

Secara internal kami membuat sebuah pedoman kerja bagi perawat  saat penanganan pandemi ini. Soal ini terus disosialisasikan kepada para anggota PPNI melalui webinar yang diikuti oleh 1000 orang lebih setiap hari. Lalu channel Youtube kami juga dikunjungi oleh 25 ribu setiap tayangan. Saat itu kami juga mengimbau mereka untuk hati-hati mentaati standar dan protokol kesehatan.

Untuk keluar kita melakukan advokasi ke berbagai pihak, seperti ke  Perhimpunan Rumah Sakit maupun Kementerian Kesehatan, agar memperhatikan kondisi perawat, seperti penyediaan APD-nya harus cukup, hotel atau tepat menginapnya seperti apa. Kemudian makanannya seperti apa? Dan lain sebagainya. Kami juga mengusulkan kepada BNPB dan akhirnya terbentuk Badan atau Bidang di bawah Satgas.  Tugasnya memberikan perlindungan pada tenaga kesehatan. Nah di situ ada kebijakan-kebijakan yang kita usulkan sehingga bila tenaga kesehatan sakit atau terpapar COVID-19. Untuk Nakes yang terpapar mereka langsung dirawat. Kami juga membuat line khusus 117 eks 3 untuk masyarakat yang terpapar COVID-19 dan ingin mendapat bantuan dari Nakes. Ada juga kebijakan Kemenkes yang memprioritaskan Nakes yang terpapar juga obat-obat yang dibutuhkan.

Bagi yang sudah wafat dalam tugas juga kami DPP PPMI membantu memperjuangkan hak pada Nakes. Berupa santunan sebesar 300 juta rupiah dan mendapatkan apresiasi yaitu tanda jasa dan kehormatan dan presiden. Kami juga membantu mencarikan beasiswa untuk anak Nakes yang gugur baik dari pemerintah maupun instansi swasta.

Soal kasus Nakes yang dianiaya, seperti apa peran PPNI?

Perlindungan kita arahkan pada ancaman terinveksi, kalau ini dengan APD yang benar.  Berikutnya soal pengaturan jaga dari RS tidak boleh double shift. Kalau dulu sebelum pandemi masih ada, namun saat sekarang tidak boleh ada. Penggunaan APD kalau hanya 4 jam, tak boleh sampai 7 jam. Kalau belakangan soal APD sudah tak ada masalah. Waktu diawal pandemi memang ada. Perlindungan berikutnya adalah pada perawat yang melaksanakan tugasnya. Soalnya ada beberapa kasus perawat dianiaya keluarga pasien. Ada 13 kasus kekerasan pada perawat. Semua kami tindaklanjuti secara hukum.

Bagaimana dengan kasus Nakes yang dianiaya di Papua?

Untuk Papua ini memang bukan hanya pada masa pandemi, catatan kami sudah 2 kali. Perawat yang terkena korban walaupun yang terakhir ini bukan perawat yang menjadi korban tapi tenaga analis laboratorium. Tapi ada perawat 4 orang di situ yang salah satunya juga luka-luka berat. Dua tahun sebelumnya itu ada di daerah mana saya lupa kalau enggak salah Wamena, ada juga perawat yang meninggal karena tertembak. Kami mengutuk kebrutalan ini. Semestinya perawat yang sedang menjalankan tugasnya itu harus dilindungi ke dua pihak yang bersengketa. Kita mohon pemerintah untuk mengusut tuntas dan membuat sistem pengamanan.

Secara internasional kita juga sudah mengatakan kalau hal ini tak boleh dilakukan meski dalam kondisi perang. Tapi bagaimana ini kan bukan perang, tapi KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata). Akhirnya kami mengadu ke Komnas HAM. Kami berdiskusi pada IDI (Ikatan Dokter Indonsia) untuk  membawa persoalan ini ke tingkat dunia.

Sekarang jumlah anggota PPNI berapa?

Anggota yang terdaftar sampai saat ini ada  694.644 orang, dari sekitar 1 jutaan anggota yang ada. Jumlah ini akan terus bertambah seiring dengan penambahan jumlah yang mendaftar. Perawat merawat masyarakat dengan kompetensinya, masyarakat merawat perawat dengan motivasinya kinerja perawat semoga bisa lebih baik lagi.

Apakah ada anggota PPNI yang bekerja di luar negeri?

Ada, yang tercatat sampai saat ini perawat yang bekerja di 4 negara. Jadi ada 4 cabang PPNI luar negeri di Kerajaan Saudi Arabia, Qatar, Kuwait dan Uni Emirat Arab. Mereka yang bekerja di sana hampir seluruhnya sudah menjadi anggota PPNI

Apakah kesejahteraan perawat di Indonesia sudah bagus?

Kita masih sejajar dengan Laos dan Kamboja. Kalau dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura masih jauh.  Ke depan semoga bisa lebih baik lagi. RS swasta apalagi masih menghargai perawat dengan standar UMR, padahal mereka punya kompetensi khusus. Terutama di sektor swasta. Kalau di ASN sudah ada aturannya. Ini perjuangan kami selanjutnya.

Harif Fadhillah, Antara Perawat, Dosen dan Advokat 

Harif Fadhillah. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Harif Fadhillah. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Meski profesi awalnya adalah perawat, namun dalam perjalanan kariernya Dr. Harif Fadhillah, SKp., SH., M.Kep., MH., yang kini masih sebagai Ketua Umum DPP PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) menekuni profesi yang beragam. Selain perawat dia juga menjadi tenaga pengajar alias dosen di  Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Dan dia juga tercatat juga sebagai advokat atau pengacara di sebuah Firma Hukum di Jakarta. Namun karena kesibukan sebagai Ketua PPNI, ia non aktif sebagai advokat.

Menjadi perawat bagi Harif,  adalah  bakti kepada orangtuanya. Cita-cita awalnya adalah menjadi seorang insinyur pertanian. Karena itu dia pernah ikut Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) pada zamannya. Ia sudah lulus di Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Namun saat ia menunggu masa perkuliah,  orangtuanya kecelakaan. Harif ikut menjaga di rumah sakit.

Saat itulah ia melihat bagaimana tekunnya para perawat yang merawat orangtuanya yang patah tulang, mukanya remuk dan luka-luka lainnya. “Ketika itu saya kagum melihat dedikasi para perawat yang demikian sabar merawat orang tua saya yang sakit,” lanjut alumni SMAN 1 Terbanggi Besar Lampung Tengah (1988) ini.

Pada saat yang bersamaan, orangtuanya juga membisikkan kepada dirinya. “Kamu jadi perawat saja,” katanya menirukan permintaan orang tuanya yang masih terbaring sakit. Terdorong rasa bakti pada orangtua, akhirnya ia tinggalkan status sebagai mahasiswa Fakultas Pertanian.

Mulailah ia menjadi mahasiswa di  program D3 Akper (Akademi Perawat) RS Islam Jakarta dan selesai pada tahun 1991. Dan dia bekerja di Rumah Sakit Islam Jakarta. Setelah bekerja beberapa tahun, ia kemudian mengajukan proposal beasiswa di tempatnya bekerja, dan proposalnya itu disetujui. Harif kemudian melanjutkan studi S1 ke Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia dan selesai 1998.

Masih belum puas menimba ilmu keperawatan ia pun melanjutkan lagi di Magister Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta dan selesai tahun 2017. Sudah cukup? Ternyata belum. Harif masih melanjutkan di Program Doktor Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya. Dan gelar Doktor pun sudah diraihnya pada Januari 2021 lalu.

Harif Fadhillah. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Harif Fadhillah. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Bagaimana dengan advokat? Ketertarikan di dunia hukum saat ia mulai mendaftar kuliah di  Fakultas Hukum Universitas Ibnu Chaldun Jakarta tahun 2007. Setelah itu ia disarankan rekan-rekannya untuk kursus advokat, dan setelah ikut dia pun lulus dan melakoni profesinya pula sebagai advokat. Tak cukup di jenjang S1, Harif pun melanjutkan studi hukum di  Magister Hukum Universitas Katholik Sugijapranata, Semarang dan selesai tahun 2018. Dengan perjuangan yang berat, dia pun bisa menyelesaikan studinya meski harus menempuh waktu 8 tahun. “Saya hampir di DO (drop-out), namun akhirnya bisa juga menyelesaikan S2 hukum,” akunya.

Sambangi Perawat di Daerah

Memiliki kesibukan yang tak sedikit membuat Harif,  harus pintar menjaga kesehatan dan kebugaran. “Kesehatan itu penting sekali dan harus dijaga. Apalagi di masa pandemi seperti sekarang. Prokes dan melakukan vaksinasi sudah tidak bisa ditawar lagi. Saya saja yang sudah vaksinasi lengkap masih juga terpapar COVID-19. Tapi alhamdulillah sekarang sudah sembuh dan bisa kembali lagi beraktivitas seperti semula,” kata pria kelahiran Curup, Bengkulu, 3 Agustus 1969 ini.

Sebagai Ketua PPNI, ia rajin menyambangi para perawat yang bertugas di pelosok negeri. Mereka  berjibaku melawan ganasnya pandemi COVID-19 di tengah fasilitas kesehatan yang terbatas. “Kemarin pada masa-masa pandemi yang sangat tinggi, kami mengunjungi dan membesarkan hati teman-teman di lapangan. Mereka itu bekerja keras dan penuh dengan risiko,” ungkap Harif.

Yang diawasinya antara lain adalah fasilitas kerja para perawat, lalu waktu kerja dan tempat istirahat bagi perawat. “Saat istirahat harus berkualitas bukan jumlahnya kalau bisa jangan diganggu saat para perawat dapat jatah istirahat. Dan yang tak kalah pentingnya adalah peralatan kerja karena mereka harus berhadapan dengan penderita COVID-19 juga,” katanya.

Harif Fadhillah. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Harif Fadhillah. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Sedangkan untuk kesehatan pribadi, Harif benar-benar harus menjaga penyakit maag kronis yang sudah sekian lama diidapnya. “Karena saya mengidap maag kronis, kualitas makanan harus saya jaga. Frekwensi asupan makanan juga demikian. Dan saya harus menghindari makanan tertentu yang bisa menjadi pemicu seperti durian,” ungkapnya.

Selain itu dia menyempatkan diri untuk berolahraga. Meski pun ia sadar dengan usia sekarang yang sudah tak muda lagi, tak bisa memforsir tubuh untuk melakukan olahraga yang berat. “Saya rutin main tenis meja. Kalau tenis meja itu kan  tidak membutuhkan terlalu banyak tenaga. Itu saya lakukan  untuk berkeringat saja, ya secukupnya saja. Saya melakukan  seminggu dua atau tiga kali,” lanjutnya.

Untuk urusan seni, Harif suka menyanyi tembang-tembang melankolis ciptaan Rinto Harahap, Rano Karno dan Tommy J. Pisa. Namun diakuinya dia masih dalam lingkup karaoke di rumah atau lingkungan terbatas saja. “Kalau di rumah untuk melepas penat bersama anak dan istri saya bernyanyi. Kebetulan saya  suka tembang-tembang melankolis yang dulu pernah hits. Penciptanya Rinto Harahap, Rano Karno dan Tommy J. Pisa. Lagu lain, yang seangkatan dengan pencipta-pencipta itu,” ungkapnya.

Harif sadar waktu bertemu dengan keluarga jadi amat terbatas karena kesibukannya di organisasi, sebagai dosen dan juga advokat meski kini sudah non aktif. Karena itu ia akan memanfaatkan waktu yang ada semaksimal mungkin untuk bertemu keluarga. Saat ada kunjungan kerja yang maraton dari satu daerah ke daerah lainnya dia akan mengupayakan untuk singgah sejenak di rumah. Setelah itu dia lanjut lagi kunjungan kerja atau melakoni aktifitasnya sebagai dosen.

“Iya kebetulan anak pertama saya sudah selesai kuliahnya. Anak kedua  masih kuliah di Bandung. Dan seorang lagi belajar di salah satu pesantren. Untuk anak yang kuliah di Bandung, kami tinggal janjian kalau dia libur pulang ke rumah. Sedangkan untuk anak saya yang di pesantren sedikit kesulitan karena di masa pandemi ini pertemuan fisik dibatasi oleh pihak pesantren,” kata Dr. Harif Fadhillah, SKp., SH., M.Kep., MH., untuk mengatasi kesulitan bertemu dengan anaknya di pesantren metode daring pun dilakukan seperti video call.

“Secara internasional kita juga sudah mengatakan kalau hal ini tak boleh dilakukan meski dalam kondisi perang. Tapi bagaimana ini kan bukan perang, tapi KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata). Akhirnya kami mengadu ke Komnas HAM. Kami berdiskusi pada IDI (Ikatan Dokter Indonesia) untuk  membawa persoalan ini ke tingkat dunia,”

Dr. Harif Fadhillah, SKp., SH., M.Kep., MH.