Hadirnya PP No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan telah menimbulkan banyak reaksi. Salah satunya datang dari Ketua Umum Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) dr. Ali Mahsun Atmo, M.Biomed. Menurutnya, peraturan soal larangan penjualan rokok eceran dan larangan zonasi 200 meter menjual rokok dari sekolah dan tempat bermain anak-anak sangat merugikan pedagang kaki lima (PKL). Karena itu, ia meminta Presiden Jokowi untuk menarik peraturan ini.
***
Jika Presiden Jokowi, dan juga Presiden Prabowo yang terpilih lewat pilpres 2024, tidak mau mencabut PP No. 28 Tahun 2024 ini, ia sudah menyiapkan agenda aksi. “Kami akan melakukan uji materi atas PP No. 28 ini, khususnya untuk pasal yang terkait dengan larangan menjual rokok eceran. Lalu soal zonasi 200 meter penjual rokok dari tempat pendidikan dan arena bermain anak. Kenapa hal ini kami lakukan? Karena dampaknya sangat luas. Selama ini pengangguran sudah tinggi, ditambah lagi dengan penerapan PP No. 28 ini. Akan makin repot rakyat kita,” begitu alasannya.
Sejatinya, Ali Mahsun Atmo menuntut agar ada solusi atau jalan tengah dari aturan pemerintah ini. Jika tidak, akan banyak sekali yang terdampak. “Pemerintah harus juga mencari solusi, jangan hanya bisa melarang. Yang lebih krusial adalah soal peredaran narkoba di tengah anak muda. Ini yang lebih berbahaya, tapi tidak dibahas bagaimana menanggulanginya,” katanya.
Selain soal larangan penjualan rokok eceran, Ali juga mengkritisi rencana penerapan cukai untuk pedagang makanan siap saji. Persoalan ini juga akan memberatkan pedagang, baik besar maupun PKL. Jika peraturan ini diberlakukan, pedagang gorengan di pinggir jalan pun akan menjadi sasaran cukai.
Menurut Ali Mahsun Atmo, ada banyak cara untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa harus membebani rakyat kecil termasuk PKL. “Masih banyak sumber daya di negeri ini yang belum dioptimalkan. Pajak kita masih belum dioptimalkan. Sektor cukai, berapa banyak barang impor yang masuk tanpa cukai. Lalu valuta asing, masih banyak yang pajaknya lepas. Sektor tambang juga masih belum dimaksimalkan. Karena itu, kami mendukung penyatuan sektor pajak, cukai, dan unit pendapatan negara lainnya,” katanya kepada Edy Suherli, Bambang Eros, Irfan Meidianto, dan Dandi Juniar saat bertandang ke kantor VOI di bilangan Tanah Abang, Jakarta Pusat, belum lama ini. Inilah petikannya.
Apa tanggapan Anda sebagai Ketum APKLI atas pelarangan menjual rokok secara eceran?
Sejak Desember 2022, saya sebagai Ketum APKLI sudah meminta kepada Presiden Jokowi untuk tidak melarang penjualan rokok eceran. Kenapa? Karena ini menyangkut jutaan pelaku ekonomi, pedagang asongan, pedagang kaki lima, warung kelontong, dan lain-lain. Mereka ini bergantung pada penjualan rokok eceran. Kalau ini dilarang, mereka mau makan apa? Mayoritas dari 70 juta perokok di Indonesia adalah masyarakat berpenghasilan rendah. Tetapi kenyataannya, keluar juga PP No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Saya amati PP No. 28 ini diskriminatif. Akibat dari peraturan ini, puluhan juta rakyat kita tak bisa membeli rokok secara eceran. Padahal di republik ini merokok itu tidak dilarang, kecuali di tempat tertentu yang ada larangan. Lalu ada sekitar 2 juta petani tembakau, 200.000 buruh kebun tembakau, ada 1,2 juta petani cengkeh, ada 1,5 juta buruh pabrik rokok, serta ada ratusan ribu industri rumah tangga rokok linting. Kalau ini diabaikan, akan meningkatkan jumlah pengangguran.
Lalu apa aksi yang akan Anda dan APKLI lakukan selanjutnya?
Kami akan melakukan uji materi atas PP No. 28 ini, khususnya untuk pasal yang terkait dengan larangan menjual rokok eceran. Lalu soal zonasi 200 meter penjual rokok dari tempat pendidikan dan arena bermain anak. Kenapa hal ini kami lakukan? Karena dampaknya sangat luas. Selama ini pengangguran sudah tinggi, ditambah lagi dengan penerapan PP No. 28 ini. Akan makin repot rakyat kita.
Berapa banyak PKL yang akan terdampak dari penerapan PP No. 28 Tahun 2024 ini?
Yang pertama, pedagang asongan, jumlahnya sekitar 600 ribu di seluruh Indonesia. Kalau PP No. 28 ini berlaku, mereka akan kehilangan pekerjaan. Lalu penjual kopi keliling, mereka juga akan terdampak. Lalu pedagang kaki lima yang ada di pinggir jalan. Ada juga 4,1 juta warung kelontong di seluruh Indonesia. Pendapatan mereka akan turun drastis. Soalnya rokok itu menjadi media untuk menarik orang datang dan membeli barang lainnya. Total sekitar 10 juta dari sektor retail tradisional yang akan terdampak dari aturan ini.
Kalau kita bicara dari industri rokok, dari petani tembakau, pabrik rokok besar, pabrik rokok rumahan, buruh pabrik rokok, dan lain-lain, ada sekitar 30,4 juta yang akan terdampak. Jadi, banyak sekali yang akan terdampak dari PP No. 28 Tahun 2024 ini.
Pihak Kemenkeu mengatakan pelarangan ini tidak terlalu signifikan pengaruhnya pada penjualan rokok, justru nilai belanja rokok makin besar karena yang dibeli 1 bungkus. Apa tanggapan Anda?
Saya yakin pelarangan penjualan rokok eceran dan zonasi di bawah 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak akan menurunkan omset warung kelontong minimal 40%. Mayoritas perokok itu berpenghasilan rendah, kalau dilarang mereka tidak akan membeli rokok. Kalau pembelian rokok menurun, akan berpengaruh pada penjualan barang lainnya.
Saya juga mau mempertanyakan pernyataan Menkes soal larangan rokok dijual eceran dan adanya zonasi 200 meter dekat sekolah dan tempat bermain anak-anak, terkait dengan negara yang mengeluarkan uang Rp11 triliun karena penyakit sesak napas. Perlu diketahui, sesak napas itu bukan hanya karena rokok, bisa juga karena asma, penyakit genetik, atau penyakit infeksi seperti TBC. Artinya, pejabat publik tak boleh asal mem-framing. Kalau tujuannya agar anak di bawah umur tidak merokok, saya setuju.
Di satu sisi pemerintah ingin sehat dengan melarang penjualan rokok eceran dan zonasi 200m, tapi di sisi lain pendapatan pedagang kecil terancam, ekonominya jadi tak sehat, jalan tengahnya seperti apa menurut Anda?
Jalan tengahnya, pertama pemerintah harus menjelaskan soal merokok yang mengganggu kesehatan. Apa yang terganggu? Selama ini ada pendapat bahwa merokok dapat menyebabkan kanker paru-paru, tetapi data sainsnya mana? Yang ada hanyalah data statistik, di mana seorang penderita kanker paru ditanya dokter apakah merokok. Dijawab oleh penderita; ya. Inilah yang dicatat.
Kedua, ada banyak sekolah dan tempat bermain yang tersebar di pelosok negeri. Di dekat sekolah dan tempat bermain itu ada pedagang kelontong, di bawah radius 200 m. Kalau mereka dilarang menjual rokok eceran, bagaimana omset disebut meningkat? Ada sekitar 1 sampai 1,5 juta warung kelontong yang akan terdampak karena aturan ini.
Ketiga, jangan salah, pedagang kelontong, pedagang kaki lima, dan pedagang asongan terkena dampak saat prevalensi anak yang merokok meningkat. Kalau mau menurunkan prevalensi anak merokok, negara harus hadir secara serius. Saya usul, cukai rokok yang terkumpul bisa digunakan untuk membeli perusahaan rokok. Kalau sudah begitu, pemerintah bisa menentukan dan mengatur kapasitas produksi rokok. Sekarang jumlah produksi rokok 315 miliar batang per tahun.
Maksud Anda, harus ada solusi dari negara kalau pedagang kaki lima, kelontong, dan asongan dilarang jual rokok eceran?
Ya, pemerintah harus juga mencari solusi, jangan hanya bisa melarang. Yang lebih krusial itu soal peredaran narkoba di tengah anak muda. Ini yang lebih berbahaya, tapi tidak dibahas bagaimana menanggulanginya.
Tahun 2023 cukai rokok terkumpul Rp167,3 triliun, tahun sebelumnya turun Rp170 triliun, menurut pengamatan Anda apakah pemerintah sudah menggunakan dana cukai untuk meningkatkan kesehatan masyarakat?
Sumber APBN itu ada yang dari pajak dan cukai, ada juga yang di luar itu. Karena cukai rokok sudah masuk APBN, ya pasti sudah digunakan untuk kesehatan. Kepada Presiden Jokowi dan juga penggantinya Presiden Prabowo, saya berharap agar benar-benar memahami penderitaan rakyat. Saat ini ekonomi rakyat sedang turun. Ada 40 juta lebih golongan kelas menengah yang terancam, soalnya gaji tidak naik sementara beban hidup meningkat.
Saya akan menggalang teman-teman sejawat dan organisasi untuk bergandengan tangan. Pertama, kami akan mendesak Presiden agar mencabut PP No. 28 Tahun 2024 ini. Langkah kedua, kami akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung atas PP No. 28 Tahun 2024 ini.
BACA JUGA:
Pasal apa saja yang akan diusulkan untuk direvisi?
PP No. 28 Tahun 2024 ini cakupannya luas. Kami fokus pada soal larangan menjual rokok secara eceran, serta zonasi 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak-anak yang melarang penjualan rokok. Karena lingkup kami terkait pedagang kaki lima yang menjual rokok dan juga kuliner, kami juga akan mengajukan uji materi atas pasal yang membahas soal makanan siap saji yang dikenai cukai. Kalau ini diterapkan, rakyat kecil juga yang terdampak.
Saat ini pedagang kuliner sudah kena retribusi daerah, lalu akan ada cukai. Karena itu, kami menuntut pemerintah untuk mengeluarkan UU tentang Ekonomi Digital. Saat belanja offline di warung Padang misalnya, kita dikenakan Rp10.000, tapi saat belanja online harganya melambung lebih dari 30-40%. Ini akan membebani rakyat juga. Kalau cukai pada kuliner ini diterapkan, akan memperberat beban hidup masyarakat kecil. Lalu ekonomi rakyat juga akan makin sulit. Dan satu lagi, jangan sampai kuliner lokal mati karena tak mampu bersaing dengan kuliner asal mancanegara.
Bicara makanan siap saji yang kita kenal selama ini adalah makanan mahal, bukan ranahnya kaki lima atau UMKM?
Dalam aturan yang ada, akan berlaku menyeluruh mulai dari resto sampai kaki lima. Penjual gorengan di pinggir jalan bisa kena cukai juga. Ini akan menambah beban Kemenkeu dan Bea Cukai. Mengatur cukai rokok saja belum tuntas, soalnya masih beredar rokok-rokok ilegal tanpa cukai.
Saya menduga ini upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara, jadi ditetapkanlah cukai untuk penjualan makanan. Apa tanggapan Anda?
Ya, untuk menuju Indonesia Emas 2024, memang PDB (Produk Domestik Bruto) harus meningkat tiga kali lipat. Tapi jangan bebankan ini kepada rakyat kecil. Masih banyak sumber daya di negeri ini yang belum dioptimalkan. Pajak kita masih belum dioptimalkan. Sektor cukai, berapa banyak barang impor yang masuk tanpa cukai? Lalu valuta asing, masih banyak yang pajaknya lepas. Sektor tambang juga masih belum dimaksimalkan. Karena itu kami mendukung penyatuan sektor pajak, cukai, dan unit pendapatan negara lainnya.
Jika Presiden punya komitmen untuk menutup sektor-sektor yang bocor, saya yakin utang negara bisa segera dilunasi. Rakyat bisa lebih sejahtera. Kita tunggu presiden berikutnya apakah bisa berdaulat atau dikendalikan pihak lain.
Kalau komparasi dengan negara lain, baik negara maju atau negara berkembang seperti Indonesia, bagaimana menata PKL di sana?
Tahun 2011, saat saya terpilih menjadi Ketua Umum APKLI, saya studi banding ke Thailand, Malaysia, dan Singapura. Di Thailand, PKL menjadi penyumbang devisa nomor dua. Semua teratur, pedagangnya rapi dan dagangannya bersih. Jadi negara hadir memberikan perlindungan dan pengayoman. Di negeri ini, sejak APKLI berdiri pada 1993, baru 2012 PKL diakui sebagai bagian dari ekonomi Indonesia lewat Perpres 125 Tahun 2012. Meski sudah ada aturannya, namun ini tidak diaplikasikan. Artinya PKL belum jadi bagian dari ekonomi Indonesia. PKL masih dianggap sampah pembangunan dan pengganggu ketertiban; PKL belum dimanusiakan. Karena itu, kami tidak akan berhenti memperjuangkan hal ini.
Ali Mahsun Atmo, Dokter yang Lebih Banyak Mengurusi Pedagang Kaki Lima
Kepedulian Ketua Umum Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) dr. Ali Mahsun Atmo, M.Biomed pada pedagang kaki lima memang sulit dicari tandingannya. Saking pedulinya, ia malah lebih banyak mengurusi pedagang kaki lima daripada menjadi seorang dokter, seperti latar belakang pendidikannya.
Dibesarkan dari keluarga yang sederhana membuat Ali Mahsun Atmo tak berani bercita-cita menjadi seorang dokter. Soalnya biaya untuk sekolah di fakultas kedokteran tidak bisa dibilang murah, meski sekolahnya di kampus pelat merah. “Saya ini dibesarkan dari keluarga miskin di tepi sungai Brantas, Desa Betro, Kecamatan Kemlagi, Kabupaten Mojokerto, Jatim. Saya anak kelima dari tujuh bersaudara, kami semua laki-laki,” terang putra pasangan (alm) H. Atmo dan (alm) Hj. Kasi’ah.
Sejak kecil Ali sudah bekerja membantu keluarga. “Saya mulai bekerja itu sejak kelas 2 Madrasah Ibtidaiyah atau SD. Karena itu, saya tidak punya cita-cita jadi dokter atau profesi lain. Buat kami, bisa makan saja sudah bersyukur,” aku pria kelahiran Mojokerto 10 Maret 1969 ini.
Soalnya ia sadar akan kondisi keluarganya. “Secara sains, orang miskin itu sulit bersaing dengan mereka yang cukup gizi. Kondisi itu terjadi sejak di dalam kandungan. Kalau kurang gizi, jumlah sel otaknya di bawah standar. Inilah yang dinamakan stunting,” kata Ali sebagai Ketum APKLI yang meluncurkan beasiswa untuk anak PKL untuk memperluas peluang mendapat pendidikan yang lebih baik.
Ada Kuasa yang Maha Kuasa
Di balik kekurangan secara ekonomi, kata Ali Mahsun Atmo, ternyata ada kuasa Yang Maha Kuasa. “Di balik kekurangan itu ada adrenalin Tuhan yang membantu saya dan keluarga. Itu bisa memicu kapasitas yang tadinya cuma 40% menjadi 100%. Saya yang tadinya tak bercita-cita jadi dokter malah diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang,” kata Ali yang kini menjabat sebagai Presiden Gumregah Bhakti Nusantara (GBN).
Setelah melalui proses yang tidak mudah, akhirnya Ali bisa lulus sebagai wisudawan terbaik di FK Unibraw. “Apa yang saya alami adalah kehendak Allah SWT, dukungan yang tulus dari kedua orang tua. Saya bisa jadi lulusan terbaik angkatan 1989,” katanya.
Untuk menyiasati keadaan yang serba sulit saat kuliah di Malang, Ali berpindah-pindah tempat. “Karena saya tidak ada kost, saya pindah dari satu tempat ke tempat lain. Saya juga tak punya buku literatur, saya hanya sanggup fotokopi. Atau main ke tempat teman, ketika dia tidur saya pinjam bukunya,” kenang Ali yang dijatah uang makan dan buku Rp 30.000.
Yang membuatnya sedikit lega, dia mendapat beasiswa Supersemar. “Saat itu per bulan dapat Rp24.000. Itu amat membantu saya dalam menyelesaikan kuliah,” ucapnya bersyukur.
Resep Hidup Sehat
Setelah menyandang predikat sebagai dokter, ia langsung melanjutkan kuliah S2 di jurusan Biomedik Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia pada 1995. Berbekal sebagai wisudawan terbaik, ia bisa diterima tanpa tes. “Saya benar-benar nekat, soalnya enggak ada modal. Akhirnya saya kembali dapat beasiswa dari sebuah lembaga dari Jepang. Alhamdulillah saya bisa menyelesaikan S2 dengan baik,” kata Ali yang sempat praktik di sebuah klinik di Tomang, Tanjung Duren, Jakarta Barat.
Namun karena Ali banyak terlibat dalam kegiatan membina PKL, pelan-pelan dia meninggalkan aktivitas sebagai dokter. “Jadi dokter itu ada hubungan psikologis antara dokter dengan pasien. Saat beraktivitas di luar kedokteran, jam praktik jadi tak menentu. Akibatnya, banyak pasien yang kecewa karena tak ada saya. Akhirnya saya tinggalkan profesi ini pada 2011 untuk total membina PKL,” ungkap pria yang menjadi Ketua Umum Primnaskop Gumregah Sakti Nusantara (GSN).
Di acara puncak APKLI ke-25 pada 2018 di Pendopo Agung Trowulan, Mojokerto, ia menyampaikan alasannya tak lagi berpraktik sebagai dokter. “Sejak saat itu saya katakan, saya memang tak lagi mengobati fisik pasien, saya berubah mengobati penyakit ekonomi rakyat Indonesia,” terang Ketua Umum Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS).
Bagaimana dengan ilmu kedokteran yang sudah diperolehnya? “Saya tetap menjadikan ilmu kedokteran sebagai pondasi dalam menyehatkan ekonomi rakyat Indonesia. Perlu diketahui, pertahanan kekebalan tubuh manusia itu jauh lebih sempurna dibandingkan dengan apa yang terjadi di ranah politik, ekonomi, dan sosial budaya,” tegasnya, menyarankan untuk menghindari judi, pinjol, dan investasi bodong.
Sebagai seorang pakar imunologi, ia menyarankan kepada masyarakat, “Homeostasis atau kekebalan tubuh kita itu sangat rapi, dan pusatnya ada di otak. Tapi 80% sistem kekebalan tubuh ini dipengaruhi faktor psikis. Kalau ingin sehat dan imunnya bagus, jangan sedih dan galau. Hiduplah dengan senang meski tak punya uang. Merokok boleh tapi jangan berlebihan, soalnya apa pun yang berlebihan itu tak baik,” saran Ali yang juga perokok. Dia menjadikan rokok sebagai sarana rekreasi.
Selain itu, yang perlu juga dilakukan, lanjut Ali, adalah olahraga yang cukup dan menjaga pola makan. “Jadi yang paling penting dalam hidup itu secukupnya, tidak berlebihan sehingga ada keseimbangan dan tercipta homeostasis,” pungkas Ali Mahsun Atmo.
"Di negeri ini sejak APKLI berdiri pada 1993, baru 2012 PKL diakui sebagai bagian dari ekonomi Indonesia lewat Perpres 125 Tahun 2012. Meski sudah ada aturannya, namun ini tidak diaplikasikan. Artinya PKL belum jadi bagian dari ekonomi Indonesia. PKL masih dianggap sampah pembangunan dan pengganggu ketertiban, PKL belum dimanusiakan. Karena itu kami tidak akan berhenti memperjuangkan hal ini,"